Perjalanan Keempat

"Kamu ada dirumah sekarang?" Tanya Natsumi melalui telpon, "Aku kerumah mu yah,"

"Kamu kenapa?" Tanya Midori diseberang telepon. "Rumahku selalu terbuka untukmu," Midori tak ingin bertanya lebih lanjut, yang jelas Natsumi membutuhkannya hari ini.

Percakapan itu yang membuat Natsumi melangkahkan kakinya ke sebuah distrik pemukiman di Kokura, ke tempat tinggal salah satu kawannya Midori. Midori tinggal di sebuah Condomonium baru bersebrangan dengan stasiun kokura. Suami midori bekerja di salah satu perusahaan siaran televisi negara bernama NHK Tv dan selalu pulang hingga larut malam dengan shinkansen terakhir.

Apartemen tempat tinggal Midori tidak terlalu luas, namun karena masih baru dan semua barangnya terlihat tertata rapi dan mewah.

"Ayo masuk! Aku baru saja meletakan Sora chan tidur," Midori tetap sama selalu menyapa natsumi hangat. Anaknya sora memang selalu dirumah saat siang begini. Ia tidak seperti anak-anak seumurannya yang dititipkan di Hoikuen (penitipan anak). Aturan pemerintah jelas, untuk dapat izin menitipkan anak di Hoikuen, kedua orang tua harus bekerja. Atau seminimalnya kerja paruh waktu di siang hari. Midori memilih dirumah saja merawat sanak perempuanya itu.

"Midori," Natsumi langsung memeluk sahabatnya itu, ia tidak tahu harus kemana lagi selepas kejadian dikereta bersama Hiro. Tidak mungkin pulang tentunya. Midori satu-satunya orang yang akan selalu menjadi penyelamatnya.

"Sudah..sudah masuklah dulu, jelaskan semuanya di dalam biar kau tenang," Midori menenangkan

"Terimakasih," Natsumi berujar dan langsung menganti alas kakinya dengan sandal ruangan yang memang telah disediakan. Ini kedua kalinya ia mengunjungi sahabatnya itu tahun ini. Pertama kalinya ketika Sora lahir delapan bulan lalu. Natsumi menghapus air matanya mencoba tenang. "Jadi bagaimana menjadi orang tua? Pasti bukan pekerjaan mudah bukan?" ia coba mengganti kegelisahannya

"Ya selalu ada ruang untuk belajar menjadi orang tua yang baik, ini jauh lebih mudah semenjak ia tidurnya agak lebih panjang setiap malam," Ujar Midori

Mungkin pertama kali ia melihat sora melalui kaca di rumah sakit, terlihat seperti makhluk asing yang lahir kebumi, namun sekarang sora terlihat tumbuh jadi anak yang cantik. Pipinya yang memerah menambah kesan manis sora.

Kedua nya duduk di atas bantal kecil berhadapan dengan meja kayu kecil memanjang. Diatasnya sudah ada dua buah Cheese cake yang disajikan natsumi dan secangkir teh normal untuk natsumi dan Caffeine-Free Rooibos tea untuk Midori, kawannya yang telah berubah status menjadi seorang ibu dari seorang anak perempuan cantik. Hanya teh jenis itu yang bisa ia nikmati dikala masih menyusui seperti saat ini.

"Oishii soo, semenjak Sora lahir rasanya sulit untuk sekedar menikmati me time keluar rumah, sudah lama aku tak merasakan kenikmatan macam ini,"

"Setiap kali makan bersamamu, rasanya seperti saat-saat sma dulu ketika kau selalu memberikan bento yang tidak ingin engkau nikmati untuk ku lahap setiap hari," Ujar Midori dengan senyum agak malu-malu. "Eh, Bagaimana kabar ibumu, sudah lama aku tidak berjumpa dengannya," Tanya midori tentang kabar ibunda dari Natsumi.

"Genki (Baik)," jawabnya singkat, cukup untuk menandakan bukan tentang itu topik yang ingin ia bicarakan. Jauh-jauh ia menemui sahabatnya midori ingin menceritakan traumanya yang tak kunjung hilang. Jika selama ini natsumi mendengar banyak sekali konsultasi akan trauma bukan berarti ia dapat menyembuhkan diri sendiri. Justru midori lah yang selama ini selayaknya psikiater pribadi bagi natsumi. Bukan karena midori memahami seni memberikan solusi via konseling, namun natsumi menganggap midori adalah sosok yang selalu memiliki jawaban logis atas setiap masalah. Bahkan natsumi tidak segan menjuluki midori manusia tanpa masalah, hal ini didasari natsumi karena midori selalu menemukan solusi paling sederhana atas setiap masalah yang ia hadapi.

