Part 20 LDR

Selepas salat Subuh berjemaah yang biasanya di isi dengan tadarrus Al Qur'an. Pagi ini tak lagi bisa santai saat mengaji seperti biasanya. Keduanya hanya membaca surat yasin dan setelahnya, Alfi langsung beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan buat sang suami sebelum berangkat kerja.

Waktu terus bergulir, Alfi yang sudah terbiasa masak sendiri telah bisa memilih menu apa yang cepat saji, agar suaminya tak terlambat di hari pertama kerja.

Alfi memilih masak sayur sop dengan lauk ayam dan tempe goreng. Hanya butuh waktu tiga puluh menit, tiga menu masakan itu telah siap untuk dinikmati bersama suami.

"Sayang! Makan, yuk!" Alfi agak berteriak sembari kepalanya sedikit melongok lebih mendekati anak tangga yang bisa melihat pintu ruang lantai atas. Kedua tangannya memegang nampan, yang telah tersaji makanan siap santap untuk mengisi perut yang mulai keroncongan.

"Maaasss!" Alfi lebih meninggikan volume suaranya lagi, saat belum juga ada sahutan dari sang suami.

"Ih, Mas Alfa ke mana, sih?" ucapnya tampak mulai kesal. Ia pun menaiki anak tangga. Mengubah rencananya yang akan sarapan di ruang tengah, kini berniat makan di ruang lantai atas saja--ruang depan kamar.

Setibanya di ruangan yang hanya tersedia meja dan hamparan karpet di bawahnya. Alfi meletakkan nampan itu, lalu menghampiri sang suami yang sedang asyik menyirami koleksi tanamannya.

"Huh, pantesan nggak nyahut-nyahut. Orangnya lagi fokus mantengin indahnya bunga yang bermekaran, sih. Sampai lupa mantengin wajah istrinya sendiri. Emang udah bulukan, sih. Keringetan juga habis panas-panasan sama kompor di dapur." Alfi terus bicara sejak dia usai meletakkan nampan dan berjalan sampai ke balkon.

Alfa yang mendengar omelan pagi-pagi sang istri hanya bisa mengembuskan napas lalu bibirnya mengulas senyum sembari menatap wajah sang istri.

"Ecieee pagi-pagi udah cemburu aja sama bunga," ucap Alfa sembari menoel dagu sang istri.

Bukannya tersenyum, Alfi malah melengos, berpura-pura merajuk, membuat Alfa terkekeh. Tiba-tiba terlintas ide brilian dalam benaknya. Laki-laki itu pun kemudian beraksi. Tangannya memetik bunga mawar berwarna merah. Lalu menyodorkannya kepada sang istri. "Istriku, cintaku, cantikku. Terimalah bunga cantik ini, meski cantikmu tak akan pernah terkalahkan oleh cantiknya bunga ini."

Sontak Alfi pun terbahak. Mendengar kalimat Alfa yang tak jelas itu berhasil menggelitik hatinya. Alfa berusaha untuk menciptakan suasana romantis dengan mencoba berucap kalimat puitis. Namun apalah dia yang tak pandai merangkai kata, akhirnya terlontar kalimat yang tak sama sekali tak jelas maknanya.

"Nah, kan. Akhirnya ketawa juga. Tapi sebenarnya Mas suka heran, sih. Niatnya melontar kata romantis, yang keluar malah kata lucu yang bikin kamu ketawa. Biarlah ... yang penting istriku nggak ngambek lagi, kan." Alfa merangkul pundak sang istri, lalu keduanya berjalan beriringan menuju makanan yang telah tersedia di atas meja.

Tiga puluh menit berlalu, tampak Alfa kini telah siap mengenakan jaket dan helmnya. Alfi sejak tadi menatap sang suami tak berkedip, seakan tak rela melepas kepergian sang suami. Meski pun kenyataannya, Alfa hanya menginap di rumah orang tuanya hanya satu malam saja.

"Kenapa lihatinnya gitu banget?" tanya Alfa setelah membuka kaca helmnya.

"Belum apa-apa udah kangen," ucap Alfi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Alfa yang tadinya telah menghidupkan mesin motornya, kini menghampiri sang istri. "Kalau kamu merasa berat gara-gara Mas nginep di rumah Ibu nanti malam. Biar nanti Mas langsung pulang nanti sore, ya."

"Eh, jangan gitu dong, Mas. Entar malah Mas kecapekan."

"Nggak apa-apa, Sayang. Entar lihat kamu pulang kerja, pasti capeknya langsung ilang."

Air mata haru langsung terjun membasahi pipi Alfi. Wanita itu benar-benar tak menyangka jika suaminya akan berucap demikian. Sungguh demi apa pun, Alfi merasa beruntung memiliki suami yang rela rela melakukan apa pun untuknya agar tenang dan tak bersedih hati.

