Part 14 Sakit Hati
Lidah memang tak bertulang, hingga kelenturannya memicu banyak hal. Ada yang tersanjung, bahagia, tersipu, bahkan ada pula yang sedih, marah dan membuat sakit hati. Karena itu berhati-hatilah saat berbicara. Pilihkah akibat terbaik yang kelak di akhirat kamu tak dihakimi atau dihukum akibat ulahnya.
Setelah mendapatkan pertanyaan demikian, Alfi langsung bungkam dan terpaku beberapa detik. Barulah menit kemudian dia langsung permisi ke dalam, tanpa merespon pertanyaan yang keluar dari lisan wanita itu.
Buru-buru ia mengembalikan Ahmad ke adik iparnya. Kemudian kembali ke rumahnya dan langsung masuk kamar.
Di sinilah ia sekarang. Terdiam duduk di tepi ranjang. Merasakan dadanya seketika sesak, cairan bening tak dapat lagi dicegah dengan cepat memenuhi pelupuk mata.
'Ya Allah ... tega nian lisan itu berkata demikian? Apakah dia tak punya hati hingga hilang rasa? Apakah dia tak punya pikiran bagaimana akibat kalimat tajam yang membuat hati serasa teriris perih? Padahal, dia adalah wanita yang pernah mengalami apa yang kualami saat ini. Dia perempuan yang lama tak hamil, sekali hamil dia keguguran, akhirnya ia memilih mengadopsi keponakannya sendiri. Ya Allah tega banget sih, dia ....' Alfi tampak terpaku dengan kemelut pikiran dan perih hatinya saat ini. Membiarkan tetes demi tetes air matanya menganak sungai di pipi.
'Mandul? Apa iya aku mandul? Masak sih aku enggak bisa punya anak? Ya Allah ....'
Pandangan wanita berkerudung hijau itu kosong, tak pedulikan cairan bening membasahi kain kerudung bagian bawah dagunya dan juga yang sesekali menetes pada sarung yang ia kenakan. Ya Allah ... hati ini sakiiit. Na'udzubillah tsumma na'udzubillah, jangan sampai itu terjadi padaku ya Allah. Aku mohon. Alfi mendongak penuh pengharapan, seakan benar-benar meminta kepada sang Mahakuasa.
Tak peduli dengan sekitarnya, indra penglihatan dan pendengarnya seakan kini tak berfungsi. Alfi begitu sibuk dengan sakitnya hati dan pikirannya yang kini terus melalang buana tak tentu arah. Kedatangan sang suami pun tak ia sadari, meski telah beberapa kali dipanggil. "Sayang."
Alfa yang mendapati sang istri masih bergeming akhirnya melangkah lebih dekat. Kemudian tangannya terulur ke depan, memegang pundak sang istri pelan sembari berucap,"Sayang, kamu kenapa?"
Alfi sempat terlonjak kaget, samar-samar penglihatannya mendapati seeperti sosok suaminya yang berdiri. Ia pun mengerjap-erjapkan kedua matanya, agar cairan yang menghalangi pandangannya keluar bebas tanpa dikekang lagi. "Mas." Alfi langsung merengkuh tubuh Alfa dan semakin terisak di pelukannya.
Alfa yang penasaran, kini terlihat lebih cemas. Ingin sebenarnya bertanya ada apa? Kenapa nangis?.
Namun ia memilih bungkam, hanya gerakan tanganlah yang kini dilakukan, mengelus punggung sang istri. Ia sangat tahu, jika hati Alfi kini tak sedang baik-baik saja. Ditanya pun sudah pasti tak akan menjawab.
Biarlah waktu terus berjalan dalam keheningan untuk mendengar isakan sang istri. Barulah nanti dikala terlihat lebih tenang, ia akan menanyakannya.
Selang beberapa menit, isakan Alfi mereda. Alfa pun perlahan mengurai pelukan mereka. Tatapannya teduh, seakan menyalurkan ketenangan dengan iringan senyum manisnya menatap sang istri. Melihat wajah Alfi basah oleh air mata dan kerudung yang sedikit berantakan. Dengan hati-hati tangan Alfa mengusap wajah Alfi, lalu merapikan jilbabnya.
"Ada apa, Sayang? Kok tiba-tiba kamu nangisnya separah ini?"
