Part 19 Prasangka

Merasa tak dianggap, tak penting dan tak dibutuhkan. Iya, begitulah yang Alfi rasakan saat ini. 'Gimana bisa dia mengambil keputusan sepenting ini tanpa diskusi dulu sama aku? Sebegitu tak pentingnya pendapatku untuknya? Sebegitu tak dianggapkah keberadaanku di sisinya? Sebegitu tak dibutuhkannyakah persetujuanku atas keputusannya?' Alfi tergugu, hatinya tersayat oleh rasa tersinggung yang membuncah.

'Kayaknya gampang banget dia main setuju-setuju aja kita LDR-an lagi? Aku bener-bener nggak rela diginiin. LDR-an itu nggak enak, enakan sama-sama terus setiap hari kayak gini.'

"Sayang bukain pintunya, ya." Terdengar suara Alfa disusul dengan ketukan pintu.

Alfi bergeming, tangisnya belum juga usai. Ia masih larut dengan pikiran yang kalut dengan banyak prasangka jelek terhadap suaminya. 'Apa dia udah nggak betah hidup bersama denganku setiap hari? Apa dia udah bosan hidup sama aku yang kenyataannya sampai sekarang belum juga memberikan keturunan? Apa dia udah nggak cinta lagi sama aku?' Bukannya semakin tenang, ia semakin menangis dan takut jika mengingat prasangkanya itu adalah kenyataan yang ada tanpa ia sadari.

"Sayang ... Mas mau ngomong dulu sama kamu. Buka pintunya ya." Alfa kembali mengetuk pintu, berusaha membujuk sang istri.

"Mas akan ceritain ke kamu semuanya dari awal. Kalau kamu nggak buka pintu, gimana cara Mas mau jelasin? Nggak mungkin kan Mas teriak-teriak gini terus."
Alfa telah beberapa kali mengetuk pintu, tetapi belum ada tanda-tanda suara sedikitpun dari sang istri akan membuka pintu.

"Istriku, Sayangku, Cintaku. Mas marah lo kalau kamu nggak buka pintu. Kamu tahu, kan apa konsekuensinya bila istri nggak patuh sama perintah suami?"

Dalam gemingnya, meski Alfi berusaha tak menggubris perkataan sang suami. Namun tetap saja rungunya dengan jelas mendengar setiap lontaran kata dari sang suami. Seketika ia teringat hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.” (HR. Ahmad; shahih)

Alfi pun perlahan mulai beringsut lalu bangkit duduk. Ia mengusap wajahnya yang basah, helaan napas kemudian keluar dari mulutnya. Namun, isakannya masih tersisa.

Alfa yang dibalik pintu tampak hampir menyerah dan hendak membalikkan tubuh. Seketika urung saat mendengar bunyu knop pintu berdecit. Ia terdiam, sengaja menunggu kemunculan sosok dibalik pintu. Namun, apa yang terjadi tak sesuai dengan harapan.

Alfi hanya membuka pintu, tetapi tak memunculkan dirinya menyambut sang suami. Ia langsung kembali menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan posisi terngkurap memeluk guling.

Alfa bergegas menghampiri, dengan lembut ia mengusap punggung sang istri. "Sayang, maafin, Mas ya." Alfi menganggukkan kepala tanpa sepatah kata yang keluar dari lisannya.

Air mata wanita itu kembali menetes, hatinya masih tak rela untuk hidup kembali berjauhan dengan sang suami meski hanya satu hari pun.

"Sayang ... Mas nggak bisa menolak permintaan Ibu. Ibu hanya ingin Mas menjadi suami yang bertanggung jawag dan bisa memenuhi kebutuhan kamu jika Mas bekerja di pabrik."

Alfi mengerutkan kening, ia tak sepakat dengan penuturan sang suami. "Itu hanya alasan, Mas. Tanpa Mas kerja di pabrik.  Penghasilan toko beberapa bulan ini buktinya sudah cukup kan memenuhi kebutuhan Alfi? Bilang aja kalau Mas Alfa udah bosen hidup bersama Alfi, hingga menghindar dengan alasan mau kerja, kan?"

"Astaghfirullah ... mikirnya kok jelek banget gitu, sih."

