Part 10 Mitos
Setiap usaha yang dilakukan manusia, hanyalah suatu perilaku seorang hamba untuk menggapai apa yang diinginkan. Selebihnya, tugas seorang hamba adalah tawakkal (pasrah), karena hanya Allah yang kuasa sebagai penentunya.
Iya, itulah yang harus diyakini dalam hati seorang hamba yang memiliki cita. Sadar diri, bahwa dia hanyalah seorang hamba yang tiada daya dan kekuatan untuk mewujudkan citanya sendiri. Dengan begitu, barulah tata hati, agar berprasangka baik atas ketentuannya yang telah pasti. Karena takdir terindah dan terbaik hanyalah Allah yang Maha Mengetahui.
Mengingat nasihat yang cukup panjang itu, hati Alfi mulai tenang. Belajar lebih tawakkal 'alallah dengan ikhtiyar yang kini ia jalani.
Rasa agak pahit dan sepat beradu menjadi satu di lidah Alfi yang baru saja meminum jamu herbal buatannya, sesuai anjuran Bu Ninis--seorang dokter khusus pengobatan metode herbal--yang dianjurkan oleh temannya tempo lalu.
Hasil periksa waktu itu, kata Bu Ninis 'di perut Alfi ada virus toksoplasma yang disebabkan oleh hewan unggas atau berbulu seperti kucing, ayam, burung dan lain-lain. Jadilah, beliau memberi resep jamu temulawak dan daun beluntas yang di masak dengan air untuk pengobatannya.
Namanya juga usaha, tak pedulikan rasa dan bau tak enak itu. Alfi sepekan ini rutin mengkonsumsinya, berharap akan ada hasil dari ikhtiyarnya kali ini.
"Oh iya, Sayang. Nanti siangan jam sembilan anterin Alfi, ya." Alfi yang baru usai membuat teh, membawanya dan langsung menghampiri sang suami.
"Mau ke mana, Sayang?" Alfa yang sejak tadi menatap ke arah laptop yang menyala, kini menoleh.
"Jenguk bayi, Yank. Mbak Fani lahiran."
Alfi duduk di kursi samping sang suami, lalu meletakkan gelas itu di meja.
"Alhamdulillah. Emang bawaannya udah beli?" tanya Alfa setelah menyesap teh bikinan sang istri.
"Beli dulu, baru ke rumah Mbak Fani."
"Oh, ya udah. Kita salat Duha dulu aja kalau gitu."
"Mas duluan, ya. Alfi mau cuci baju dulu."
"Iya, Sayang."
Alfi bangkit dan langsung menuju kamar mandi untuk cuci baju yang telah ia rendam dari setengah jam yang lalu.
---***---
Hari libur, sekitar pukul sembilan pagi ini. Tampak lalu lalang kendaraan cukup ramai, tetapi lebih dominan motor yang melewati jalan raya.
Alfa dan Alfi kini telah tiba di rumah Fani setelah belanja beberapa perlengkapan bayi yang dibawa Alfi di tangannya.
"Assalamualaikum," ucap Alfi begitu tiba dirinya berdiri di depan pintu rumah Fani. Namun, tak langsung ada sahutan.
Alfa dan Alfi tetap berdiri di depan pintu, menunggu sahutan sampai beberapa detik. Lalu Alfi kembali mengucap salam dengan suara yang lebih lantang.
"Waalaikumsalam waromatullah wabarokatuh." Terdengar sayup-sayup suara dari dalam rumah, membuat Alfi bernapas lega mengetahui ada orang di dalam. Berarti dia tidak harus pulang kembali dengan barang yang dibawanya saat ini, jika kenyataannya tak ada orang.
"Eh, Alfi. Masuk, masuk, Fi."
"Hehe, iya, Mbak makasih."
"Silakan Mas Alfa, masuk masuk.".
"Iya, Mbak."
Alfa dan Alfi pun duduk berdampingan. "Bentar ya, Fi." Fani langsung masuk setelah memastikan sepasang suami istri itu duduk.
"Itu, Mas. Bayinya Mbak Fani. Ih, lucu banget ya, Mas. Gembul bikin gemes." Alfi menunjuk sebuah banner yang tertempel di dinding sebelah kirinya.
"Iya, Sayang." Alfa tersenyum, membalas binar wajah bahagia sang istri.
"Hari ini enggak lagi main ke Kejayan, Fi?" tanya Fani yang muncul dengan tangan yang membawa nampan berisi dua gelas dan dua toples kue kering dab keripik.
Kejayan adalah rumah mertua Alfi. Hampir setiap hari libur, Alfa mengajak sang istri ke rumah orang tuanya. Namun, tidak untuk pekan ini.
