satu; hujan dan rindu

Rintik-rintik air mulai membasahi langit Milan pada pukul sepuluh malam. Seorang gadis memutuskan untuk menggulung diri dengan selimut tebal merah muda dan menggengam ponsel, sekadar melihat video lucu atau berita terkini. Gadis pemilik marga Takahara memutuskan untuk istirahat dan tidak beranjak kemana pun, mengingat dirinya sudah seharian penuh memberi atensi pada tugas yang tak henti-henti diberikan. Seharusnya ia sudah tidur, tetapi rasa kantuk tak kunjung datang membuatnya bermain ponsel agar bisa terlelap.

Ibu jarinya terus bergerak menggulirkan isi ponsel ke atas, hanya saja tak ada satupun yang membuatnya tertarik dan matanya masih belum mau diajak kerja sama untuk mengistirahatkan diri. Helaan napas tercipta, masih terpaku pada layar dan mencari sesuatu yang membuatnya terhibur barang sejenak hingga satu video burung hantu yang sedang berkedip dan menggerakkan kepalanya kesana-kemari membuat perhentiannya berada pada video tersebut.

Takahara Aiza menonton video dengan seksama, melihat dan menyadari betapa menggemaskannya binatang nokturnal tersebut. Walau matanya terbilang besar dan mengerikan ketika melempar tatapan pada manusia, tetapi melihatnya direkam dan menjadi video membuat Aiza gemas. Tentu saja binatang ini membuatnya teringat akan seseorang yang berada di benua Asia, Bokuto Koutarou.

Diingatnya burung hantu adalah bentuk binatangnya Bokuto dan memang keduanya mirip.

Sejenak mengulas senyuman tipis, merubah posisi menjadi duduk di kasur dengan selimut yang tidak lepas dari tubuh. Ia menutup separuh badannya dengan selimut dan bersandar di kepala kasur, kembali menggulirkan ibu jari lalu mencari video lainnya.

Ngomong-ngomong, ia rindu dengan Bokuto.

Perbedaan waktu antara Italia dan Jepang membuat mereka susah berkomunikasi. Seharusnya disana pukul empat pagi, mustahil sang lelaki terpaku pada ponsel. Aiza menghela napas kasar, menyadari bahwa kantuk tak kunjung timbul, tetapi ia tak tahu apa yang harus dilakukan selain bermain ponsel.

Hujan semakin deras, sebenarnya cocok untuk tidur apalagi bergulung di dalam selimut. Anehnya ia tak merasa ngantuk saat air menghujani Milan, bahkan udara sejuk yang mulai menggelitik tidak membuat dirinya goyah untuk ke alam mimpi. Terkadang Aiza benci ketika dirinya mengalami gangguan tidur mendadak, apalagi dirinya yang sangat jauh dengan sang kekasih saat ini semakin menambah rasa gelisah. Ia takut mengganggu Bokuto yang terlelap, walau hasrat ingin mendengar suara prianya barang sejenak begitu menyelimuti benak.

Ponsel diletakkan di atas nakas, memutuskan untuk kembali berbaring dan berusaha untuk memejamkan mata guna masuk ke alam mimpi. Tubuh dimiringkan ke kiri, terpejam, kembali ke kanan, masih terpejam, berubah menjadi telentang tetapi mata terbuka dan tetap saja tidak bisa tidur. Aiza mengacak rambutnya frustasi, mulai lelah dengan dirinya yang tak kunjung masuk ke alam mimpi.

Drrtt drtt.

Getaran yang berasal dari ponsel membuat tangannya meraih benda elektronik tersebut dengan cepat dan melihat siapa yang menghubunginya. Matanya menyipit sejenak, memastikan apakah penelpon tersebut benar-benar orang yang dirindukannya atau tidak. Nyatanya memang iya, Bokuto menelponnya.

Hanya saja rasa gugup mendadak timbul. Seharusnya ibu jari menekan simbol telepon berwarna hijau guna menjawab panggilan, tetapi tangannya tiba-tiba terhenti. Bagaimana tidak? Aiza memang sedang merindukan pria itu, tapi dirinya tiba-tiba dihubungi begini membuatnya malu juga. Sampai panggilan tersebut berakhir dengan sendirinya karena terlalu lama dijawab, membuat Aiza mengerjap dan hendak meletakkan ponselnya lagi. Tentu ia malu, tidak ingin menghubungi pria itu kembali tetapi ponselnya kembali bergetar membuat bibirnya dikulum, mulai ragu untuk menerima panggilan.

Jantungnya berdegup kencang, rasa ingin menerima telepon sangat besar tapi ibu jarinya benar-benar bergetar untuk menekan tombol di layar. Sejenak menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, menerima panggilan dan menempelkannya ke telinga.

"Woah, kau mengangkat teleponku!" Suara ceria dari seberang sana masuk ke indera pendengaran. "Maaf ya, apa aku mengganggumu?"

