Part 1-Pacaran Dulu

Seorang wanita menatap nanar benda kecil yang berukuran panjang hampir sama dengan jari telunjuknya itu. Padahal, debaran hatinya sejak tadi seirama dengan detak jantung yang begitu cepat saat menunggu hasil.

Harap-harap cemas, itulah yang ia rasakan. Berharap bulan ini menjadi kabar bahagia karena ia terlambat datang bulan sudah satu pekan. Namun, apalah yang bisa dilakukan selain pasrah. Embusan napas kecewa kembali melanda saat melihat hanya satu garis berwarna merah di benda kecil itu.

"Sudah telat tujuh hari, ya Allah. Kenapa masih saja negatif. Padahal yang lain, telat tiga hari saja, begitu tes langsung positif. " Tampak wanita itu mendongak, menahan cairan bening yang menghangat dan semakin membendung di kelopak mata. Detik kemudian netranya mengerjap-ngerjap, disusul kemudian helaan napas cukup panjang, seakan mencari rongga untuk bernapas akibat dadanya yang mendadak terasa sesak.
Apalagi saat mengingat kejadian tadi pagi.

Pagi hari, saat dirinya ke rumah orang tua yang berada tepat di samping rumahnya. Seperti biasa, untuk menyiapkan sarapan pagi ia akan melewati pintu belakang untuk mengambil bahan-bahan makanannya yang ia kemarin beli dan dititipkan di kulkas sang ibu.

"Mau masak apa hari ini, Fi?" Ibu yang sedang memasak di dapur--sebelah ruang makan--menyadari kedatangan putri semata wayangnya.

Iya, Alfi merupakan anak perempuan semata wayang. Karena ia hanya dua bersaudara dengan seorang adik laki-laki. Adiknya pun sudah menikah beberapa bulan yang lalu, saat ini tinggal serumah dengan orang tuanya. Sedangkan Alfi, sudah dibuatkan rumah sendiri oleh orang tuanya untuk tinggal bersama sama suami.

"Pagi ini, Alfi akan masak tumis kangkung, ikan tongkol sama tempe goreng." Tampak gadis berambut panjang, tetapi dikuncir itu memilah barang yang dibelinya kemarin.

"Ya sudah, tempenya nggak usah goreng lagi, ini Ibu goreng banyak," ucap Ibu Alfi yang saat ini memang memotong tempe yang akan di goreng.

"Iya, Bu." Alfi yang tadinya akan mengambil sebalok tempe urung. Kini yang ia bawa hanyalah sayur kangkung dan ikan tongkol. Namun, saat membalikkan badan, netranya tak sengaja melihat sebuah kardus ukuran sedang yang bergambar wanita hamil. Alfi tampak memicingkan pandangan, memastikan jika tak salah lihat.

'Susu anm*m, itu kan susu khusus untuk wanita hamil? Apakah itu berarti?' batin Alfi, netranya sama sekali tak beranjak dari kardus itu. Hatinya mulai berdebar dan tiba-tiba tercubit rasa perih.

"Mbak." Hampir saja dua barang yang dipegang Alfi jatuh karena saking terkejutnya, tiba-tiba suara sang adik memanggilnya.

"Alhamdulillah Dewi hamil, Mbak."

Terjawab sudah, apa yang ia perkirakan benar adanya. "Alhamdulillah," ucap Alfi sembari tersenyum merekah. Tak bisa dipungkiri dirinya pasti ikut berbahagia mendengar kabar ini.

Siapa yang tak bahagia jika mendengar kabar ini. Bukankah salah satu di antara banyaknya tujuan pernikahan, pasti mempunyai keinginan untuk memiliki keturunan? Meski tak semua orang menjadikan hal itu sebagai tujuan utama. Tetap saja, saat buah cinta mereka telah hadir di tengah-tengah mereka, pasti kebahagiaan yang sangat akan dirasakan.

"Dewi segan sebenarnya ke pean mbak, karena dia malah hamil duluan."

"Hahaha." Entah tawanya hambar atau kelihatan terpaksa, Alfi hanya berusaha sekuat tenaga untuk tak menampakkan sesuatu yang aneh dalam hatinya saat ini, "ngapain segan segala. Hamil itu rezeki, Allah yang ngatur. Kita hanya bisa berusaha aja, kan?"

Sama sekali tak ada niatan Alfi bertopeng bahagia dibalik kesedihan. Sebenarnya ia benar-benar bahagia. Namun, dirinya tak munafik, jika dibalik kebahagiaan itu, terbesit rasa iri yang menyebabkan rasa sakit dalam hati, mendadak dada sesak saat mengingat itu semua.

"Sayang?" Ketukan pintu yang disusul dengan suara sang suami, membuat wanita itu sadar dari keterpakuannya menyendiri di kamar mandi. Entah telah berapa lama mendekam, ia pun tak tahu.