"Hehehe enggak, Mbak. Mungkin minggu depan."
"Oalah iya-iya. Ayo, Fi, Mas. Diminum dulu tehnya," ucap Fani sembari menunjuk ke arah cangkir yang telah tertata rapi di depan Alfi dan Alfa.
"Assalamualaikum. Waaah, kedatangan tamu spesial, nih. Apa kabar Mbak Alfi, Mas Alfa?" Tiba-tiba muncul Mas Rendi--suami Mbak Fani--menyapa Alfa dengan berjabat tangan dan menyapa Alfi hanya dengan menangkupkan kedua tangan di dada.
Jawaban salam pun serentak Alfa dan Alfi terucap.
"Alhamdulillah baik, Mas." Kali ini hanya Alfa yang menjawab.
"Gimana, nih. Udah tanda-tanda?" tanya Mas Rendi kepada Mas Alfa dan berlanjut keduanya asyik mengobrol. Sedangkan Alfi diajak Fani ke dalam untuk melihat putri kecil Fani.
"MaasyaaAllah, Mbak. Lucunya, gembul gini pipinya." Alfi sontak terlihat gemas, menoel-noel pipi bayi gembul Fani.
"Hehehe. Makanya, kamu segera, gih. Seneng banget lo, Fi kalau udah ada yang kayak gini." Fani tersenyum penuh semangat dan menyalurkan kebahagiaan.
"Sebenarnya aku udah pengin banget lo, Mbak. Tapi gimana ya, emang belum dikasih. Mau gimana lagi."
Melihat wajah Alfi yang mendadak sendu. Senyum tadi yang terukir di wajah Fani dan hanya niat bercanda sontak luntur, rasa bersalah pun menyentil hati sahabat Alfi itu.
"Udah periksa ke dokter?"
"Sudah, Mbak. Katanya kebanyakan lemak di perut. Masak, sih Mbak aku segendut itu."
"Hah, emang, sih semenjak nikah kamu semakin berisi. Tapi kan tetep gendutan aku, Fi. Emang dasarnya duĺu kamu kurus, kan sebelum nikah."
"Nah, makanya, Mbak. Aku heran juga, sih dengan periksanya. Mungkin karena emang perut aku agak buncit makanya hasilnya begitu, ya. Hehe." Sesekali Alfi menatap Fani, tetapi tangannya terus menoel pipi bayi mungil Fani.
"Iya, namanya juga alat medis, Fi. Yang bisa baca juga cuma dokter."
"Hehe iya, Mbak. Tapi aku sekarang lagi ikhtiyar pengobatan herbal, Mbak. Risih juga kalau periksa sama dokter laki-laki. Yang di pengobatan herbal ini dokternya perempuan."
"Oalah gitu. Semoga segera hasil ya, Fi."
"Aamiin, aamiin."
"Oh iya, kata orang-orang tua zaman dulu. Coba, deh kamu usapin bedak bayi milik dedek bayi yang baru lahiran, siapa tahu ketularan, kan."
"Hemm, emang ada ya Mbak yang kayak gitu? Aku malah baru denger. Hehe."
"Hehe, namanya juga usaha, Fi. Sapa tau aja, kan."
"Iya, sih, Mbak. Boleh, dek sini coba." Fani pun mengambil bedak milik putri kecilnya, kemudian menyerahkannya kepada Alfi.
"Bismillah, Allahumma nular." Alfi tersenyum, merasa lucu saja dengan askinya kali ini. Fani pun tak kalah heboh, mendengar doa sang sahabat ia malah terkekeh, tapi tak lupa kalimat aamiin juga terlontar dari lisanya.
"Aku, tuh malah yang pernah dengar itu yang kayak gini Mbak. Jempol kaki wanita yang baru hamil diinjakkan ke kaki kita, biar ketularan."
"Oalah, kayak yang anak pondok lama nggak haid, terus minta diinjakin ke temannya yang baru aja haid, kan, ya."
"Nah iya bener, Mbak. Aku pernah coba itu, tapi nggak hamil-hamil, tuh sampai sekarang."
"Hahaha, itu, mah mitos, Fi. Semuanya kembali pada ketetapan Allah. Untuk sekarang, kamu yang sabar ya. Jangan terlalu dipikirin, karena makin banyak pikiran itu berpengaruh juga lo sama kondisi kamu."
Alfi mengangguk-anggukkan kepala, paham dan setuju dengan apa yang diutarakan sang sahabat. Meski pada kenyataannya, sampai saat ini, ia belum berhasil mengenyahkan pikiran yang terkadang membuat dirinya suntuk akibat setiap usahanya belum juga menunjukkan kata berhasil.
.
.
.
Bersambung.
Pasuruan, 02 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top