Alfi menatap intens ke arah sang suami yang tengah menatapnya juga. Bibirnya berusaha bergerak ingin menjawab. Namun apalah daya, hatinya kembali nyeri mengingat kata tajam yang menankutkan itu lagi.
Air matanya pun kembali luruh, meski tak sederas tadi. Alfi tampak mendongak dengan hirupan napas cukup panjang, agar dadanya yang tadinya terasa sesak bisa membuatnya bernapas lega.
'Ya Allah ... kuatkan hati hamba ya Allah.' Alfi mengerjap-erjapkan kedua matanya, seakan tak mengijinkan cairan bening itu kembali mengalir. Berulang kali ia menghirup udara cukup dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Alfa hanya diam, menyaksikan Alfi yang menenangkan dirinya sendiri.
"Ba-barusan, Alfi denger omongan nggak enak, Mas. Alfi takut itu terjadi beneran."
"Siapa yang ngomong, Yank?" tanya Alfa sembari mengusap air mata yang kembali mengalir. Sepertinya usaha Alfi mengusir air mata itu sia-sia.
"Emak Tini."
"Beliau ngomong apa?"
"Al-alfi man-mandul." Dengan terbata Alfi mengucap kata itu, diikuti kemudian ia mewek lagi. Air matanya pun kembali mencelos dengan cepat tak terkendali.
"Astaghfirullahal'adhzim." Alfa langsung beristighfar, lalu kembali memeluk erat tubuh sang istri.
"Sabar ya, Sayang. Insyaallah kamu baik-baik saja, kok. Dan omongan itu nggak bener. Kita memang belum punya anak. Ini hanya ujian dari Allah buat kita, Sayang. Agar kita bisa lebih bersabar dalam penantian."
"Tapi kalau bener gimana, Mas?" Suara Alfi terdengar serak.
Alfa pun tampak diam sebentar. Sepertinya ia memikirkan jawaban yang bisa menenangkan hati sang istri.
"Apa pun omongan orang, sama sekali tak berpengaruh akan takdirnya Allah, Sayang. Orang boleh ngomong apa pun, tapi tetap hanya Allah adalah penentu terbaik. Yakinlah, Sayang. Kita banyak-banyak berdoa ya, meminta hanya kepada Allah."
Alfi pun mengangguk tanpa melepas pelukannya. Ia merasa apa yang dikatakan Alfa benar adanya. Setiap apa yang terjadi, ini murni kehendak Allah. Manusia punya daya apa? Hanya berusaha sesuai kemampuan yang ia bisa.
---***---
Melodi gemericik aliran air mancur kecil di kolam ikan begitu tenang, membuat rungu yang mendengarkannya pun menyalurkan kedamaian sampai ke relung hati.
Alfi yang kini sedang duduk santai di atas kursi kayu yang berada di teras rumah. Tampak fokus dengan buku yang kini berada di pangkuannya.
Sebuah buku bacaan yang tak hentinya membuat wanita itu berdecak kagum akan kisah para wanita bidadari bumi yang merupakan judul dari buku itu.
Wanita-wanita hebat yang istiqamah dalam taat dan ibadah kepada Allah, serta senantiasa bersyukur atas apa pun keadaan yang Allah takdirkan untuknya. Baik itu sebuah kesengsaraan, kesulitan atau kesakita yang dialami, mereka selalu bersyukur.
"Masyaallah ... apalah aku yang selalu mengeluh akan setiap hal remeh. Selalu menuntut apa yang di mau, hingga lupa bersyukur atas segala anugerah yang telah lalu."
Membaca buku memang menjadi jembatan bertambahnya ilmu. Akan tetapi kita juga harus pandai-pandai memilih buku yang akan dibaca. Karena tak semua buku isinya bermanfaat untuk kebaikan.
"Oek ... oek ... oek." Mendengar suara Ahmad yang menangis di rumah sebelah. Alfi pun beranjak, menutup bukunya dan meletakkan di meja. Kemudian ia berjalan ke sumber suara.
"Loh ... Ahmad kenapa? Kok nangis, Sayang." Alfi yang sudah berada di kamar Ahmad langsung menghampiri Dewi yang kini sedang mengurus Ahmad yang terus menangis.
Mendengar Alfi datang, Dewi pun menyambut ramah sang kakak ipar dengan senyuman. "Pipis, dhe. Mulai risih dianya." Tampak Dewi dengan cekatan mengganti popok putra kecilnya itu.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG
Pasuruan, 08 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top