#1
SHE made it on time thanks to Milo, yang menggonggong subuh-subuh, ketika Sabrina lupa dia tidak lagi bertempat tinggal dalam jarak sepuluh menit berjalan kaki ke kantor, melainkan satu jam berkendara.
Ketika dia menginjakkan kaki di lantai dua puluh delapan, tempat departemen M&A—Mergers and Acquisitions—tempatnya bekerja, sebagian besar kubikel telah terisi.
Tidak menunda-nunda, segera dia hampiri desk-nya, menyimpan tas dalam lemari di sisi kanan meja, lalu menyalakan PC.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk tenggelam dalam empat puluhan email yang masuk sejak semalam.
Deadline reminder, deal updates, document review, information requests, meeting requests, research reports, etc, etc.
Dia punya waktu kira-kira tiga puluh menit untuk meninjau semuanya, membuat penyesuaian terhadap jadwal hari ini, membuat deal status update untuk dibagikan ke anggota tim, kemudian melakukan pengecekan terakhir untuk bahan team meeting pukul sembilan tiga puluh, sebelum kemudian lanjut me-review due diligence salah satu ongoing deals dan membuat draft transaksi deal yang lain di sela-sela meeting selanjutnya, yang dijadwalkan pukul sebelas siang dan tiga sore.
Sounds packed. Tapi, tiga deals berjalan beriringan masih bisa dianggap downtime atau slow period, karena kalau sedang sibuk-sibuknya, lima atau enam deals sekali jalan bukanlah hal mustahil.
Hari ini, seandainya dia rela makan siang kilat di meja kerja, lalu apabila setelah meeting terakhir nanti tidak dilanjut makan malam bersama, mungkin semua pekerjaan masih bisa beres sebelum pukul delapan malam.
"Mbak."
Di tengah fokusnya membaca email, dinding kubikelnya diketuk pelan.
Sabrina menoleh demi mendapati Kia, associate bontot di timnya, di sektor Energy, mengulurkan tumbler berisi es kopi dengan senyum manis di wajah.
"Last night's pitching went well, thanks to you," ujarnya dengan wajah ceria, yang akan membuat orang lain tidak mengira bahwa dia habis lembur sampai lewat tengah malam di hari sebelumnya.
Sabrina menerima uluran tumbler tersebut, berdecih pelan.
"I won't babysit you next time. Kalau masih nggak bisa catch up, balik jadi trainee lagi aja," katanya, berlagak ketus. "Buruan nyalain PC, sebelum gue omelin."
"Siap." Walau tahu seniornya nggak ketus beneran, Kia tetap buru-buru beranjak ke kubikelnya sendiri dan segera melakukan apa pun pekerjaannya.
Jam sembilan dua lima, Sabrina mengerling ruangan Mas Angga—Vice President.
"Sekarang, Mbak?" Galih, salah seorang Associate, bertanya setelah menoleh sedetik. "One second. Gue lagi kirim email."
Sementara itu, Gideon, Associate yang lain, sudah bangkit dengan laptop di tangan dan mengatakan kalau dia akan masuk duluan.
Sabrina memasukkan beberapa map ke tas laptopnya, seketika menyadari ada yang hilang.
Charger. Tidak ada di tas, di laci, dan di manapun.
"Ki—" Baru saja dia hendak memanggil Kia untuk meminjam charger milik rekannya itu, seseorang yang berjalan dari arah elevator mengalihkan perhatian.
Great God.
Sabrina berpegangan pada ujung meja, berusaha tidak menampilkan perubahan ekspresi di wajah ketika sang pria menghampiri kubikelnya, berdiri dua langkah di hadapannya.
"Yours," kata pria itu sembari menyerahkan paperbag kecil yang sedari tadi dia pegang.
Sebuah senyum tipis terulas di bibirnya.
Itu senyum yang tulus, Sabrina tahu. Tapi dia sedang tidak berharap untuk melihatnya. At least, tidak pagi ini, di kantor ini.
Jerry Arnawama Martohusodo. The man she was supposed to be engaged to in two months. The man she broke up with last night.
Meski bekerja di satu kantor, bukan hal sulit menghindari pertemuan di antara mereka berdua—seperti yang selayaknya pasangan lain lakukan saat baru saja berpisah—karena mereka beda departemen, beda tower. Tapi sekarang, pria itu malah jauh-jauh sengaja menghampiri, seolah menunjukkan muka di hadapan mantan pacar di jam kerja sama sekali bukan masalah.
Sabrina merasa marah. But what else can she do?
Ngedrama? No way.
Dengan enggan, perempuan itu melirik isi paperbag yang diulurkan padanya.
Sebuah ... gulungan kabel charger.
Damn, ini bukanlah hal yang dia harapkan terjadi di hari pertama dia berusaha move on.
Tapi, dia sama sekali nggak punya waktu untuk meladeni kegundahan hati. Sudah saatnya masuk ke meeting room sekarang juga.
