Episode 5 Pengemis yang Gengsi

"Sudah cukup. Aku—mulai sekarang—mau sendirian aja. Please. Aku mohon dengan sangat, silakan kamu lakukan yang lain, asal jangan ganggu aku lagi. Ngerti?" Arka menjura, matanya menatap dalam-dalam wajah gadis di hadapannya demi membuat kesan serius.

"Tapi ...."

"Nggak ada tapi, Mesa. Udah cukup. Aku capek, aku udah nggak mau berada di kota tolol ini lagi. Kita pisah sampai di sini. Makasih atas semua yang udah kamu lakuin sampe sekarang, tapi udah sampe sini aja."

Mesa mengatupkan bibir. Matanya mulai menatap tajam ke arah Arka, seakan tersinggung dengan ucapan lelaki itu. Arka sudah mulai goyah, karena ia tak mau menyakiti seseorang, tapi ia tak mau menjadi bulan-bulanan gadis di hadapannya itu lagi.

"Ya udah, kalo gitu. Baju temenku boleh Mas bawa aja. Aku mau kerja," ucap Mesa dingin, berbeda dengan biasanya. Gadis itu bangkit berdiri, lalu memutar engsel pintu.

"Ehm, Mesa." Arka menghentikan gerakan gadis itu sejenak. Mesa menoleh dan mengangkat alis, tapi bibirnya masih mengatup rapat. "Makasih, untuk semuanya."

Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut gadis berambut gulali itu, selain entakan daun pintu yang menutup setelah kepergiannya. Setelahnya, Arka mengembuskan napas lega. Keheningan mulai menyergap, tetapi lelaki itu merasa aman dan nyaman. Ia takkan mendengar rentetan obrolan dari suara cempreng gadis itu lagi.

Arka masih belum mengetahui apa yang terjadi kemarin, atau di mana barang-barangnya. Namun, ia tak ingin dipusingkan dengan hal itu lagi sekarang. Ia hanya ingin mendapatkan ketenangan yang sudah terampas sejak ia menaiki kapal Legundi dari Surabaya. Jadi ia masuk ke kamar mandi, membasuh badannya yang terasa lengket dan penat. Ia menggunakan sabun dan peralatan mandi yang disediakan pihak resor, toh ia tak punya pilihan lain.

Setelahnya, ia kembali berkeliling kamar demi mencari jejak keberadaan barang-barangnya, tetapi nihil. Di mana gerangan tasnya? Ia bahkan membongkar nakas dan lemari kamar berkali-kali untuk memastikan, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Apakah ia dirampok saat tidur? Matanya mengerling curiga. Mesa bisa keluar masuk kamarnya, berarti bisa jadi orang lain pun bisa.

Arka keluar dari kamar dan baru menyadari bahwa ia memang berada di sebuah cottage, yang mana ia segera berhadapan dengan teras dan kolam renang, serta pemandangan laut di depan sana. Matanya mengerjap beberapa kali, sementara ia terpesona dengan apa yang tertangkap oleh inderanya saat ini. Luar biasa. Bibirnya berdecak kagum karena Mesa tidak bohong mengenai lautnya. Lelaki itu segera menggeleng, tak mau lagi ada Mesa dalam pikiran. Tak peduli bahwa gadis itu berusaha membantu, tetapi ia justru terperosok dalam kesialan yang bertubi-tubi. Keputusan untuk menjauhi Mesa adalah hal yang paling benar untuk dilakukan.

Langkahnya segera menuju resepsionis, yang ia temukan setelah bertanya kepada pegawai resor yang melintas. Sesampainya di sana, ia bertanya mengenai keberadaan barang-barangnya, yang dijawab tidak tahu oleh karyawan berambut keriting di belakang meja. Arka menghela napas.

"Mohon maaf, Pak. Setelah Bapak menerima kunci dan masuk ke cottage, kami tidak berhak untuk mencampuri urusan Bapak di sana." Lelaki itu menyunggingkan senyum sopan. Arka melirik papan nama yang tersemat di dada karyawan tersebut. Antonio.

"Begini, Pak Antonio. Saya kemarin malam mabuk dan tidak ingat apa-apa. Barangkali saja, ada petugas room service yang datang dan membereskan baju barangkali? Laundry?" tanya Arka.

"Mohon maaf, Bapak. Kemarin malam, bukan saya yang bertugas, tetapi saya akan coba sampaikan keluhan Bapak ke manajemen untuk ditindaklanjuti."

