Part 08 Efek Obat


Sang Bagaskara merangkak semakin tinggi. Sinarnya pun mulai menghangatkan penghuni bumi.
"Mau Mas antar periksa, Sayang?" tanya Alfa yang tampak enggan bersiap-siap kerja, melihat sang istrinya sakit seperti ini, sungguh ia merasa tak tega untuk meninggalkannya.

"Mas, kan harus berangkat kerja?" tanya Alfi yang kini sedang tiduran sembari mengoleskan minyak kayu putih di perutnya.

"Nggak apa-apa Mas izin libur aja. Mas enggak tega ninggalin kamu kayak gini."

"Ah, jangan lah, Mas. Lagian cuman kayak ambeien gini doang, kok. Alfi udah pernah ngalami kok dulu. Emang udah lama, sih. Terakhir kayaknya waktu Alfi di pondok, waktu masih Madrasah Aliyah."

"Terus gimana?" Tak hentinya Alfa menatap sendu ke arah Alfi.

"Udah nggak usah khawatir, Mas. Nanti Alfi akan titip lontong sama telur bebek sama Bu, Lik. Kata orang-orang tua dulu, kalau diare bisa diobatin sama dua makanan itu." Alfi mengelus lengan sang suami sembari tersenyum. Berusaha meyakinkan Alfa agar tidak terlalu khawatir melihat keadaannya seperti ini.

"Emm yakin nggak apa-apa, nih. Mas tinggal kerja?"

"Iya nggak apa-apa, Sayang." Alfi tampak meringis saat merasakan perutnya kembali melilit. "Bentar ya, Mas Alfi ke kamar mandi dulu." Perutnya kembali terasa melilit diikuti rasa nyeri di bagian an*s.

Selang beberapa menit, Alfi keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiri sang suami yang tampak telah siap akan berangkat kerja.
"Udah siap, Mas?"

Alfa mengangguk lalu merentangkan kedua tangan sambil berucap, "Teletabiiis." Alfi tersenyum, lalu menghambur ke pelukan Alfa

"Hati-hati ya di jalan, Sayang," ucap Alfi tampak nyaman di pelukan Alfa, hingga ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Iya, Sayang. Kamu juga. Jangan lupa di minum obatnya." Pelukan keduanya mengurai. Tangan Alfi tampak gerak hormat seraya berucap, "Siap, Imam gantengku."

Alfa tersenyum, lalu mengecup pipi kanan dan kiri serta kening sang istri. Begitu pun yang di lakukan Alfi.

"Semoga mendapat rezeki yang halal, barokah dan manfaat," ucap Alfi saat melihat sang suami telah siap di motornya.

"Aamiin ... aamiin. Mas berangkat ya, Assalamualaikum."

Alfi pun mengangguk, mencium punggung tangan sang suami sembari menjawab salamnya dengan lengkap.

Sepeninggal sang suami, Alfi kembali memilih tiduran. Ia merasa tubuhnya lemas. Sehingga hari ini, ia memutuskan untuk istirahat di rumah, izin tak mengajar dulu karena kondisinya yang tak memungkinkan.

Keesokan harinya.

Kondisi Alfi sudah membaik. Semalam ia tak merasakan perutnya melilit lagi setelah minum pil sakit perut. Jadilah pagi ini, ia kembali minum obat dari dokter yang kemarin. Namun, saat pulang dari sekolah. Kondisinya begitu lemas, karena apa yang dialaminya kemarin kembali terulang.

"Apa jangan-jangan gara-gara obat ini ya, efeknya memang bikin mules dan ngeluarin isi perut sampai segininya. Apakah memang kayak gini caranya ngeluarin lemak di perut?" Alfi tampak membolak-balik obat yang ada tiga macam itu. Berasumsi sendiri, menebak-nebak khasiat obat tersebut jika dilihat dari gejala yang ia alami.

Alfi sempat tak habis pikir, karena dirinya tak hanya diare biasa. Namun, gejalanya seperti orang ambeien--keluar lendir berwarna merah. Tak hanya itu, selera makannya pun kini terasa tak enak. Hingga membuat dirinya semakin lemas.

"Mungkin dicoba nggak minum dulu kali, ya. Besok baru diminum lagi."

Benar saja, waktu terus berputar, hari kini berganti. Tak ada gejala sakit perut lagi yang Alfi alami, membuatnya terheran-heran dan memperkuat asumsinya. Namun, jika dipikir-pikir lagi. Dirinya kini sedang berusaha, pantaskah ia menyerah hanya karena sakit perut yang dideritanya?

