Part 16 Amanah
[Lima menit lagi azan zuhur, Yank. Sekalian salat dulu aja, ya?]
Alfi yang baru duduk di teras musala, berniat menunggu sang suami. Merasakan getaran ponselnya, ia langsung merogoh benda pipih itu.
Alfi tersenyum saat mendapati notif pesan dari sang suami. Buru-buru ia buka dan membacanya.
[Iya, Sayangku]
Setelah memencet gambar lipatan kertas seperti pesawat itu, Alfi bangkit berbalik tubuh menuju ke dalam musala yang hanya ada beberapa pengunjung.
Selang waktu lima belas menit, Alfa langsung menjemput sang istri saat mendapat pesan jika Alfi telah selesai salat Zuhur.
Keduanya pun menelusuri gang selatan masjid itu beriringan, sesekali Alfi juga sedikit mundur, saat melihat laki-laki berjalan dari arah berlawanan. Cari aman agar terhindar dari bersentuhan.
"Udah ada yang ngedemo minta jatah nggak, Sayang?" tanya Alfa sesampainya di parkiran. Alfi menatap sang suami dengan menampakkan gigi putihnya, sebagai kode jawaban iya.
"Makan dulu, ya. Mendung-mendung gini enaknya makan yang anget-anget. Em, ke warung soto mau?"
"Nggak, Mas." Alfi menampakkan wajah tak setuju. Alfa mengerutkan kening, tumben wanitanya menolak saat diajak makan makanan kesukaannya itu.
Belum juga Alfa melontar tanya, Alfi sontak menyela, "Enggak nolak, kok, Mas. Hehe."
Alfa yang gemas dengan tingkah sang istri, sontak mengacak-ngacak pucul kepala sang istri perlahan. Alfi pun tergelak, langsung memegangu jilbabnya agar tak semakin berantakan ulah sang suami.
Suasana parkir yang berdekatan dengan alun-alun kota pasuruan siang ini tampak tak begitu ramai, tidak seperti saat akhir pekan.
Lima belas menit berlalu, Alfa dan Alfi pun sampai di warung yang dituju. Setelah memesan dua porsi soto dengan minuman jeruk hangat. Keduanya memilih meja yang masih kosong tepat berada di bagian ujung.
"Mas ngerasain nggak, sih. Setiap habis ziarah hati ini rasanya tenaaang gitu."
"Iya, lah. Sayang. Ziarah ke waliyullah meski telah wafat, sama saja silaturahim ke walinya Allah yang masih hidup. Ingat tombo ati, kan?"
"Em, iya juga, sih, Mas. Salah satunya kumpul dengan orang salih, kan?" Alfa mengangguk dengan bibir yang menyungging senyum.
"Permisi" Tiba-tiba seorang perempuan datang membawa nampan, lalu meletakkan pesanan Alfa di meja.
"Makasih, Mbak," ucap Alfi yang dijawab dengan anggukan, kemudian perempuan itu berlalu.
Baru saja keduanya mulai menikmati makanan berkuah di hadapannya. Tiba-tiba terdengar suara tangisan anak kecil yang cukup memekik.
Alfa dan Alfi menoleh, keduanya melihat anak kecil yang terjatuh dan dari arah kanannya terlihat seorang perempuan datang tergopoh-gopoh menghampiri anak kecil berjenis kelamin laki-laki itu, melewati Alfa dan Alfi.
"Tuh, kan. Makanya ibu bilang apa, bandel, sih kalau di bilangin." Perempuan itu menyerek dengan kasar sang anak sambil ngomel-ngomel, kembali lewat di depan keduanya.
Begitu wanita itu berlalu. Alfa dan Alfi saling berpandangan. Tampak tatapan netra Alfi begitu sendu, sedih melihat anak kecil yang semakin histeris dalam tangisnya.
'Ya Allah ... sungguh aku tak tega melihat ini. Jangan sampai hamba berbuat demikian jika pada waktunya nanti dikaruniai seorang anak,' batin Alfi, tampak kini ia menundukkan kepala.
