Part 18 Harapan Mertua
Bukan orang yang bagus meninggalkan dunianya demi akhiratnya. Bukan juga orang yang bagus, meninggalkan akhiratnya demi dunianya. Karena keduanya ini adalah sebagai ladang penentu untuk kehidupan akhirat kelak.
Terus beribadah sepanjang hari hingga lalai dengan kewajiban menafkahi keluarga itu bukanlah hal baik. Begitu pun terus menerus bekerja sepanjang hari hingga lupa beribadah juga perbuatan yang tak patut.
Maka, seimbangkan semuanya dengan baik. Karena bekerja untuk menafkahi keluarga, meski itu dilihat dari segi dahir adalah urusan dunia. Namun, jika diniatkan memenuhi kewajiban karena Allah itu juga akan berpahala.
Sesungguhnya dunia adalah jalan menuju akhirat, karena amal salih yang dilakukan manusia hanya bisa di lakukan dunia. Jadi, sebagai orang yg beriman, ia akan menjadikan apa pun yang dimiliki di dunia ini sebagai sebuah alat yg digunakan untuk ibadah demi keuntungan akhiratnya.
Begitulah isi kajian yang bisa disimpulkan dari acara pengajian pagi setelah subuh yang dihadiri Alfa dan Alfi. Setelah acara bubar keduanya pun langsung pulang dan kembali ke rumah orang tua Alfa.
Hanya butuh sepuluh menit, kini keduanya telah sampai. "Assalamualaikum," ucap Alfa dengan lantang begitu tangannya membuka pintu.
Terdengar jawaban salam dari dalam, lalu muncullah sosok ibunya yang tersenyum menyambutnya.
"Ibu mau ke mana? Udah rapi aja pagi-pagi gini?"
"Ada yang mau ibu omongin sama kamu." Alfa pun ikut duduk di samping ibunya.
Saat Alfi masuk menyalami sang ibu mertua. "Fi, tolong lihatin ke dapur ya. Ibu goreng tempe."
"Iya, Bu." Alfi langsung ke belakang menuruti titah sang ibu mertua.
---***---
Sekitar pukul sepuluh pagi. Tampak Alfi sedang duduk berdua di teras rumah ibu mertuanya.
"Gimana, Fi? Udah ada tanda-tanda? Ibu udah pengin gendong anakmu sama Alfa."
Alfi yang sejak tadi fokus mengiris adonan krupuk itu langsung menoleh. 'Pertanyaan ini apakah harus selalu terlontar saat aku berkunjung kemari? Tak tahukah ibu, jika pertanyaan ini cukup sensitif buat?' Alfi merasa jengah, sedih, kecewa dan kesal seakan menjadi satu.
Alfi tampak menghela napas pelan tetapi cukup dalam ia hirup udara sebelumnya. Seulas senyum ia persembahkan saat menatap sang mertua. "Doanya saja ya, Bu. Alfi dan Mas Alfa saat ini sedang usaha minum madu penyubur."
"Oh iya? Jadi usaha promil baru lagi?"
"Iya, Bu."
"Semoga hasil ya, Nak. Kasihan Alfa, pasti dia juga udah pengin banget punya anak."
'Tak hanya Mas Alfa, Bu. Aku pun sangat menginginkannya.' Alfi menatap sendu ke arah Ibu mertuanya. Namun, detik kemudian ia buru-buru memalingkan wajah. Karena tiba-tiba dengan cepat cairan bening menggenang di pelupuk matanya.
Sebuah harapan yang tak kunjung menjadi nyata. Apalah manusia yang hanya berusaha, karena hanya Allah-lah yang berkuasa mewujudkannya. 'Ya Allah ... kuatkan hati hamba yang tiba-tiba merasa tertekan ini,' batin Alfi. Tangannya berhati-hati mengiris adonan kerupuk itu, sembari mengerjap-erjapkan kedua matanya, berniat mengusir cairan bening itu agar tak mengalir.
Selang waktu beberapa menit tak ada lagi obrolan keduanya. Sepertinya dua orang yang duduk berdampingan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Wah, lagi bikin kerupuk Bu Tika?" Keheningan seketika pecah saat seseorang datang dan ikut nimbrung--duduk.
"Hehe iya, Bu Hani. Mumpung ada yang bantuin, nih."
"Eh, istrinya Alfa, Ya?"
Alfi pun mempersembahkan senyum sebagai bentuk balas sapanya seraya menganggukkan kepala.