"Bismillah, lah. Nikmati prosesnya, namanya juga usaha, kan? Tinggal tiga kali minum, sayang juga dibuang. Mana mahal lagi." Alfi memutuskan siang ini meminum obat itu lagi. Ia merasa ini adalah pilihannya, jadi sudah sepatutnya harus menerima segala konsekuensinya. Selama tak berbahaya pada dirinya, ia akan terus berjuang.

Adakalanya saat seseorang memiliki keinginan yang sangat, membuat ia semakin bertekad. Tak pedulikan rasa sakit yang menjerat, akibat harapan ingin terwujut itu terus tertambat. Iya, sebagai wanita yang telah memilih jalan ikhtiyar ini, ia harus dengan sabar menjalani apa yang terjadi kini.

---***---

"Gimana keadaannya sekarang, Sayang?" Alfa yang baru datang, terlihat cemas melihat sang istri tampak sedikit pucat.

"Alhamdulillah udah mendingan, Mas. Meski minum obat ini, efeknya tak separah awal-awal kemarin." Alfi tersenyum, mencoba menenangkan sang suami yang terlihat dengan jelas gurat kekhawatiran di wajahnya.

"Alhamdulillah kalau gitu. Oh iya, nih Mas bawain sesuatu buat kamu." Alfa membuka jok motornya, lalu menyerahkan sekantong plastik ke arah Alfi.

"Waaah, Kebab. Tahu aja, nih Mas. Kalau Alfi udah pengin banget makan kebab. Jazakallah khoir, Sayangku." Alfi begitu girang dibelikan makanan cepat saji yang berbahan daging sapi dan sayuran, dikemas dalam kulit tortila yang kemudian di panggang.

"Aamiin. Waiyyaki."

Alfi pun segera ke belakang, mengambil air minum untuk sang suami, kemudian ikut duduk bersamanya. Keduanya begitu menikmati Kebab ini dengan varian yang berbeda. Alfi yang varian pedas, sedangkan Alfa sebaliknya.

"Alfi nggak nyangka, deh, Mas. Ternyata efek obat dari dokter kemarin sebegininya. Kira-kira turun berapa kilo ya sekarang berat badan Alfi?"

"Sabar, ya, Sayang. Namanya juga ikhtiyar, kalau saja bisa dituker, biar Mas aja yang ngerasain sakitnya. Jangan kamu."

"Jadi Mas beneran nggak ada efek apa-apa?"

"Kalau rasa sakit, sih enggak. Hanya aja, hehe."

"Kenapa?"

"Jadi kangen itu."

Alfi sontak mengerutkan kening, masih bingung apa arti kata 'itu' yang diungkap sang suami. "Itu?"

"Udahlah, nggak usah dibahas. Nanti malam aja langsung ke intinya." Alfi dengan wajah polosnya, kini tampak menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

"Tolong bikinin teh, ya. Mas pengin yang manis-manis, nih."

"Ngapain repot, sih, Mas. Mandangin wajah Alfi yang udah manis ini aja, ya."

"Jangan dong, Sayang. Emang kamu mau Mas gendong ke kamar sekarang?" Netra Alfi sontak membelalak.

"Waduh, kabur." Bergegas Alfi bangkit dan berjalan cepat menuju dapur, membuat Alfa terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Alfi yang seperti anak kecil itu.

---***---

Keheningan malam, menambah kesyahduan seorang wanita yang kini tengah terjaga. Sunyi, tenang dan tak ada kebisingan. Memudahkan dia larut dalam tengadahnya, tampak penuh pengharapan dalam melantukan doa. Hingga tak mustahil, jika linangan air mata akhirnya ikut andil dalam permohonan itu. Mengharap apa yang menjadi asanya, akan segera tertuju.

'Ya Allah ... hanya Engkaulah yang berkuasa mewujudkan apa yang hamba ingin.
Hanya Engkaulah penentu takdir terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini.
Hanya Engkaulah yang Maha mengetahui apa yang terbaik buat hamba-Mu ini.
Karena itu ya Allah ...
Berilah kekuatan untuk hamba dalam penantian ini.
Berilah kesabaran untuk hamba dalam menghadapi ujian ini.
Berilah keikhlasan untuk hamba dalam menjalankan segala ketentuan-Mu ini.
Jauhkanlah rasa iri dalam hati, saat melihat nikmat orang lain.
Teguhkan hati ini agar selalu berprasangka baik atas ketentuan terindah-Mu.
Hanya kepada-Mulah hamba meminta pertolongan.
Hanya kepada-Mulah hamba menggantungkan harapan.
Robbanaa hablana min azwaajinaa wadzurriyyatina qurrota a'yunin waj'alnaa lilmuttaqiina imaama.
Aamiin

.
.
.
.
.

Bersambung
Pasuruan, 31 Agustus 2021







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top