Episode 8 Kekacauan Jilid Dua

Mesa tertegun. Wajah Arka yang merona sementara lelaki itu berusaha untuk tidak berpaling saat menatapnya sungguh tak terduga. "Mas Arka ... minta maaf?"

"Iya." Lelaki itu mengusap rambut dan berdeham. "Aku emang ... terlalu kasar padamu sepertinya. Padahal aku sadar kamu hanya berniat membantu."

"O ... oke?" Gadis berambut gulali itu merasa tenggorokannya ikut seret. Sebenarnya ia memang mengharapkan permintaan maaf dari Arka, tetapi saat mendengarnya langsung tanpa persiapan, Mesa jadi merasa aneh dan canggung.

"Walaupun sebenarnya aku tak butuh bantuanmu, tapi, ya. Intinya kamu berniat baik, jadi aku pikir aku nggak seharusnya kasar." Arka mengangguk-angguk tanpa sadar.

Bibir Mesa terkatup rapat. "Katanya tadi minta maaf, tapi masih aja nyinyir." Bola matanya berputar. Lelaki ini sepertinya punya keahlian menghancurkan mood seseorang.

"Iya, iya, oke. Aku beneran tulus minta maaf. Dan makasih udah bantu aku. Seperti yang kamu tahu, barang-barangku nggak jadi ilang, jadi aku mau balikin uangmu. Yang tadi." Gugup, Arka mengangsurkan lembaran kertas berwarna merah yang sudah dilipat menjadi dua ke arah gadis di hadapannya.

Tatapan Mesa masih terlihat sinis. Namun, ia meraih uang tersebut dan mengedikkan bahu. "Okay."

"Jadi udah nggak ada utang di antara kita lagi, ya?"

Tangan gadis di hadapan Arka menyentuh tali tasnya, sementara ia menggigit bibir. "Sebenarnya aku juga mau minta maaf. Atas nama kru TV9. Walaupun mungkin bukan salah kita juga, tapi ...."

Arka mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"

"Hmm. Mungkin Mas Arka mau ngeliat video hasil live TV9 tadi malam? Gini, aku ngomong ini ... karena aku mulai paham Mas Arka orangnya kayak jaga gengsi banget. Nah, kemarin malam itu ... mungkin bukan malam terbaik buat Mas Arka. Aku tadi pagi mau jelasin itu sih. Tapi Mas Arka udah nyolot duluan," cerocos Mesa tanpa henti. Benaknya masih membayangkan reaksi apa yang akan dikeluarkan oleh lelaki yang mudah sekali tersulut emosi ini.

"Ya ampun, aku kan udah minta maaf, kenapa masih disinggung terus sih?" Pelipis Arka kembali berdenyut. Niat hati bisa berpisah dengan gadis ini secara baik-baik, tetapi selalu saja realita menghantam keras tak sesuai ekspektasi.

"Ya kan Mas Arka nyolot lagi. Gimana nggak kesel ya lama-lama. Udah dibantu, masih aja dimarahin, sumpah kapok aku bantuin Mas Arka!"

Dada Arka naik turun disertai napasnya yang mulai pendek-pendek. Lelaki itu sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan di hadapannya ini. Ia sungguh tak mengerti dengan cara apa ia harus berkomunikasi agar tidak berakhir dengan pertengkaran tidak penting sekali lagi.

"Gini ya, Mesa. Mbak Mesa," sanggah Arka dengan nada rendah. "Please, kali ini bisa nggak kita ngomong baik-baik aja? Oke? Aku masih harus ke hotel ngambil barangku di Bu Sekar, belum lagi aku mesti ngecek tiket balik ke Surabaya. Aku cuma pengen malam ini bisa istirahat dengan tenang."

"Lho, jadi Mas Arka mau balik?" Mesa terperanjat. "Kok bisa sih, Mas? Kan katanya Mas Arka mau nyusulin rombongan turnya, udah dua hari lho Mas Arka ketinggalan! Bisa-bisanya ya, udah bayar mahal-mahal, malah mau pulang!"

Arka tak sanggup lagi menahan percikan api yang kini sudah membakar dadanya. "Mbak, saya mau ikutan tur atau nggak, itu terserah saya. Kenapa jadi Mbak Mesa ngatur-ngatur?" Sedari awal, mengikuti tur ini adalah pilihan hidup terburuk yang pernah ia ambil. Seharusnya ia diam saja di rumah. Ia takkan segila itu sampai harus menghancurkan pernikahan orang lain. Sahabatnya terlalu berlebihan jika menganggap bahwa Arka akan mengamuk pada resepsi mantan kekasihnya.

"Ya pikirin dong, Mas. Orang-orang kayak Bu Sekar yang udah menyediakan layanan wisata dengan sepenuh hati buat bikin para pelanggannya hepi, tapi Mas Arka kayak nggak peduli!" Mesa kembali nyolot.

