Part 17 Madu

Waktu terus berputar tanpa mengenal kata kembali. Dedek bayi Ahmad yang dulu hanya bisa tersenyum dan menangis. Kini mulai terdengar celotehannya yang begitu menggemaskan. Apalagi jika tertawa, rungu yang mendengar seakan tergelitik hingga ingin rasanya menggigit hidung tak mancungnya.

"Ciluuuukkk, Ba," ucap Alfi sembari membuka kedua tangannya yang tadi menutup wajahnya.  Ahmad tiada jemu terus tertawa saat melihat Bu Dhe-nya dengan ekspresi mengagetkan dirinya.

Alfi sengaja mengajak Ahmad yang sudah berusia enam bulan itu bermain cilukba, mengingat artikel yang ia baca tadi di salah satu situs web generasimaju.com yang menjelaskan bahwa ketika bermain “cilukba”, bayi berusia di bawah 6 bulan biasanya akan merasa kaget. Hal ini disebabkan ia belum mengerti dan beranggapan Bunda dihadapannya hilang. Karena itu, kehadiran Bunda kembali membuatnya kaget.

Pada usia 6-8 bulan, buah hati mulai bisa tertawa dalam permainan ini. Ini menandakan ia mulai mengerti ayah atau Bunda tidak benar-benar hilang, hanya menunggu waktu untuk kembali. Buah hati akan tertawa ketika mengerti bahwa yang sebelumnya hilang telah kembali.

Tertawa juga merupakan bagian dari komunikasi. Hal ini disampaikan juga oleh Dr. Addyman, bahwa tertawa menunjukkan pemahaman buah hati tentang yang ada di sekitarnya. Permainan seperti “cilukba” tidak hanya menyenangkan bagi buah hati, tetapi juga menghibur para orang tua karena senang melihat tawa buah hatinya.

"Wah ... seru amat Ahmad main sama Bu Dhe, ya." Dewi yang baru saja datang dengan handuk berada di pundaknya menghampiri sang kakak ipar.

Alfi menoleh lalu tersenyum. "Udah siap air buat mandiin Ahmad, Dek?"

"Iya, Mbak." Dewi mengangguk sembari tersenyum.

"Gimana berobat ke Bu Ninis, Mbak? Jadi nggak dilanjutin?" tanya Dewi sembari tangannya bergerak aktif, membuka pakaian Ahmad.

"Iya, Dek. Hasilnya tetep gitu-gitu aja saat periksa. Makin baik, gitu doang. Tapi Mbak masih sering minum jamunya, sih. Meski nggak tiap hari. Hehe."

"Emm, gitu." Dewi tampak mengangguk-anggukkan kepala lalu menoleh. "Oh iya, Mbak. Ada temenku yang ikhtiyar madu. Madunya suami istri sendiri-sendiri, Mbak. Belum habis dua botol dia langsung positif, lo, Mbak. Mungkin Mbak Alfi mau coba."

"Emm belinya di mana?" Alfi mulai tampak penasaran, mendengar ada yang berhasil dengan ikhtiyar itu. Siapa yang tidak tertarik, kan?

"Katanya, sih. Di apotik ada."

"Oh iya, iya. Mbak nanti bilang deh ke Mas Alfa. Siapa tahu dia berminat."

"Namanya juga ikhtiyar, kan, Mbak. Siapa tahu jodoh."

"Hehe iya, Dek. Doanya, ya."

"Pasti, Mbak. Ya udah, Dewi mandiin Ahmad dulu. Makasih udah ditemenin tadi." Alfi mengangguk dengan bibir tersenyum. Lalu mengekori langkah Dewi. Namun, saat Dewi melangkah lurus, Alfi berbelok ke arah kanan menuju rumahnya.

---***---

Sore hari, sepulang dari Madrasah Diniyah. Keduanya berangkat dengan kendaraan roda dua, hendak bersilaturahmi dan sekaligus menginap di rumah orang tua Alfa.

Tak lupa keduanya juga berniat mampir dulu di apotek untuk membeli madu sesuai yang diinfokan Dewi.

Iya, Alfi tak membuang kesempatan ikhtiyar lain dan mengatakannya kepada sang suami. Alfa pun tak keberatan, akhirnya ia berniat membeli madu itu saat dirinya akan ke rumah orang tuanya.

Apotek besar di daerah perkotaan ia lewati saat menuju rumahnya di daerah Kejayan--selatan Kota Pasuruan. Karena sudah beberapa hari ini keduanya membeli di apotek daerah sekitar rumahnya tidak ada.

Baru saja Alfi keluar dari apotek dengan membawa kantong plastik di tangannya. Tiba-tiba terdengar suara guntur diiringi tetesan demi tetesan air dari langit yang semakin lebat.

Langah Alfi seketika terhenti saat menuruni anak tangga setelah melewati ambang pintu apotek itu. Kepalanya lalu menoleh ke arah kiri, memastikan keadaan suaminya yang tadi menunggu di parkiran. Untung saja didepan apoting ini masih tertutup atap. Hingga parkiran pun aman jika hujan melanda seperti sekarang ini.

Alfi pun kemudian melanjutkan langkah menuju tempat duduk suaminya berada.
"Sudah, Sayang? Uangnya cukup?"

Alfi mengangguk seraya tersenyum.
"Alhamdulillah masih ada lebihnya, Mas." Alfi menyodorkan uang lebihnya ke tangan Alfa.