Seketika Alfi sadar, bahwa dirinya saat ini begitu egois. Ia melarang suaminya menginap, tetapi dirinya tidak mau ikut ke mana pun suaminya pergi. Padahal, jika suaminya itu egois, Alfa punya hak mengajak istrinya itu jika dia mau. Namun, Alfa bukanlah tipikal orang yang apa-apa seenaknya sendiri. Ia selalu berpikir panjang, agar tak ada mudharat atas apa yang menjadi keputusannya.

Apalagi jika mengingat dulu saat dirinya mengkhitbah Alfi, ia terikat janji dengan mertuanya untuk menyetujui  tinggal di sini setelah menikah karena posisi Alfi yang mempunyai kegiatan megajar pagi dan sore. Sehingga Alfa sama sekali tak keberatan tinggal di sini bersama sang istri, karena memang posisi orang tuanya saat itu tinggal bersama adiknya yang memang sudah berkeluarga.

Entahlah, jika mengingat apa yang berlalu, memang terkadang yang terjadi tak sesuai dengan apa yang direncanakan manusia. Di saat baru saja usia pernikahannya memasuki usia satu tahun, suami adiknya mengajak pindah sang istri untuk tinggal di rumahnya karena suatu hal. Sehingga akhirnya mau tak mau orang tua Alfa tinggal di rumah itu tanpa ditemani oleh anak-anaknya.

"Enggak-enggak, Mas. Maafin Alfi yang egois ini, ya. Alfi mikirin diri sendiri terus, tapi nggak mikirin keadaan, Mas. Alfi enggak mau terlalu kecapean, lagian di sana juga sekalian Mas nemenin Bapak dan Ibu. Setidaknya, meski kehadiran Alfa tak setiap hari, pasti akan membuat hati mereka bahagia saat melihat anaknya di rumah."

Alfa tersenyum lalu kedua tangannya menangkup wajah sang istri. Suami mana yang tak akan cinta? Jika sang istri mau berusaha menghargai dan mengerti keadaan sang suami.

"Sebenarnya Mas juga berat jauh dari kamu meski sedetik pun, Sayang. Tapi mau gimana lagi, Mas sebagai suami harus bisa membahagiakan kamu dan sebagai anak laki-laki harus juga membahagiakan orang tua, Mas. Kamu tahu, kan? Apa yang Mas lakukan saat ini hanya mengharap rida Allah."

Seulas senyum terbit di bibir Alfi. Dalam hati ia bertekad, 'karena Allah aku rela menahan rindu, karena Allah aku rela berjarak dengan sang suami, karena Allah pula aku harus dengan senang hati mendukung laki-laki yang kucintai untuk meniti jalan dalam menggapai rida-Nya. Dengan begini, Insyaallah aku bisa menjalani ini dengan ikhlas karena Allah. Bismillah.'

Bukankah Rida seorang anak laki-laki meski telah menikah, tetap tergantung pada rida orang tuanya, terutama rida ibu? Jadi tak ada salahnya seorang istri menahan ego atau nafsunya untuk suatu hal yang menjadi jalan menggapai rida-Nya.

"Hati-hati di jalan ya, Sayang. Semoga Allah melindungi Mas di mana pun berada, dan Allah karuniakan rezeki untuk kita, rezeki yang halal, berkah dan manfaat."

"Aamiin Aamiin ya mujibassailin," ucap Alfa lalu mengecup bibir sang istri, lalu di kedua pipi dan kemudian di kening Alfi.

---***---

Keheningan menyelimuti malam yang berlalu kali ini. Alfi yang kembali beradaptasi tak tidur lagi dengan sang suami. Kini terlihat gelisah, padahal sejak tadi pukul sembilan ia sudah merebahkan tubuh di empuknya kasur, berniat untuk beristirahat melepas lelah.

"Mas ... Alfi kangen," gumamnya membuka mata. Ia melihat jarum jam di dinding saat ini menunjukkan angka 10.

"Andai saja Alfi nggak ada tanggung jawab ngajar di sini. Aku pasti akan ikut kamu ke mana pun kamu pergi, Mas," gumam Alfi menatap langit-langit kamarnya. Lampu menyala terang, karena Alfi takut kegelapan jika ia sedang sendirian.

'Sudahlah, Fi. Jangan berandai-andai. Besok malam juga Mas Alfa nemenin kamu tidur lagi,' batin Alfi menghibur dirinya sendiri. Ia pun kembali mengeratkan pelukannya di guling, lalu memejamkan mata dengan bibir yang terus melafalkan selawat hingga terlelap.

.
.
.

Bersambung
Pasuruan, 15 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top