"Ba-baiklah, Pak. Terima kasih," sahut Arka dengan gontai. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Tanpa tas, berarti tidak ada dompet. Bahkan identitas pengenalnya pun tidak ada di tangan sekarang. Ia praktis gelandangan dalam waktu singkat. Bagaimana bisa ia pulang jika ia tidak bisa memesan tiket atau bahkan membayar biaya sewa pondok di resor ini? Tangan lelaki itu menggaruk kepala dengan kesal.

Karena tak ada lagi yang bisa ia lakukan, Arka memutuskan untuk berjalan-jalan di tepi pantai. Perutnya berteriak tetapi lelaki itu memilih membisu. Ia tak sanggup memesan sesuatu dari layanan kamar atau pergi ke restoran. Kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana, tidak pernah semengenaskan ini dalam hidup. Ia memang bukan anak konglomerat, tapi berada dalam kondisi tidak ada uang sepeser pun hingga ia tidak bisa makan, baru kali ini.

Saat sedang merenungi hidup dengan iringan deburan ombak pantai, telinga Arka tak sengaja menangkap suara cempreng yang familiar. Ia sudah ingin marah, tetapi ketika menoleh ke arah sumber suara, ternyata tak jauh dari tempatnya berdiri, Mesa sedang disorot kamera dan memegang mik. Gadis itu tampak berbeda dari ingatan Arka, karena meskipun cempreng, intonasi dan nada bicara Mesa enak didengar. Rupanya Mesa tengah menerangkan fasilitas resor dan apa saja keuntungan yang didapatkan jika menginap di sana.

Arka terpaku untuk beberapa saat. Ia belum pernah melihat keseharian seorang reporter, jadi ia sedikit terpana dengan Mesa sekarang. Beberapa kru ada di sana, dengan kesibukan masing-masing. Tatapan lelaki itu terarah ke Mesa, merasa terpesona dengan setiap gerakan gadis itu. Arka baru menyadari bahwa gadis itu berambut hitam legam, bukannya warna-warni seperti yang biasa dilihat oleh lelaki itu. Arka tertegun, sampai tak menyadari pengambilan gambar oleh kru sudah selesai dan Mesa tanpa sengaja menoleh ke arahnya.

Ilustrasi rambut Mesa

"Oke, abis itu kita ambil angle dari sudut sana ya, Mes!" titah salah satu kru yang mengenakan topi secara terbalik. Gadis itu memalingkan wajah dari Arka dan mengangguk ke arah kru tersebut.

Segera saja serombongan orang berpakaian hitam itu memberesi perlengkapan mereka. Arka menunduk merasa malu, kemudian berjalan menjauh. Perutnya keroncongan tetapi harga dirinya yang sudah mengusir Mesa pagi tadi melarang untuk meminta bantuan. 

"Mas Arka!"

Langkah kaki Arka berhenti. Lelaki itu menoleh dan mendapati Mesa berada dalam pandangannya sekali lagi. Gadis itu segera meraih tangan Arka dan menyorongkan sesuatu di sana.

"Kalau mau minta tolong, nggak usah gengsi." Mesa kemudian berlari menghampiri teman-temannya dan bergabung dengan mereka. Meninggalkan Arka yang termangu. Lelaki itu membuka genggaman tangan dan mendapati ada beberapa lembar kertas berwarna merah di sana. Dada lelaki itu terasa sesak. Ia merasa seperti pengemis, gengsinya menggelegak naik, tapi ia tak bisa membuang pemberian Mesa karena memang membutuhkan.

Di pondok, Arka memesan makanan yang termurah di sana demi memuaskan kebutuhan perut. Lelaki itu menyantap hidangan tersebut dengan penuh rasa haru, karena baru kali ini ia merasa semiris ini dalam hidupnya. Seakan semua kehidupannya tersedot hingga ia berada dalam titik nadir.

Air mata lelaki itu menderas seiring dengan perutnya yang mulai menghangat karena asupan makanan. Berbagai kenangan yang ia pendam selama ini kembali berseliweran, membuat dirinya tenggelam dalam kesedihan. Sebuah nama yang ia ingin hapus dalam pikiran, menyeruak keluar. Tangan Arka terkepal, kemudian mengentak meja dengan kuat.

"Lupakan," desis Arka. Kesedihan mulai bergelung dan menyentak menjadi kemarahan. Ia bertekad takkan mau menjadi lemah hanya karena perempuan itu lagi. Luna Piscesa. Nama itu akan ia hilangkan dalam kehidupan selamanya.

*episode05*

Arka mulai kena batunya, nih. Makanya Mas, jangan gengsi. Sampe kelaparan kan?

Nah, setelah ini, bagaimana Arka bisa survive di kota orang? Apakah ia mau ngutang Mesa lagi? Atau ia lebih baik gengsi sampai mati? Tungguin kelanjutannya ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top