"Gimana, Mbak? Udah Isi? Anakku Zizi udah hamil lo."
"Wah ... iya, Bu? Cepet banget ya, Bu. Langsung hamil aja. Nggak tahu, nih. Alfi sampai sekarang belum hamil juga." Alfi langsung terdiam, jawabannya terwakili oleh sang ibu mertua.
Mendengar jawaban Tika, Alfi menundukkan kepala. Hatinya tak bisa dicegah lagi untuk merasakan perih akibat penuturan ibu mèrtuanya yang sungguh demi apa pun tak enak didengar rungunya. Sebuah ungkapan yang menurut Alfi menyalahkan dirinya.
"Loh kok bisa? Emang ikutan KB?"
Melihat ibu mertuanya diam, akhirnya Alfi bersuara, "Nggak Bu. Nggak pernah ikut KB?"
"Oalah gitu. Belum waktunya aja, kali. Sabar, ya." Alfi mengangguk seraya tersenyum. Entah bagaimana ekspresi senyumnya kali ini. Hambar banget kayak tak ada bumbu penyedapnya kali ya.
"Takdir Allah kepada manusia itu udah takarannya masing-masing. Jadi apa pun yang kita terima saat ini, maka syukurilan dan manfaatkanlah dengan sebaik mungkin." Tiba-tiba terdengar suara berat dari dalam rumah begitu sosok wanita yang ikut nimbrung tadi meninggalkan keduannya.
Sosok laki-laki itu duduk di bangku panjang di belakang Alfi dan ibu mertuanya. "Sabar, Nak. Hamil nggak hamil itu udah takdir dari Allah. Syukuri apa yang sekarang ada. Nggak usah terlalu dipikirin, yang penting jangan menyerah untuk berusaha ya."
Seakan mendapat obat kesejukan dan penenang ditengah hatinya yang panas dan perih. Alfi menoleh ke arah Rio--ayah mertuanya--dengan bibir tersenyum, lalu menganggukkan kepala.
---***---
Langit gelap tampak indah dengan gemerlap bintang. Tampak sang dewi malam bersinar cukup cerah dengan bentuknya yang seperti sabit.
"Sayang," ucap Alfa yang kini sedang bersantai di balkon depan kamarnya dengan gawai masing-masing.
"Hemm," jawab Alfi singkat. Netranya masih tetap setia menatap benda pipih itu.
"Mas besok kerja."
Alfi seketika terkejut mendengar kabar yang membuatnya heran dan bingung. "Kerja?"
"Iya, kerja di pabrik rokok."
"Kok bisa tiba-tiba kerja? Emang Mas Alfa mengirim lamaran kerja ke pabrik itu?" Alfa tampak menggelengkan kepala.
"Ibu yang daftarin, Yank."
"Dan Mas langsung main setuju aja?"
Alfa menganggukkan kepala.
"Terus yang jaga toko siapa, Mas? Belum sebulan kita udah punya mesin foto copy." Alfa hanya mengendikkan bahu. Tampak ia juga bingung dengan nasib tokonya yang memang baru dua pekan kemarin ia memutuskan kredit mesin foto copy.
"Emang Mas nggak bisa nolak?"
"Ya nggak bisa, Sayang."
"Terus kita LDR-an lagi kayak dulu?"
"Ya mau gimana lagi, kan?"
Seketika raut wajah Alfi berubah, tampak kesal dan ingin marah. "Mas Alfa, jahat," ucap Alfi sontak merajuk, ia berniat bangkit meninggalkan sang suami. Namun dengan cepat Alfa mencegahnya dengan memegang lengan sang istri.
"Duduk dulu, Mas jelasin."
Bukannya menuruti titah sang suami. Alfi malah menggerak-gerakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Alfa.
"Ngapain lagi? Toh, Mas udah mengambil keputusan tanpa meminta pandapat Alfi, kan?" Alfi pun menghempaskan tangan sang suami, kemudian bergegas bangkit dan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Alfa yang bergeming tanpa bisa berucap dan melakukan apa pun untuk saat ini.
'Apa yang diucapkan Alfi benar, aku salah karena main iya-in permintaan ibu tanpa diskusi dulu sama dia,' pikir Alfa dalam diam tampak merasa bersalah. Tatapannya kini lurus ke depan, mencoba berpikir bagaimana caranya ia menjelaskan bahwa apa yang diputuskannya itu sudah ia pikir matang-matang sebelumnya.
.
.
.
Bersambung
Pasuruan, 13 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top