Lelaki itu kembali memegang dahi, karena sungguh perkataan gadis ini ingin membuatnya memakan semua orang. Namun, ia kembali teringat dengan perkataan Mesa yang ingin mengakui sesuatu tadi. "Lupain deh. Itu urusan saya. Sekarang, coba Mbak Mesa bilang apa yang pengen Mbak omongin. Tentang saya dan TV9."

Mata gadis berambut gulali itu membulat. Bibirnya kembali terkatup rapat. Kemudian dengan gelisah ekor matanya melirik ke arah kanan, tak berani menantang Arka seperti biasa. "Jadi gini, Mas ...."

Arka bersedekap. "Ya?"

"Masnya mau ngopi dulu? Saya yang traktir." Mesa kembali memamerkan seringaiannya, tetapi mata Arka menangkap titik keringat yang mulai bermunculan di dahi gadis itu.

"Nggak perlu. Saya udah makan dan minum, sekarang saya cuma mau menuntaskan urusan."

Mesa mengangguk segan. "Okay." Tangan kanannya meraih ponsel yang berada dalam tas cangklongnya, kemudian selama beberapa detik, jarinya mengusap layar benda pipih tersebut, sebelum menyerahkannya pada lelaki di hadapannya. "Mas Arka kayaknya harus lihat ini."

Di layar, Arka melihat seorang reporter berambut panjang yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Rani. Ia melaporkan keindahan kota Mataram di malam hari, dengan aktivitas para penduduk yang sebagian besar anak muda yang berada di sana. Mereka tampak bercengkerama dan menyantap hidangan yang tampak lezat. Arka mengerutkan kening, merasa video ini tak penting untuk ia ketahui. Namun, tatapan Mesa mengisyaratkan agar lelaki itu terus menonton.

Baru di menit kelima, Arka menyadari bahwa dirinya terekam oleh kamera, mengganggu Rani yang sedang melaporkan secara live di acara tersebut. Arka merengek dan berusaha merangkul Rani, tanpa tahu bahwa ia sedang direkam. Lelaki itu menghela napas, sebelum ia menatap mata Mesa yang kini sedang menggigit bibir bawahnya, dengan tampang bersalah. Arka tahu itu bukan salah Mesa dan kru TV9. Hanya saja mengapa peristiwa seperti ini harus terjadi padanya, setelah ia membangun reputasi tanpa cela selama bertahun-tahun sebagai cowok elegan. Sepertinya dalam semalam, citranya yang itu kandas sudah. Belum lagi adegan dirinya yang memaksa menata rambut Mesa dalam kamar hotel.

Video tersebut masih berlanjut, hingga Arka masih harus menguatkan hati saat menontonnya. "Please, Lun, kenapa kamu ninggalin aku? Kita udah saling menggenapi selama lima tahun, terus segampang itu kamu nikah sama dia? Kurang apa aku, Luna!" Arka mencengkeram bahu Rani kuat-kuat, sementara gadis itu berusaha memberi kode kepada kamera untuk menyingkirkan lelaki itu. Mesa menarik Arka menjauh, tetapi lelaki itu tak mau beranjak. Ia malah menangis dan menyuarakan isi hatinya. Lelaki itu menaruh kepalanya di atas bahu Mesa dan tersedu-sedan. Mesa yang terkejut kemudian menepuk punggung Arka dan berusaha menyingkir dari layar. Namun, sayup-sayup suara Arka masih terdengar dalam video. 

"Kamu selalu bilang, aku terlalu nyaman sama duniaku sampai nggak bisa ngerti kamu. Padahal kamulah duniaku, Luna. Bagiku kamu adalah rumah, yang aku nggak bisa pergi jauh darinya. Jika kamu nggak ada, aku harus ke mana untuk pulang?"

*episode08*

Yang sabar ya Mas Tata karena Enzy nikah #eh

Maaf, maksudnya Arka.

Nggak tahu nih, lagi lihat IG kok kebeneran nasib mereka berdua hampir sama. Semoga Mas Tata segera dapat jodoh ya, yang samawa till jannah gitu. Enggak difriendzone lagi.

Kok jadi bahas Mas Tata terus, nih? Udah, udah. Fokus.

Arka udah tahu kalo dia bertingkah nggak keruan nih, perkara minum tuak. Makanya, Kels, minuman beralkohol itu BERBAHAYA. Karena sekalinya mabok, kita tuh nggak sadar apa aja yang udah kita lakuin, bahkan bisa merugikan orang lain. Jangan ditiru ya, Kels. Aku ngasih tahu adegan ini tuh, biar kalian pada tahu efek samping alkohol buat penggunanya.

Nah, sekarang, muka Arka udah nggak tahu digadein ke mana, Kels. Secara yang tadinya pede udah move on dari mantan, eh ternyata mewek ngarepin mantan balikan pas live report. Kira-kira Luna nonton nggak ya?

Coba komen dong, sejauh ini, apa yang kalian suka dari cerita ini? Itung-itung, kasih motivasi buat aku nulis lagi. Syukur-syukur cerita ini bisa tamat bulan ini juga. Atau kalian maunya gimana? Tamat bulan ini, atau bulan depan aja?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top