"Singkat sekali jawaban mu, setidaknya jawablah pertanyaanku bukan dengan basa basi singkat macam itu," ujar midori peka bahwa sahabatnya itu tidak ingin ada bahasan tentang Ratna, ibundanya sendiri. "Baiklah, apa yang ingin kau ceritakan?"

"Seharusnya kau sudah bisa menebak apa yang membuatku datang menemuimu," ujar Natsumi

"Oh masih tentang itu, aku pikir kamu sudah baik-baik saja," Ujar midori. "Aku bahkan lupa kapan terakhir kamu datang menemuiku demi membahas trauma mu itu,"

"Kalau aku sudah baik-baik saja, aku tak mungkin duduk dihadapanmu," Natsumi menegaskan

"Kau masih yakin aku bisa membantumu, padahal seperti biasanya aku hanya bisa jadi pendengar setiamu, yang selalu menyembuhkanmu adalah dirimu sendiri," ujar Midori

"Aku tidak berharap lebih, Bukankah kau orang yang pertama mendengar traumaku dan dengan hanya mendengar kau sudah menyelamatkanku dari keterpurukan di atap gedung sekolah waktu itu," Ujar Natsumi

"Seandainya bukan kamu yang paling pertama datang mungkin aku memilih untuk lompat dan menyudahi perjalanan kehidupanku. Jadi kurasa dengan hanya menjadi pendengar bukan sebuah pekerjaan sederhana bukan?"

.............................................

Midori teringat dengan apa yang terjadi kala itu, saat itu ia melihat ada seorang gadis dengan wajah paling buruk yang siap mengakhiri hidupnya dari atap gedung sekolah menengahnya. Gadis paling buruk itu ternyata adalah Natsumi, yang kemudian menjadi sahabatnya hingga saat ini. Natsumi sudah duduk di pinggiran rooftop dengan kaki menjuntai kebawah. Kalau saja Midori tidak mendapatkan jadwal menyiram tanaman untuk percobaan biologi esok harinya, dia tidak akan diminta naik hingga ke rooftop. Semua tanaman untuk praktek biologi dalam pot memang sebagian di taruh di rooftop sekolah. Saat ingin menjalankan tugasnya ia justru di hadapkan dengan seorang gadis yang hanya duduk diam dalam posisi yang membahayakan bagi dirinya sendiri. Sedikit saja ia salah langkah mungkin natsumi bisa melompat. Ia perlahan sekali mendekati natsumi dan berdiri disampingnya. Tidak terlalu dekat, kurang lebih dua setengah meter jaraknya. Cukup untuk berkomunikasi namun tetap menjaga gar tida mengintimidasi.

"Menikmati sekolah dan kehidupan di sekitarnya memang nikmat ya dari sini," ujar midori yang tentunya sedikit membuat seorang natsumi terhenyak. Midori sempat khawatir takut natsumi jatuh.

Natsumi tak memberikan jawaban.

Midori kala itu tahu, pasti ada masalah dengan anak perempuan yang ia temui. Namun ia tidak ingin cepat-cepat mencari lebih jauh. Ia lebih baik membuka ruang bercakap-cakap terlebih dahulu.

"Aku senang melihat kawan-kawan club lacrosse yang berlarian di lapangan tepat sepandangan dengan kita," Ujar midori bercerita sangat perlahan yang tentunya masih tidak ada jawaban dari seorang Natsumi. "Dengan sebuah tongkat yang ujungnya seperti tangkapan yang di anyam mereka saling membagi bola satu sama lain, sementara yang lain memperebutkannya." Anak- anak jepang memang sedang tergila-gila dengan olahraga yang asalnya dari amerika utara ini. Hingga mereka mulai membentuk club disekolah mereka. Seperti hockey dengan alat namun tidak di lapangan es, bisa bermain di lapangan sepakbola dengan sebuah gawang lebih kecil dari pada sepak bola.

