Part 07 Ikhtiyar 2
"Tinggi badan 165 dikurangi 100 jadi 65 di kali 15 persen jadi 9,75. Terus 65 dikurangi 9,75 sama dengan 55,25. Itu berarti berat badanku harus turun dua kilo menuju ideal." Gumam Alfi. Ia saat ini sedang sibuk sendiri menghitung berat ideal untuk dirinya, berdasarkan ilmu yang ia dapat dari salah satu web yang dicarinya tadi.
"Mau diet?" Alfi terkesiap saat tiba-tiba mendengar suara sang suami. Laki-laki itu pun langsung duduk di sampingnya.
"Ih, Mas nih ngagetin aja." Alfi menepuk pelan lengan Alfa.
"Hehehe, maaf, Sayang."
"Iya, iya. Jadi gimana obatnya?"
Alfa menoleh, membalas tatapan sang istri dengan tatapan sendu. "Maaf ya, Sayang. Uang Mas hanya cukup untuk menebus obatnya setengah aja."
"Mahal ya, Mas? Jadi berapa?"
"Fullnya satu juta," bisik Alfa. Netra Alfi sontak melotot karena terkejut, tak menyangka jika obatnya saja sampai harga dengan angka nol sebanyak enam itu. Padahal, tadi saja sekali periksa mengeluarkan uang warna merah dengan nol sebanyak lima.
"Mahal, amat," bisik Alfi sembari menutup mulutnya.
"Bapak Alfa," panggil seorang wanita yang menjadi salah satu pelayan di apotek ini.
"Bentar, Ya."
Alfi mengangguk, pikirannya pun mulai melayang seakan penuh keheranan. 'Ya Allah ... biaya sekali berobat aja mahal amat. Uang segitu aja perkiraan bisa terkumpul sebulan.'
Tak terasa kini netra Alfi tampak berkaca-kaca, entah apa yang ia rasakan saat ini. Antara sedih dan terharu saat melihat usaha sang suami. Apalagi hasil pemeriksaannya tadi, masih membutuhkan pemeriksaan lanjutan nanti saat ia haid.
"Yuk, Sayang." Alfa langsung menghampiri sang istri dengan sebuah plastik yang dipegangnya.
Alfi yang sempat melamun, langsung mengusap air mata yang akan mencelos. Ia tersenyum, lalu menyambut uluran tangan sang suami.
"Maafin Alfi ya, Mas. Udah ngebuat tabungan Mas Alfa langsung habis sekejap mata."
Alfa sontak memberhentikan langkahnya, menepi dari jalan yang ramai dari lalu lalang orang. Kemudian menangkup wajah sang istri saat posisi keduanya kini telah aman dari pusat perhatian orang lain.
"Kok ngomongnya gitu? Kamu nggak salah, Sayang. Jadi nggak usah minta maaf. Seharusnya Mas yang minta maaf, belum bisa maksimal untuk mendukung ikhtiyar kita."
"Enggak, enggak. Mas Alfa enggak salah. Alfi malah bangga karena Mas tak pernah menyerah untuk berusaha membahagiakan Alfi." Alfi langsung menghambur ke pelukan sang suami. Tetesan cairan bening seketika menganak sungai di pipinya.
Alfa terdiam, bagaimana pun perkataan sang istri. Tetap saja sebagai seorang suami, ia merasa bersalah karena keterbatasan yang ia miliki belum bisa memenuhi keinginan sang istri secara sempurna.
"Mas nggak usah mikirin lagi buat periksa selanjutnya. Alfi yakin Allah akan kasih jalan, karena Allah Mahakuasa atas segalanya." Alfi terus berusaha membuat suaminya agar tak merasa bersalah lagi. Karena Alfi bisa merasakan tatapan yang tak biasa dari Alfa saat ini.
"Iya, Sayang. Ya sudah ... mau makan apa, nih?" tanya Alfa mengurai pelukannya.
"Suamiku penginnya apa?"
"Lalapan bebek aja gimana?"
"Alfi, mah ... apa pun mau, Mas. Kan suamiku yang bayarin." Alfa mengacak-acak pucuk kepala sang istri, gemas melihat sikap manjanya itu.
Tak menunda waktu lagi, akibat perut yang ngedemo minta segera dikasih jatah. Keduanya kini tengah berada di kedai penjual aneka lalapan. "Sabar ya, Sayang. Masih dimasakin, tuh," ucap Alfi lirih sembari mengelus perutnya.
Alfa terkekeh dibuatnya. "Elusin perut, Mas juga dong, Yank. Udah kayak genderang aja ini bunyinya makin keras."
Alfi terbahak, selalu saja begitu, sang suami memang tak terkalahkan dengan ucapan konyolnya.
---***---
Tepat pukul 20.30 WIB Alfi dan Alfa sampai di rumah. Sepasang suami istri itu langsung bergantian salaman kepada Ibu Alfi yang sepertinya memang menunggu keduanya di depan rumah.
"Assalamualaikum, Bu?"
"Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh. Gimana hasilnya, Nak?" Ibu Alfi terlihat tak sabar ingin tahu hasi periksa putrinya.
"Masuk dulu, yuk, Bu. Udah malem ini, Ibu kok belum tidur?"
"Mana bisa tidur, Fi. Kalau kalian belum sampai rumah." Alfi dan ibunya beranjak, lalu masuk rumah.
"Kata dokter tadi, di bagian perut Alfi tertutup lemak, Bu. Jadi hasil jelasnya gimana keadaan rahim Alfi nanti ada pemeriksaan selanjutnya, Bu. Pemeriksaannya nanti saat Alfi datang bulan."
"Oh gitu. Semoga semuanya baik-baik saja ya, Nak."
"Aamiin, aamiin. Doain Alfi ya, Bu."
"Pasti, Sayang. Doa Ibu selalu menyertai setiap langkah kalian."
"Aamiin aamiin. Makasih, Bu."
"Ya sudah, sekarang kalian istirahat, ya. Ibu juga udah ngantuk ini." Ibu Alfi tangannya menutup mulutnya yang menguap.
"Iya, Bu." Alfi tersenyum. Lalu mengantar sang ibu ke rumah, melewati pintu belakang rumahnya.
Ibu, kepedulianmu memang tiada banding keikhlasannya. Kasih sayangmu tak mengenal lelah dan sepanjang masa. Meski anakmu kini telah menikah, tetap saja segalanya tak berubah, seakan menganggap putrimu ini seperti putri kecilmu di masa lampau.
Alfi tampak bergeming di ambang pintu. Memerhatikan sang ibu yang kini tak muda lagi, sampai tubuhnya tertelan daun pintu.
"Masak air ya, yank." Alfa tiba-tiba berdiri merangkul sang istri dari belakang. Lagi-lagi laki-laki itu membuat sang istri terkejut.
"Ih, kebiasaan, deh. Bikin kaget mulu," ucap Alfi sembari menepuk punggung sang suami yang bertengger di perutnya.
"Kebiasaannya kamu, sih ... melamun. Akhirnya kebiasaan Mas jadi ngikut, ngagetin kamu."
"Paling bisaaaaaa banget jawabnya," ucap Alfi langsung mengecup pipi sang suami. Ia dengan cepat melepaskan diri dan berlari ke kamar mandi, sebelum mendapat balasan dari laki-laki itu.
"Awas kamu ya, Yank."
Alfi terbahak dan segera mengunci pintu kamar mandi.
Selang beberapa menit, Alfi pun keluar dan mendapati sang suami masih berdiri di dapur.
"Belum panas, Yank?"
"Bentar lagi."
"Ya udah, biar Alfi aja yang lanjutin."
"Makasih, Sayang." Alfa pun mempunyai kesempatan membalas kecupan di pipi Alfi, kemudian kabur ke ruang tengah.
Alfi hanya bisa mengelus pipinya yang langsung menghangat sembari bibirnya tak henti mengukir senyum.
----***----
Langit masih gelap, kebanyakan dari para manusia pun masih nyaman dalam lelap. Sebenarnya waktu subuh bekisar satu jam lagi, tetapi para penikmat kasur, masih setia bergulung dalam selimut dan ingin lebih lama lagi.
Alfi terbangun, merasakan perutnya melilit. "Ya Allah ... kenapa tiba-tiba mules banget gini," ucap Alfi lirih sembari mengelus perutnya.
Buru-buru ia pun bangkit, berniat ke kamar mandi dan segera menuntaskan hajat yang menjadi penyebab sakit perutnya.
Waktu terus berputar, Alfi masih saja merasakan sakit di perutnya. Padahal, sudah tiga kali dirinya bolak-balik ke kamar mandi.
"Kenapa bisa sakit gini, sih? Apa karena kepedasan semalam, ya?" tebak Alfi sembari tanganya meraih minyak kayu putih, lalu mengoleskan di perutnya.
"Alhamdulillah kayaknya udah mendingan," ucapnya saat merasakan hangatnya minyak kayu putih itu.
Namun, belum lama ia merasa baikan. Tiba-tiba perutnya kembali merasakan sakit. Bedanya kali ini tak hanya perutnya, tetapi juga punggungnya. Ia pun segera kembali ke kamar mandi.
Selang beberapa menit, Alfa yang tak mendapati istrinya di sisi, langsung bangkit. "Tumben, tuh anak tahajudan lebih dulu," pikir Alfa. Lalu ia meraih gelas dan dengan cepat menghabiskan air putih di dalamnya setelah mengucapkan basmalah.
Ia segera turun dan mendapati Alfi baru saja keluar kamar mandi dengan tangannya yang memegangi perut.
"Kenapa, Sayang." Alfa segera menghampiri sang istri.
"Mas ... tadinya kayak diare. Tapi sekarang kok makin parah."
"Makin parah gimana?" tanya Alfa mulai tampak khawatir.
"Keluar darah"
.
.
.
.
Bersambung
_____________________________
Pasuruan, 30 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top