Sebenarnya pemandangan seperti ini bukanlah hal pertama kali yang ia lihat. Ia sering melihat di sekitar rumah atau saat di sekolah. Namun, entah mengapa hatinya tak bisa kebal. Hatinya selalu miris melihat pemandangan yang ia rasa tak pantas dilakukan kepada anak kecil yang masih perlu di bimbing itu.
Anak kecil ibarat kaca, ia tak akan pernah melakukan sesuatu jika ia tak pernah melihat hal itu sebelumnya. Jadi berhati-hati wahai orang tua. Segala ucapan dan tingkah lakumu akan menjadi cerminan untuk dia tiru.
'Sepertinya aku harus banyak-banyak belajar merealisasikan sabar, baik dalam ucap atau perbuatan. Sebelum pada akhirnya nanti aku ditakdirkan menjadi seorang ibu yang memiliki amanah besar untuk mendidik anak-anakku.'
"Kenapa?" tanya Alfa sembari memegang tangan Alfi.
Alfi mendongak dan sempat terkejut. Namun, detik kemudian bibirnya terbit sebuah senyuman yang disertai gelengan kepala. "Nggak apa-apa, kok, Mas. Makan lagi, yuk. Sotonya enak kan, ya." Alfi berusaha mengenyahkan pikiran yang sempat membuat hatinya diliputi rasa pilu.
---***---
Nikmatnya hidup itu jika kita mensyukuri apa yang ada dan tidak membebani pikiran dengan asa yang belum menjadi nyata. Baru beberapa hari ini kalimat ini terpatri, tetapi kali ini kembali hati Alfi terusik kembali.
Mendengar teman sepenantiannya hamil, benar ia merasa bahagia. Namun, tak bisa dipungkiri jika hatinya tercubiy rasa iri karena dirinya belum juga mendapatkan berita membahagiakan itu.
[Pean orang sabar, Mbak. Jadi Allah masih menguji pean. Nggak kayak aku] kalimat balasan chat itu seakan terus terngiang di benak Alfi.
'Benarkah aku orang sabar? Tapi kenapa hati ini merasa tak rela? Kenapa masih saja ingin menangis saat mengingat takdir yang seakan tak adil menurutnya. Astaghfirullah ya Allah. Lapangkan hati ini, baikkanlah prasangka dalam benak ini,' ucap Alfi dalam hati. Berharap dirinya tak terpengaruhi bisikan jelek yang tak pantas dipelihara dalam hati.
"Sayang, pacaran, yuk. Pagi-pagi udah bengong. Mikirin apa, sih?"
Alfi yang sedikit terkejut lalu mengulas senyum. "Ada kabar gembira, nih, Mas. Nurul teman aku hamil, Mas."
"Alhamdulillah."
"Kok bisa, sih. Mas nggak keliatan iri sedikit pun gitu. Nggak ada sedih-sedihnya mengingat nasib kita masih dalam penantian."
"Iri dengan nikmat orang lain itu dosa dan nggak boleh, Sayang. Nikmati apa yang ada, jangan membebani pikiran dengan yang belum ada. Ingat, kan?" Alfi tersenyum lalu mengangguk. Kebahagiaan terselip dalam hatinya saat ini, karena setiap titah sang suami, seakan menjadi siraman penyejuk bagi hatinya yang gersang dari ketenangan.
Apalagi melihat senyum suaminya yang tulus tanpa beban. Seakan memberikan energi positif untuknya, menularkan rasa bahagia yang sama.
Alfa pun menjelaskan bahwa dalam surah An-Nisa [4] Ayat 32 dijelaskan dengan gamblang larangan sifat iri yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Alfa memang sosok cerdas dan alumni pesantren. Jadi tak heran, jika sesekali saat ia memberi nasihat, ia juga lontarkan juga dalilnya.
"Udah ayuk nggak usah mikir aneh-aneh, kita pacaran dulu. Mas punya sesuatu buat kamu. Mau nggak?"
"Emang Mas punya apa?"
"Rahasia, dong. Kalau mau tinggal ikut aja."
"Kalau Alfi maunya digendong?"
"Oke. Siapa takut." Tanpa basa basi lagi, Alfi langsung mengangkat tubuh Alfi, menggendonya ala bride style.
.
.
.
Bersambung
Pasuruan, 11 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top