Belum ada tanggapan dari Natsumi

"Seperti sepakbola namun dengan alat, mereka memiliki tujuannya dan tugasnya masing-masing." Midori memilih untuk melanjutkan ceritanya "Begitu juga kita, pasti punya tujuan dan tugasnya masing dalam permainan jadi manusia di sini, sementara ada manusia lain yang pasti berusaha menghalangi mimpi-mimpi dan tujuan kita nanti" Lanjut midori

Natsumi mulai sedikit tertarik secara tidak langsung dengan cerita midori. Ia menatap sejenak midori lalu menatap kembali kawan-kawannya yang bermain lacrosse

Di lapangan tempat bermain lacrosse ada anak yang terjatuh di senggol lawannya, namun ia berusaha bangkit lagi dan kembali berlari. "Ya begitulah, sekalipun kau terjatuh kau harus tetap bangkit lagi mengingat bahwa kau masih punya tujuan yang harus di perjuangkan, sesederhana tujuan kau ingin memenangkan pertandingan" Ujar Midori

Natsumi menghela napasnya, "Buatku apa yang ku inginkan sudah tidak bisa ku perjuangkan lagi,"

"Kenapa kau berpikir demikian?" Tanya Midori

Natsumi pun menceritakan kalau pada malam itu, ayahnya yang mabuk hampir memerkosanya, ia tidak habis pikir ayahnya berubah sangat buas dengan mulut berbau sake menyengat. Natsumi menolak dengan sekuat tenaganya, berusaha lepas dari genggaman ayahnya. Kebuasan ayahnya semakin menjadi-jadi ketika kepalan tangan natsumi sampai ke muka ayahnya. Sangat keras hingga cukup membuat pipi ayahnya berbelok sedikit dari posisi semula. Natsumi pikir itu cukup untuk membuat ayahnya berhenti. Namun ternyata salah, bukannya berhenti ayahnya pun semakin menjadi, ia pecahkan vas bunga di samping meja tempat natsumi tidur. Lalu ayahnya menggorekan pecahan vas bunga tersebut tepat di paha bagian dalam natsumi, hingga aliran darah beriringan keluar selepas goresan pecahan vas bunga menyentuh kulitnya. Luka yang jadi pembuka luka trauma yang lebih besar. Semakin ia berusaha tak ingin mengingat, malah membuat kenangan buruk itu terpekat di memori masa silamnya.

Setelah mendengar kisah Natsumi, Midori kehabisan kata-kata. Ia coba memposisikan dirinya ada di posisi Natsumi. Jika kebiadapan itu terjadi pada dirinya apalagi yang dapat ia perbuat selajutnya, kehilangan harapan pasti, perasaan muak, benci setengah mati dengan kehidupan sudah tentu akan menemani hari-hari setelahnya.

"Berat masalahmu," Ujar Midori "Namun apakah kita masih dapat bertemu di hari-hari kedepan?"

"Maksudmu?" ujar natsumi bingung

"Kalau kau memutuskan berusaha berjuang bangkit kembali, berarti pertemuanku dengan mu ini merupakan awal dari perjalananku mendengarkan rasa sakitmu," Jelas Midori "Tapi itu hakmu," Midori menengok kearah bawah dari rooftop gedung berlantai empat tempat dirinya bercakap bersama natsumi. "Kalau jadi kamu, seperti masih banyak hal yang dapat kulakukan setelah ini, coba bayangkan kisahmu ini justru bisa menyelamatkan banyak orang yang mengalami kisah yang hampir sama dengan dirimu."

Natsumi terlihat berusaha berdiri, tipis sekali di ujung Rooftop, salah sedikit saja ia akan tergelincir. "Kalau aku pergi hari ini, itu juga hakku bukan?" ujar natsumi menanyakan apakah keputusannya untuk mengakhiri hidup merupakan sebuah hal yang benar.

"tidak salah," ujar Midori "Namun entah kenapa aku merasa kamu lebih kuat dari ini, kamu tidak semudah itu menyerahkan dirimu pada keputusasaan,"

Natsumi kemudian duduk kembali keposisinya semula, ia lalu membalikan badannya hingga kakinya sekarang menjejekan di lantai rooftop, lebih aman dari sebelumnya. "Siapa kamu?" Tanya Natsumi bingung mengapa seorang gadis yang tiba datang ini bisa membuat hatinya tergerak untuk membatalkan keputusannya untuk menyerah. Padahal ia telah sangat siap mengakhiri kehidupannya.

"Aku midori, Cuma anak kelas dua B, kamu kelas dua A kan?" Jawab midori

"Terimakasih sudah menyadarkanku, namaku Natsumi, benar kelas dua A," Natsumi berterimakasih kepada Midori, karena percakapan ini justru menyadarkannya untuk tidak melakukan tindakan bodoh. "Boleh aku minta satu permintaan?" pinta Natsumi

Midori bingung, "Permintaan apa?"