"Thanks," ujarnya pada akhirnya, menerima benda yang memang merupakan miliknya itu. "Secepatnya aku bakal beresin barang-barangku di tempat kamu."
"Santai aja. Seluangnya kamu." Sebuah senyum kembali terulas di wajah sang pria saat mengatakannya. Sebuah pemandangan yang tiga tahun belakangan menjadi favorit Sabrina, sebelum resmi berakhir tadi malam. Merasa nggak ada lagi urusan di antara mereka, pria itu pun pamit, "Gotta go."
Sabrina mengangguk, mempersilakannya pergi.
Pria itu menyempatkan diri menyapa Kia dan Mbak Ilene, yang kubikelnya berdekatan dengan Sabrina ketika melewatinya.
Samar-samar, Sabrina mendengar suara Kia.
"Dibawain charger yang ketinggalan di rumah, is indeed a love language."
Disusul suara Mbak Ilen yang mengungkapkan persetujuan. "Kalau nyari pasangan standarnya kayak Mas Jerry, minimal lo harus punya sabuk item Taekwondo sih, Ki. Saingannya banyak."
Sabrina mendesah.
Well, that's indeed a love language if it was done yesterday.
~
Sabrina pertama kali bertemu dengan Jerry lima tahun lalu.
Dalam urusan pekerjaan, Sabrina yang masih mengikuti program Management Associate, sama sekali tidak bersinggungan dengan Jerry yang waktu itu merupakan Associate tahun keempat di IT Department.
Tapi, kan katanya kalau jodoh nggak ke mana.
Alih-alih di kantor, mereka justru bertemu di tongkrongan. Karena ternyata, Jerry ini satu angkatan MA dengan Mas Gusti, senior yang akrab dengan Sabrina karena satu almamater.
Mengingat dulunya—sebelum ditempa dengan 80 jam kerja per minggu—Sabrina adalah 100% ekstrovert, bukan hal sulit baginya untuk akrab dengan Jerry yang notabene ramah terhadap siapapun.
Long story short, karena kepribadian yang cocok, ditambah peran besar Mas Gusti dan rekan-rekan lain yang rajin menjodoh-jodohkan, dalam waktu singkat mereka kemudian memutuskan untuk mencoba berkencan, yang Alhamdulillah awet hingga bertahun-tahun.
So sad, lamanya hubungan nggak menjamin rencana menuju pelaminan berjalan lancar.
Sekarang, Sabrina harus mengubur dalam-dalam rencananya untuk settle down di usia 27.
"Mbak." Galih menyenggol Sabrina yang kelihatan kurang fokus.
"Kita internal call tiga puluh menit lagi, sama Pak Harry dan Pak Gun." Karena tidak kunjung mendapatkan sahutan, Mas Angga sepertinya mengulang kembali apa yang belum lama tadi dia ucapkan, setelah mengumumkan live deal terbaru yang akan mereka tangani.
Sabrina menghela napas panjang, sesamar mungkin.
Live deal berarti downtime sudah berakhir. Apalagi, jika skala deal-nya cukup besar. Yang mana untuk pre kick off project meeting saja sampai harus mengundang MD—Managing Director—dan SVP—Senior Vice President.
Berarti, saatnya kembali ke no work-life balance.
Kemudian, sadar jawaban darinya sedang ditunggu, Sabrina mengangguk-angguk kalem. "Oke. Nggak ada yang perlu di-reschedule kok, Mas. Meeting sama VP Corporate Finance-nya Bumi masih jam sebelas nanti."
Yep, nggak ada yang perlu di-reschedule, kecuali harapannya untuk pulang sebelum jam delapan.
~
Tapi ternyata, hari pertama menjalankan live M&A deal terbesar tahun ini tidak seburuk yang Sabrina kira.
Dua tahun menjadi Associate, walau ini adalah kali pertama Galih membuat LBO—leveraged buyout model, menyesuaikan salah satu potential buyer yang merupakan sebuah private equity—tapi ternyata sebelum jam sebelas malam, anggota timnya itu sudah mengirimkan draft pertama padanya.
"Pulang, Neng, pulang." Ilene, yang juga sudah selesai berkemas, menepuk pelan pundak Sabrina tak lama setelah Galih berpamitan. "Nggak mau kena heart attack kayak Hari Dhar, kan?"
Ilene menyebutkan salah satu tokoh di series 'Industry Season 1', yang meninggal karena serangan jantung di toilet kantor karena kebanyakan begadang. Lebih dramatis lagi, Hari baru menjadi trainee, alias seorang fresh grad yang masa kerjanya baru menghitung bulan, dan kejadiannya ada di akhir episode pertama.
"Ngeri banget, Mbak." Sabrina bergidik, lalu menoleh ke ruangan Mas Angga yang lampunya masih menyala.