Alfa yang melihat koin di tangannya cukup terkejut. "Lebih seceng?" Alfi terkekeh seraya menganggukkan kepala. "Lumayan, kan. Buat parkir."
Alfa pun ikut terkekeh seraya mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan sang istri.

"Langsung ke rumah, Mas?"

"Emm, kayaknya mampir makan dulu lebih enak. Gimana?" Keduanya masih setia duduk di bangku panjang, berniat hujan deras ini mereda.

"Setuju!" ucap Alfi antusias.

Hujan semakin deras diringi angin meniup cukup kencang, hingga memercik ke mana-mana. Alfi dan Alfi yang tadi merasa aman langsung bangkit saat merasakan air yang membasahi kaki mereka. Karena bangku yang mereka duduki memang dekat dengan tepi atap parkir.

Saat Alfi berdiri di dekat suaminya, tak sengaja netranya menangkap pemandangan seberang jalan yang sedikit mencubit hati. Di seberang jalan itu ada sosok wanita dengan perut buncitnya tampak senyum-senyum kala laki-laki di hadapannya menunduk menciumi perut buncitnya.

Sungguh, pemandangan ini selalu saja membuat hati diliputi iri. Meski kerap kali Alfi temui di berbagai tempat. Ingin ia enyahkan, belagak tak peduli. Namun tetap saja, hatinya seakan belum bisa sepenuhnya berkompromi. Agar sabar menerima segala takdir yang ia alami.

Alfi tampak menghela napas cukup panjang. Pandangannya dialihkan ke arah samping dengan mimik wajah sendu, terlihat sekali jika dirinya kini menahan gejolak hati.

Alfa yang menyadari perubahan mimik wajah sang istri saat pandangannya ke depan, ikut melihat apa yang Alfi lihat. Seketika lengannya merangkul sang istri, kemudian mengusap-usap lengan Alfi. "Sabar, Sayang. Semuanya pasti akan indah pada waktunya. Yuk, kita berangkat. Hujan sudah agak reda, nih."

Alfi menatap wajah teduh sang suami, ulasan senyum kemudian tampak di bibirnya. Setelah menganggukkan kepala, Alfa menggenggam tangannya, pun Alfi membalas genggaman tangan itu hingga akhirnya keduanya berjalan beriringan.

Tig puluh menit berlalu. Lalu lalang kendaraan semakin sore tampak lebih ramai. Apalagi jika mengingat sore ini adalah malam minggu. Sudah menjadi kebiasaan, pengendara motor lebih dominan menguasai jalan raya yang dikemudi oleh sepasang muda-mudi.

Motor Alfa pun melaju santai dengan menyalakan lampu riting sebelah kiri, karena beberapa meter memang ia akan berbelok masuk gang. Namun, belum juga ia akan berbelok. Tiba-tiba suara bel motor dari arah belakangnya terdengar bertubi-tubi--sangat cepat.

Alfa yang melihat di belakangnya ada motor yang akan menyalip dari sisi kirinya, sontak mengurungkan niatnya untuk membelokkan setir.

Wusshhhh.
Motor itu melaju begitu cepat melewati keduanya, membuat mereka sangat terkejut hingga kompak berucap, "Astaghfirullahal'aziim."

"Astaga tuh, orang udah jelas mas riting kiri, kan?"  Alfa mengangguk seraya terus melajukan motornya berusaha tetap tenang, lalu berbelok memasuki gang. Tak jauh dari gang itu, ia masuk jalan sempit ke sebelah kanan hanya sedikit, di halaman rumah itulah dia memberhentikan motornya dengan helaan napas lega. "Alhamdulillaaahhh."

"Kebangetan, tuh motor ya, Mas. Padahal udah jelas kita mau belok, seenaknya aja nyalip-nyalip tanpa aturan. Itu kan bahaya banget, untung Mas Alfa tadi keburu ngerem dan nggak jadi belok. Kalau nggak, kan. Haduh .... " Alfi terus mengomel sejak turun dari motor hingga Alfa membuka pintu rumah yang tiada penghuni. Sepertinya orang tua Alfa sedang tak ada di rumah.

"Huh, ngeselin banget. Kalau buru-buru mbok ya jalan dari kemarin-kemarin."
Alfa yang melihat istrinya cemberut dengan gaya mengomel, tampak menggeleng-gelengkan kepala seraya melepas helm.

Melihat Alfi omelannya tak kunjung reda, meski telah memasuki kamar. Alfa buru-buru menyusulnya dan langsung memegang kedua lengan sang istri lalu membalikkan tubuhnya hingga keduanya berhadapan.

Alfi yang sedikit terkejut, seketika lisannya tak lagi mengeluarkan suara. "A'uzubillahiminasysyaithonirrojiiim," ucap Alfa lirih, lalu meniup ke pucuk kepala sang istri.

Alfi langsung terpaku, beberapa detik ia bergeming saat merasakan udara tertiup sampai ke ubun-ubunnya. Detik kemudian kedua netranya mengerjap-erjap akibat terkejut dan tak mengerti dengan apa yang Alfa lakukan.

Alfa sontak terkekeh. "Setannya biar segera kabur dan nggak bikin kamu ngomel-ngomel lagi."

Seketika ekspresi Alfi pun berubah kesal. Bibirnya cemberut, kedua alisnya saling tertaut. Bukannya takut, Alfa malah semakin gemas. Ia cium pipi kanan Alfi singkat, lalu kabur keluar kamar.

"Mas Alfaaa!" teriak Alfi yang disusul tawa oleh Alfa yang terdengar semakin jauh.

.
.
.
Bersambung.
Pasuruan, 13 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top