"Jadilah pendengarku jika aku membutuhkanmu, bantu aku melewati ini semua," pinta Natsumi

Midori menganggukan kepalanya, "Aku akan selalu jadi pendengarmu Natsumi, aku senang pertemuan ini benar-benar menjadi awal pertemanan kita," Midori menunjukan senyumnya, ia tenang ia berhasil membantu Natsumi, yang paling membahagiakan justru siapa sangka jika pertemuan di Rooftop tersebut jadi awal persahabatan antara dirinya dan Natsumi.

................................................

Natsumi menenggelamkan kepalanya hingga dahinya menempel pada kedua tangan yang ia letakan di atas meja. Tak lama, 3 menit kemudian ia bangkitkan kepalanya dan menatap mata Midori lekat.

"Ada orang lain yang akhirnya tahu tentang kisah kelam yang harusnya kusimpan rapat-rapat," Natsumi mencoba menjelaskan "Bodoh, aku terlalu mudah terpancing, entah mengapa aku pikir aku akan nyaman menceritakan semuanya pada sosoknya, Namun semua berbeda dari apa yang kupikirkan,"

"Siapa?" Tanya Midori

"Dia pasienku sendiri, Namanya Hiro,"

"Laki-laki?" Tanya Midori sedikit senyum

"Buang jauh-jauh apa yang pikirkan," Natsumi tahu di balik senyum Midori ada hal lain yang ia pikirkan. Midori tahu pandangan Natsumi terhadap sosok laki-laki berbeda dengan adanya kejadian kelam masa lalunya

Midori tersenyum, kemudian senyumnya berubah menjadi kekehan kecil dengan bunyi. "Natsumi, Natsumi. jika sudah memilihku menjadi pendengarmu, berarti kau harus siap dengan segala responku," Ujar Midori

Natsumi pun menceritakan apa yang terjadi dengannya sehingga jauh-jauh ia menemui Midori, sebuah kejadian yang seharusnya tidak ia lakukan. Ia dengan mudahnya menceritakan kisah kelamnya kepada Hiro. Baginya Aib itu harusnya hanya Midori sahabatnya yang menyimpan rapat-rapat. Kali ini tidak ada dorongan lain yang membuat Natsumi merasa Hiro juga harus tahu apa yang menimpanya di masa lalu. Walapun selanjutnya penyesalan itu tiba.

"Sudahlah, apa yang terjadi padamu beberapa jam lalu, tidak salah, kau juga manusia yang punya kisah kelam yang membuatmu menjadi seperti saat ini. Natsumi dimataku sangat kuat, buktinya dengan semangat sembuh akan trauma masa lalu mu, saat ini kau bisa membantu banyak orang keluar dari trauma masa lalu yang sama menyakitkannya dengan dirimu, aku bangga memiliki sahabat seperti dirimu," Lanjut Midori

Nastumi menarik napas panjang. Tidak percuma ia datang menemui sahabatnya, Midori.

Setiap kali Natsumi menemui Midori memang terkadang bukan penyelesaian yang ia bawa pulang dari setiap perbincangan. Namun setidaknya lebih dari cukup sebuah kelegaan secara mental yang ia dapati. Natsumi yang bekecimpung pada bidang penyembuhan trauma harusnya paham benar, bahwa satu-satunya manusia yang bisa menyembuhkan trauma yang dialami adalah diri mereka sendiri. Sejauh apapun natsumi berusaha membantu pasiennya untuk sembuh ia hanya dapat melangkah sejauh mendengarkan dan memberi saran berupa pilihan. Seperti yang Midori lakukan, dengan memberi pilihan ia baru saja membuka ruang harapan bagi seseorang yang mengalami trauma berkepanjangan. Pilihan-pilihan tersebut nanti akan memicu perasaan bahwa setiap orang berhak memulai kembali kehidupannya. Selalu ada pilihan bukan di setiap penyelesaian permasalahan kehidupan. Apapun itu selalu ada kenikmatan selepas bertemu sahabatnya midori.

Selepas ini, natsumi bisa memulai kembali kehidupannya, "Every Trauma is an opportunity to reset." Begitulah kalimat yang tepat menggambarkan apa yang Natsumi percayai hingga detik ini. Ditatapnya lekat sahabatnya Midori, Natsumi berucap dalam hati. "Arigatou, Midori," hanya kalimat itu yang dapat ia sampaikan untuk sahabat terbaiknya itu.

..................

Malam semuanya, bagaimana hari ini?

Semoga semua diberikan Kesehatan yah! Amin

Yuk terus support perjalanan mereka berdua. Sampai jumpa minggu depan.

#BWC_2020

#Self_Love

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top