"Eh, tapi elo mah santuy. Pulang jam dua juga ada aja yang nemenin. Nggak perlu takut diculik!" Ilene masih sempat-sempatnya memojokkan.
"No comment." Sabrina pilih menertawakan saja. Nggak baik merusak sedikit kesenangan orang, apalagi di jam segini. Biarlah Mbak Ilene menghalu sepuasnya.
Selama sekian detik, Sabrina menatap layar laptopnya.
Seharusnya, dia me-review draft dari Galih sekarang supaya Galih bisa langsung revisi besok pagi. Tapi, kalau dirasa-rasakan, bokong dan tulang punggungnya sudah meronta untuk diistirahatkan. Belum lagi, matanya juga mulai perih. "Gue beres-beres, lo pamitin gue sekalian ke Mas Angga dulu, gih."
"Ish." Ilene menggerutu, tapi tetap berjalan juga ke ruangan Mas Angga.
Tak sampai lima menit, mereka berdua sudah masuk ke dalam elevator untuk turun bersama.
Ketika Sabrina tidak kunjung menyentuh tombol lobi, Ilene mengernyitkan dahi. "Ke basement juga? Lo bawa mobil?"
"Iya."
"Tumben?"
"Lagi males jalan kaki."
"Ya Allah ...." Seketika Ilene geleng-geleng kepala. "Kayaknya gue harus pindah ke apart yang sama kaya laki lo juga. Biar bisa ngerasain yang namanya males jalan kaki 900 meter."
Lagi-lagi Sabrina pilih ketawa saja.
~
Alih-alih langsung pulang biar bisa cepat istirahat, perempuan itu membelokkan kendaraan ke salah satu wine store di Senayan.
Dia butuh sesuatu untuk menemani begadang satu-dua jam lagi, merasa mantap untuk tidak menunda memberikan feedback ke pekerjaan Galih.
Live M&A memang butuh kerja cepat, karena timing dalam economic cycle adalah salah satu faktor terpenting. Semakin lama prosesnya, semakin banyak uang terbuang dalam daily cashflow, sangat mungkin mengakibatkan DCF menjadi tidak significant update.
Thank God, tempat yang dia tuju masih buka. Masih cukup ramai juga, karena selain wine store, tempat itu sekaligus merupakan restaurant.
Ambience-nya enak, buka sampai tengah malam. Tidak mengherankan jika tempat ini dijadikan salah satu opsi 'healing' para budak korporat semacam dirinya.
Jangan ditanya dia pernah kemari dengan siapa, since it'll bring back painful memories. Kalau saja ada wine store lain yang dia tahu di sekitar sini, mungkin Sabrina tidak akan memilih kemari lagi.
Lima menit melihat-lihat, dia putuskan mengambil Antinori Tignanello Vintage 2015 dan Catena Zapata Argentino Malbec. Tentu saja perempuan itu tidak punya selera spesifik, melainkan hanya mengambil sembarangan yang belum pernah dia coba.
Baru saja selesai membayar, seseorang memanggil namanya.
Sabrina menoleh dengan tidak antusias.
Great God. Zane Abram sudah berdiri di depannya. Pria yang pesannya dia abaikan selama berminggu-minggu.
Is it April Mop or nah?
#TBC
Hello, hellooo. Banyak banget yang nanya, kapan cerita ini dipublish di Wattpad, jawabannya, tunggu ASSCHER & MARQUISE [ceritanya Bang Jeff, Om Roger, Kak Ibel, dkk] tamat dulu ya. Karena konfliknya nyambung. Biar nggak ada yang nanya-nanya mulu kenapa Zane-Sab putus, kapan putus, putusnya di cerita yang mana, bukannya waktu itu udah balikan yaaa???? Dll.
Bukannya TRILLION udah tamat di Karyakarsa yaaa?? Kenapa gak langsung diupload di sini aja siiihhh??? Suka-suka eke dongs, wkwk. Lagian, ya itu tadi beb, yang baca di Karyakarsa kebanyakan juga nanya mulu karena emang sebagian besar jawabannya ada di ASSCHER sama MARQUISE. Kalo mereka yang nanya, karena udah bayar, ya eke sabar jawabin satu-satu. Kalo ngeladenin puluhan pertanyaan yang sama di Wattpad kan eke dapet kzlnya doang yak. Hehe.
Btw, ASSCHER & MARQUISE lagi ditulis. Aku usahain 3 cerita tsb bisa kalian baca gratis di Wattpad tahun ini.
Buat penyemangat nunggunya, boleh deh aku kasih giveaway free unlock TRILLION di Karyakarsa untuk 1 orang [31 chapters]. Tinggal komen aja [1 komen, jangan spam] di baris ini. Pengumumannya suka-sukaku yak. Sesempetnya.
Bhay~
Eh, eh, kalo masih ada pertanyaan lain, boleh deh di baris ini:
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top