Buru-buru wanita bernama lengkap Nur Alfiana itu mengusap bagian wajah yang basah. Tampak ia menghela napas terlebih dahulu sebelum berucap, "Iya, Mas. Bentar Alfi wudlu dulu."

Selang beberapa menit wanita itu keluar dan mendapati sang suami berdiri menunggunya di depan pintu. "Lama amat, ngapain?" tanyanya menatap sang istri.

Alfi yang ditatap intens seperti itu, sontak menundukkan kepala. Ia tak mau saja, jika ketahuan netranya memerah setelah menangis tadi.

"Hehehe, maaf, Mas. Tadi masih bersihin kuku." Ia tak bohong, karena sebelum wudlu tadi memang membersihkan kuku tangannya yang sedikit panjang.

Alfa--suami Alfiana--langsung percaya ucapan sang istri. Buktinya ia menganggukkan kepala lalu memasuki kamar mandi, begitu Alfi keluar.

---***---

Selepas salat Asar berjemaah. Keduanya duduk santai di balkon depan kamar. Alfa yang melihat sang istri melamun, mulai menatapnya curiga. Tak biasa-biasanya sang istri yang biasa cerewet itu, hanya diam dengan pandangan lurus ke depan.

Biasanya saat santai seperti ini, ia akan menjadi pendengar setia dari setiap curhatan sang istri tentang berbagai hal yang dilewatinya dua hari ini.

Iya, dua hari, karena Alfa pulang ke rumah dua hari sekali. Sebab, tempat kerjanya lumayan jauh dan lebih dekat dengan kedua orang tuanya. Jadi, laki-laki bernama Muhammad Alfa itu memilih bermalam di rumah orang tuanya satu hari. Kemudian esok harinya setelah kerja, ia baru pulang ke rumah sang istri.

"Yank, mikirin apa? Mas dateng kok malah dicuekin."

Alfi yang sedikit terkejut saat pundaknya tiba-tiba di rangkul sang suami langsung menoleh. Bibirnya berkedut, memaksa untuk mengukir senyum. "Nggak apa-apa kok, Mas. Gimana tadi kerjanya?"

"Alhamdulillah lancar, nggak ada kendala apa pun."

Hening, tak ada obrolan lagi. Alfa tampak menghela napas cukup panjang, lalu menangkup wajah sang istri agar membalas tatapannya. "Beneran nggak ada apa-apa?"

Alfi terdiam, tatapan tulus penuh perhatian dari sang suami membuatnya tak kuat lagi menahan kegelisahan dan kepiluan hati. Dadanya mendadak seakan bergemuruh oleh sebuah beban yang timbul dari sebuah pikiran. Kekecewaan akibat pengharapan yang tak kunjung terwujud tiba-tiba mencekam perih dalam hati.

Tanpa sepatah kata, dengan cepat bulir cairan bening mencelos--menganak sungai--di kedua pipi Alfi. Wanita itu hanya ingin mengurangi sesaknya dengan napas yang mulai memburu, isaknya pun mulai terdengar lirih.

Alfa yang melihat wanitanya bersedih, langsung merengkuh tubuh Alfi dalam dekapannya. Meski ia tak tahu apa yang terjadi, tetapi dirinya seakan bisa merasakan kepiluan hati sang istri dari tatatapan sayu itu.

Tangan Alfa tak berhenti terus mengelus punggung Alfi yang masih berada dalam pelukannya. Sampai akhirnya isakan tak terdengar lagi, laki-laki itu pun mengurai pelukan dengan perlahan.

"Sudah siap buat cerita?" tanya Alfa sembari tangannya bergerak menghapus air mata yang membasahi sebagian wajah sang istri.

Alfi tampak mengangguk. "Ma-maafin Alfi yang udah ngebuat Mas khawatir ya."

Alfa mengangguk, netranya sama sekali tak lepas menatap Alfi yang kini tampak lebih tenang.

"Ada apa, Sayang? Kamu mikirin apa?"

"Hehe, entahlah Mas. Alfi juga bingung kenapa Alfi penginnya nangis. Padahal seharusnya Alfi bahagia, karena Dewi hamil, Mas. Itu kabar bahagia, kan?" Alfi berusaha tersenyum lebar, tetapi saat menyelesaikan kalimatnya, yang ada air matanya kembali mencelos dengan cepat.

Alfa yang melihat hal itu sangatlah paham. Hati wanita di hadapannya saat ini sebenarnya rapuh, hanya saja ia sedang berusaha untuk tegar. Alfa tahu, dibalik senyumnya pasti menyimpan rasa kecewa karena bukan dirinya terlebih dahulu hamil yang faktanya memang pernikahan keduanya telah terlewati satu tahun lebih.

"Sabar ya, Sayang. Allah ingin kita menikmati waktu pacaran lebih lama. Sabar, ya." Alfi mengangguk kemudian menghambur ke pelukan sang suami.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top