Episode 7 Menelan Gengsi dan Meminta Maaf

Berulang kali, Arka menghitung lembaran kertas pembayaran berwarna merah yang ada di tangannya. Jumlahnya pas, sesuai dengan yang diberikan Mesa tadi pagi. Namun, jantungnya bertalu-talu seperti genderang perang, mengingat niatnya untuk mengembalikan uang tersebut. Apa lebih mudah lewat transfer saja?

"Kamu kan nggak punya nomer rekeningnya!" sahut suara hatinya yang keburu jengkel duluan.

Sedari tadi ia terus mondar-mandir di kamar, sesekali duduk di ranjang kemudian berdiri, tetapi keraguan kembali membuatnya duduk. Helaan napas panjang pun terdengar lebih sering dari biasanya. Arka masih mengingat jelas bagaimana raut muka Mesa saat ia meminta gadis itu untuk berhenti membantu.

"Duh, kenapa aku mesti ngelakuin hal tolol gitu sih!" umpatnya untuk ke sejuta kali. Tangan lelaki itu mengacak rambutnya yang tidak memiliki kesalahan apa-apa. Ia hanya butuh sesuatu untuk melampiaskan rasa malu plus gengsi plus ketidakjelasan emosinya selama 36 jam terakhir.

Setelah cukup lama bergulat dengan emosinya, Arka bangkit dan keluar dari kamar--untuk menyadari bahwa dirinya tidak tahu di mana kamar Mesa. Tangannya kembali menepuk dahi. Bagaimana caranya ia bisa menemui gadis itu? Gamang, Arka menuju resepsionis karena ia tidak tahu harus ke mana lagi.

"Selamat sore, Pak, ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang gadis manis berkulit sawo matang di belakang meja.

"Sore, Mbak. Saya mau tanya ... anu ...." Lelaki muda itu menelan ludah. "Saya ... mau tanya. Untuk kru TV9, kamarnya nomer berapa ya?"

"Maksudnya, Pak?" Resepsionis itu mengerutkan dahi, meskipun senyum manis masih menghiasi wajahnya.

Arka menggaruk rambutnya, kesulitan menjelaskan. "Jadi kan ada kru TV9 yang meliput hotel ini, mereka kamarnya di mana ya?"

"Mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa memberitahu informasi ini karena sifatnya rahasia. Mungkin Bapak bisa menghubungi mereka secara pribadi?"

Raut wajah Arka diliputi kekecewaan. Lelaki itu mengucapkan terima kasih sebelum memutar tumit dengan gontai. Namun, sepertinya nasib baik kini mulai berpihak padanya karena tiba-tiba saja terdengar suara keramaian di lobi dan saat Arka menoleh, sumber keramaian itu adalah para kru TV9 yang sedang berbincang.

Mata Arka menelisik wajah mereka satu persatu dan akhirnya ia menemukan gadis berambut gulali yang ia cari. Lelaki itu menghampiri kerumunan kru tersebut dan memanggil nama Mesa.

Gadis itu menoleh dan menatap Arka dengan canggung. "Iya, ada apa, Mas?"

"Anu ... aku ...."

"Mes, yuk berangkat! Ntar keburu kemaleman!" sahut seorang gadis dengan rambut panjang yang dikucir kuda. Saat mata Arka dan gadis ini bertemu, anehnya, gadis tersebut mengikik geli. "Eh, halo, Mas. Sudah sadar?"

Kali ini, Arka mengangkat alis karena tidak mengenal gadis ini sama sekali. "Eh, iya, Mbak. Mbaknya siapa ya?"

"Saya Rani, Mas." Gadis itu mengulurkan tangan dengan senyum ramah terpampang di wajah. Arka menyalami tangan Rani dengan canggung. "Masnya mau ikut kita ke Bukit Dopang?"

"Eh, jangan!" Mesa segera menyahut defensif. "Ntar dia ...."

"Kalian mau pergi?" tanya Arka dengan mata melirik Mesa dengan panik. Rusak sudah rencananya sekali lagi! Padahal ia sudah memikirkannya dengan begitu lama, termasuk menyusun kata-kata untuk meminta maaf dan melatih ucapannya. Sekarang mereka malah hendak pergi!

"Iya, kita mau ngeliput matahari terbit di Bukit Dopang, jadi ntar kemah di sana. Bagus kok, Mas. Masnya baru ke kota ini kan? Rugi kalo nggak ke sana!" ajak Rani antusias.

"Aku ...."

Mesa segera menoleh ke arah Arka dan berkata, "Masnya mau sendirian aja, Ran. Nggak mau diganggu sama kita. Ya udah yuk, kita berangkat sekarang." Gadis berambut gulali itu mencangklong tas ransel dan memunggungi Arka. Kru lain kemudian mengemasi barang-barang mereka dan menaruhnya ke sebuah van yang sedang terparkir di halaman hotel. Arka semakin panik. Bagaimana ia bisa meminta maaf?