"Lah gimana? Buktinya Alfi belum pernah kekurangan meski Mas kerjanya di rumah jagain toko." Alfi masih tetap bertahan dengan posisi kepalanya yang tiduran di bantal.

Alfa menghela napas cukup panjang, berusaha sabar dengan tuduhan sang istri. "Iya, Sayang. Tapi, kan kamu tahu sendiri? bulan depan bukan hanya kebutuhan kita yang harus terpenuhi, Sayang. Ada cicilan mesin fotocopy yang harus kita bayar."

Alfi pun terdiam, ia baru sadar akan satu hal itu. "Tapi, kan rezeki itu udah Allah yang atur, Mas."

"Iya itu bener banget, Sayang. Dan Mas sama sekali nggak meragukan itu."

"Terus kenapa Mas Alfa masih kekeh mau kerja di pabrik?"

"Ingin menghargai dan membuat orang tua bahagia."

Alfi pun bangkit, hingga kini duduk berhadapan dengan sang suami.
"Kamu tahu kan, Sayang. Ibu sama Bapak sekarang hanya hidup berdua tanpa kehadiran anak-anaknya. Kamu ngerti, kan. Gimana kesepian dan harapan mereka yang terpendam ingin hidup bersama anak-anaknya di masa tuanya."

Alfi pun menunduk, ia teringat setiap kali dirinya dan suaminya berkunjung. Semenjak Alfa tak kerja lagi, setiap keduanya pulang sang Ibu selalu menangis. Sehingga kepiluan sering melanda hati Alfi yang melihat pemandangan itu.

Alfi juga teringat suatu waktu, pernah sang Ibu mertua  berkata 'Yang sabar ya, Fi dengan penghasilan suamimu yang tak seberapa.' Saat itu  Alfi hanya berucap 'Enggak apa-apa. Cukup kok, Bu.'

"Iya, Mas. Alfi sekarang paham apa yang dimaksud Mas Alfa. Lagian Alfi juga baru sadar, jika seorang anak laki-laki itu masih berkewajiban berbakti dan berusaha menggapai rida orang tua, terutama seoarang Ibu untuk memperoleh rida Allah Subhanahu Wata'ala. Maafin, Alfi yang salah paham ya, Mas."

Alfi menatap sendu ke arah sang suami. Netranya kini tampak berkaca-kaca, bukan karena sedih. Namun karena hatinya terselip rasa bersalah, akibat prasangka jelek yang muncul dalam benaknya.

Alfa yang melihat raut wajah sang istri demikian, langsung merengkuh tubuhnya ke dalam pelukannya.
"Lain kali, apa pun yang ada di pikiran. Ungkapin ya. Jangan pelihara prasangka, apalagi jika prasangka itu jelek. Bisa berakibat penyakit hati pada akhirnya."

"Iya, Mas. Maafin Alfi ya."

"Sama-sama, Sayang. Mas juga minta maaf karena nggak diskusiin ini dulu ke kamu."

"Iya, Mas."

Kesalahpahaman yang terjadi akhirnya berakhir. Tampak Alfa menghela napas lega, melihat sang istri akhirnya luluh dan bisa memahami maksudnya memutuskan untuk bekerja lagi.

Alfi juga demikian, hatinya merasa lega. Prasangkanya sama sekali tak benar. Suaminya memutuskan bekerja bukan karena ia bosan hidup bersama dirinya, bukan karena tak mencintainya. Namun, suaminya bekerja untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhannya dan juga sebagai bentuk baktinya kepada kedua orang tuanya.

Dasar wanita, setiap apa yang membuat hati seorang wanita terusik, sudah pasti ia akan lebih terbawa perasaan dalam memikirkan segala hal. Keegoisan juga akhirnya menghampiri, hingga agak sulit untuk meluluhkan hatinya kembali, jika tanpa penjelasan panjang yang cocok dengan apa yang menjadi kehendak hatinya.

Ia hampir tak pernah berpikir jernih saat sebuah masalah menghampiri. Ego dan emosi begitu juga cepat menguasai, hingga kesalahpahaman akhirnya terjadi.

Bersambung
Pasuruan, 14 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top