Aiza menggenggam selimut yang menutupi separuh tubuhnya, memutuskan untuk tetap dalam posisi berbaring lalu menarik selimut hingga ke kepalanya karena menahan malu. Akhirnya ia dapat mendengar suara pria yang dirindukannya.

"Hm ... tidak," jawabnya pelan seraya menurunkan selimut dari kepala. "Koutarou tidak tidur? Bukankah disana jam empat pagi?"

"Tidur? Apa itu?" Bokuto bertanya diiringi kekehan. "Hei hei hei! Seorang Bokuto Koutarou tidak pernah tidur jam segini!"

"Harusnya Koutarou tidur 'kan?"

Di seberang sana, pria pemilik mahkota hitam-abu itu menampilkan seringai kuda sembari mengelus tengkuk belakangnya. "Aku baru saja menyelesaikan permainanku dengan anak-anak voli dan tidak sadar kalau sudah jam empat pagi," jelasnya. "Aiza sendiri kenapa belum tidur? Bukannya disana sudah jam sepuluh?"

"Permainan apa?" Sebelum menjawab pertanyaan dari sang kekasih, Aiza mengalihkan pembicaraan sejenak. Tubuhnya ia miringkan ke kiri dengan ponsel yang masih melekat di telinga, menunggu jawaban dari pihak yang menghubunginya.

"UNO, seru loh! Kapan-kapan kita main sama-sama ya!"

Aiza mengangguk diiringi senyuman tipis, walau Bokuto tak dapat melihatnya. "Iya."

"Ayo, kau harus tidur!" Suara ajakan terdengar, hendak menghindari keheningan di antara mereka. Terlebih pertanyaan mengenai "kenapa belum tidur?" tidak dijawab oleh Aiza.

"Koutarou tidak mau tidur?"

"Nanggung, toh yang lain juga ada yang lanjut nonton film jadi habis ini aku mau ikutan nonton aja," jawabnya. "Atau mau aku nyanyiin biar bisa tidur?"

"Hah? Jangan coba-coba untuk nyanyi di ruangan ini, Bokkun!" Terdengar keluhan di seberang sana yang Aiza pastikan itu suara Miya Atsumu, rekan setim kekasihnya. Tercipta kekehan kala dirinya mendengar suara tersebut lalu kembali memasang telinga dengan seksama ketika Bokuto protes dengan rekannya.

"Suka-suka aku dong! Suaraku juga."

"Sebentar lagi aku tidur, kok." Aiza menjawab dengan cepat. "Lagipula disini hujan, sangat mendukung untuk tidur."

"Oh~ Di sana hujan? Deras tidak? Ada guntur atau petir? Kalau ada langsung hubungi aku loh ya!"

Lagi-lagi ia tersenyum karena perlakuan Bokuto padanya. Ia menginginkan pria itu di sisinya sekarang, tapi jarak dan waktu benar-benar tak memungkinkan. Namun, hanya dengan mendengar suaranya saja sudah cukup.

"Oke, aku tutup ya?"

"Jangan!" cegah Bokuto dengan cepat. "Aku harus memastikan kau sudah tidur. Gimana kalau aku nyanyikan sebuah lagu untukmu?"

"Sudah kubilang jangan nyanyi di ruangan ini!" Terdengar lagi protes dari orang yang sama, membuat Bokuto mencibir.

"Aku akan nyanyi sekarang!"

Baru saja pria bernetra keemasan itu menarik napas, hendak mengeluarkan suaranya dan bernyanyi tiba-tiba saja rekannya menghampiri dan mencegahnya untuk bernyanyi. Tahulah, suara Bokuto itu hampir sama seperti tikus terjepit pintu. Lama-lama telinga orang yang mendengarnya bisa sakit.

"Hei, kalian ini mengganggu aku pacaran aja tahu gak?!"

"Kalau mau pacaran jangan disini! Bikin jomblo iri aja." Orang yang sama yaitu Atsumu, protes dengan rekannya.

Aiza menarik selimut dan menggulung diri, menyisakan kepalanya yang tidak tertutupi selimut. Entah karena rasa rindu yang telah terbayar, tiba-tiba saja ia merasa ngantuk. Ponsel masih menempel pada telinga, tetapi matanya perlahan terpejam dan mulai masuk ke alam mimpi.

Di seberang sana, setelah menyelesaikan adu mulut dengan rekannya, Bokuto menempelkan ponselnya kembali dan memanggil wanitanya.

"Halo~ Apakah Takahara Aiza ada disana?" Ia menunggu cukup lama, tetapi tak ada jawaban dari pihak yang dihubungi membuat senyuman tipis terulas. "Selamat tidur, sayangku."

Hari pertama - LDR/Rain
BokuAiWeek2020 (c) mbakaiza

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top