"Yuk, Mas, kita duluan ya!" Rani berpamitan dan melangkah menuju van. Begitupun Mesa yang berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun kepada Arka.

"Mes ... Mesa ...." Lirih suara Arka memanggil gadis itu, bingung dengan pikirannya sendiri. Ia sangat payah jika dihadapkan dengan situasi di luar rencananya--seperti kemarin--sesepele apapun itu. "Mesa ...."

Sepertinya gadis itu sama sekali tak mendengar, karena ia masuk begitu saja ke dalam van bersama rekan kerjanya yang lain. Tangan Arka meremas-remas rambutnya, sementara bibirnya berdecih tak karuan.

Sebelum pintu van ditutup, Arka segera menerobos masuk dan duduk di sebelah kursi Mesa yang masih kosong. Seluruh orang yang berada di dalam mobil terperanjat dan menatap Arka dengan alis terangkat. Bahkan Mesa pun tak kuasa menutup mulutnya yang terbuka sepersekian detik yang lalu.

"Saya ikut, boleh, kan? Saya nggak akan ganggu. Saya janji." Detik saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, Arka bahkan tak yakin apakah ia masih waras atau sedang kerasukan setan alas entah dari mana.

"Em, Mas. Masalahnya ini kerjaan kami, Mas. Masnya bukan kru," tegur Mesa dengan mata melotot setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.

"Kalo gitu, bisa kamu keluar sebentar? Aku butuh bantuan kamu." Arka menatap wajah gadis berambut gulali itu dengan tegas. Ia bahkan mengepalkan tangan untuk mengumpulkan keberaniannya.

"Kan aku lagi kerja sekarang. Dan Mas Arka kemarin bilang kalo ...."

"Aku nggak akan lama. Gaes, aku boleh pinjem temen kalian bentar? Aku janji, aku akan anterin dia ke bukit Dopang dengan aman." Arka mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dan menyerahkannya kepada Rani. "Itu nomerku, juga nomer kantorku. Kalian bisa pastikan aku karyawan di situ. Just in case."

"Gak papa, Mes. Kalo kamu nggak keberatan, kamu boleh pergi kok. Toh malam ini agendanya nggak ada syuting." Seorang lelaki di belakang segera memberikan izin. Bibir Mesa bergerak tetapi tak ada kata-kata yang keluar.

Arka menoleh ke arah gadis itu, berusaha meyakinkan dirinya untuk membujuk Mesa agar mau ikut. "Please, aku butuh bantuanmu. For the last time." Mobil tersebut segera ramai dengan sahut-sahutan kru TV9 yang menggoda Mesa dan Arka.

Tangan Mesa menyugar rambutnya lalu mengangguk. Bibir lelaki itu segera menyunggingkan senyum sebelum ia turun dari mobil, dan berdiri menunggu Mesa. Gadis berambut gulali itu turun sedetik kemudian, lalu mobil van itu berlalu segera.

"Jadi ada apa, Mas Arka? Aku udah kepalang malu di depan teman-teman, karena Mas Arka udah kayak psycho begini." Mesa mengatupkan bibir. "Apalagi kelakuan Mas Arka kemarin sampai ganggu siaran live kita ...."

Mata Arka membelalak. "Bentar. Apa?" Lagi-lagi, sesuatu yang tidak ia ingat sama sekali. Jantung lelaki itu semakin berdebar karena tubuh dan hatinya tidak pernah siap dengan sesuatu di luar rencana. Jadi ini sangat menakutkan baginya.

"Mas Arka mau apa sih sebenarnya?" tanya Mesa dengan gusar. "Aku udah susah payah bantuin, tapi malah disemprot, dimarah-marahin, apalagi tadi Mas Arka udah bilang nggak akan mau kubantuin lagi, bilang nggak mau ketemu aku, udah kayak ngusir serangga ...."

"Aku minta maaf." Kalimat itu segera terucap, segera setelah Arka memantapkan hati untuk mengatakannya. Ia tak mau kehilangan momen lagi untuk mengatakannya. Wajahnya segera merona merah, karena jantungnya berdebar keras, sementara rasa malu mulai menenggelamkan tekadnya perlahan sekali lagi. Namun, ia telan semua rasa gengsi itu dan kembali berujar, "Aku minta maaf. Aku salah sama ucapanku kemarin. Sori."

*episode07*

Akhirnya Arka udah minta maaf, Kels. Udah beres berarti masalahnya ya? Buyar dong ceritanya? Ha ha ha, nggak dong. Bukan aku kalau nulis cerita nggak ada konfliknya. Luna masih belum muncul lho.

Siapa tuh Luna?

Nah, tungguin ya. Ntar sore kalo inget, aku update.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top