Episode 2 Awal Kesialan

Arka terbangun dengan terkejut, lalu melihat jam tangannya. Ia terlambat! Sudah pukul dua siang. Kapal mulai merapat ke pelabuhan. Ia harus segera menemukan bus yang membawanya dari Surabaya sekarang juga. Padahal ia berniat duduk sebentar di kursi malas setelah makan siang, ternyata malah ketiduran. Tangannya membenahi kacamata yang sedikit miring. Ia mengemasi barang-barangnya, kemudian berlari bingung ke arah orang-orang yang juga mulai bersiap-siap di atas geladak.

Ia meraih gawai di saku celana, kemudian hendak menelepon Bu Sekar, sampai ia menyadari bahwa nomor perempuan paruh baya itu tidak ada di kontak.

"Sialan," makinya lirih. Ia terlalu kesal dengan seluruh perjalanan yang dirancang oleh Robbie hingga ia bahkan tidak mau menyimpan nomor telepon travel atau bahkan pemandu wisatanya. Arka mencari petugas yang berjaga untuk bertanya, tetapi keriuhan penumpang yang ingin berebut turun semakin membuatnya panik. Kapal sudah mulai merapat, dan para penumpang mulai turun. Sudah pukul empat lebih sepuluh menit. Arka yang mencoba mencari petugas sering tertabrak oleh penumpang lain, hingga sempat menjatuhkan tasnya. Benda itu segera terinjak oleh kerumunan penumpang, menjadikan lelaki itu semakin histeris.

Koper yang berisi pakaian berada di dalam bus, sebab ia tak mau berkeliaran di kapal menenteng benda itu. Karenanya Arka hanya membawa tas berisi laptop, dompet dan ponselnya. Laptop itu biasanya ia gunakan untuk bekerja. Melihat benda itu terinjak, Arka tak yakin gawai itu akan selamat. Lelaki itu nyaris mengumpat, tapi suaranya kalah di antara orang-orang ini. Tangannya sigap meraih tasnya dan mencangklongnya di bahu, kemudian ia berdiri diam. Seluruh situasi mengerikan ini tidak bisa dihadapi dengan sembrono.

Arka berjalan dengan tenang, meskipun keringat dingin membasahi punggung dan dahi. Ia mencoba mengendalikan emosi sembari mencari jalan keluar masalahnya. Ia sudah sampai di pelabuhan Lembar, yang berada di kabupaten Lombok Barat. Lelaki itu kemudian mencari masjid terdekat, untuk mengecek keselamatan barang-barangnya.

Begitu tasnya terbuka, Arka mendadak lemas. Ada pola garis tidak beraturan di bagian atas laptopnya, menandakan benda itu retak. Mata lelaki itu terpejam, mengucapkan segala sumpah serapah dalam hati. Untuk membeli benda itu lagi bukan masalah bagi Arka, tetapi semua pekerjaan dan data penting ada di sana. Entah apakah masih bisa selamat. Untung ponselnya masih aman. Arka kemudian memencet nomor Robbie—rekan kantor yang juga sahabatnya sejak SMA—tetapi tidak diangkat.

"Shit!" maki Arka yang kemudian mengacak-acak rambut. Padahal kalau saja sahabatnya itu tidak mendaftarkannya ikut wisata tidak berguna ini, hidupnya akan baik-baik saja. Ia mungkin patah hati, mungkin akan bermuram durja selama berbulan-bulan, tapi pekerjaan dan laptopnya akan baik-baik saja.

Namun, Arka pantang menyerah. Ia menuliskan pesan dan mengirimnya ke WhatsApp Robbie, memintanya untuk membalas atau meneleponnya segera. Dalam beberapa menit pesan itu dibaca, tetapi sepertinya Robbie benar-benar mengabaikannya. Benak Arka memutar kilasan ingatan beberapa hari yang lalu sebelum ia berangkat.

"Udah, pergi aja. Nggak ada salahnya. Aku nggak mau kamu murung atau nekat datang di nikahan Luna. Mending kamu liburan. Cuti tahunanmu belum pernah kamu ambil, kan?"

"Nggak. Aku bakal baik-baik aja. Batalin aja liburan atau paket wisata itu. Aku nggak butuh," tolak Arka serta merta.

Robbie tergelak. "Aku tahu kamu pasti nolak. Tapi nggak, kamu harus ikut. Sesekali menyegarkan pikiran ke luar rumah nggak ada salahnya. Dan nanti, kalau kamu di sana, aku nggak bakal ngangkat telepon atau chat-mu. Kamu mesti senang-senang di sana, aku nggak mau denger alasan apapun."

Sekarang, Arka benar-benar mengutuk persetujuannya saat menerima tawaran Robbie. Hidupnya jungkir balik, menuju kehancuran. Lebih parah daripada saat ia harus menerima kenyataan bahwa Luna—mantan kekasihnya—menikah minggu ini.

Lelaki itu duduk di teras masjid, dengan kedua tangan menopang tubuh di belakang punggung. Kepalanya mendongak, sehingga rambutnya mengikuti gravitasi. Mendadak saja ia merasa pening.

"Lho, Mas Arka? Kok di sini? Bukannya ikut ...."

Wajah Arka tampak geram ketika ia menoleh ke arah suara perempuan yang kini mengenakan kemeja dan celana berwarna hitam, dengan lencana kain berwarna putih di lengan kiri. Rambutnya yang seperti gulali tampak kontras dengan pakaian yang ia kenakan. Mesa menghampiri lelaki itu, sebelah alisnya terangkat. Bahkan, Arka sama sekali tidak berminat menjawab pertanyaan gadis itu. Namun, ia teringat bahwa kemarin Mesa dan Bu Sekar berbincang akrab. Mungkin saja gadis itu tahu.

Tangan lelaki itu menggaruk kepala yang tidak gatal, kemudian ia mencoba menanggalkan rasa kesalnya untuk bertanya, "Apa Mbak tahu nomornya Bu Sekar?"

"Wah, kemarin kita nggak sempet tukeran nomer, Mas. Oh ya, panggil Mesa aja. Saya rada aneh kalo dipanggil Mbak." Kembali gadis itu memamerkan deretan giginya yang rapi, menambah daya tariknya.

Namun, Arka mengabaikan kalimat gadis itu dengan melengos. Pupus sudah harapan untuk bisa kembali ke rombongannya. Lelaki itu kemudian meraih gawai di sakunya, kemudian membuka aplikasi travel dan hendak memesan tiket kembali ke Surabaya. Persetan dengan wisata yang memusingkan ini. Dengan semua kekacauan yang ia dapatkan selama dua hari, tidak perlu menambah derita lagi.

"Mas, ini saya ada brosurnya, kemarin Bu Sekar ngasih saya buat kalo saya minat wisata sama travelnya dia. Mungkin Masnya bisa telepon." Mesa menaruh selembar kertas ke tangan Arka begitu saja, kemudian kembali memasukkan gumpalan-gumpalan kain yang tampaknya pakaian ke dalam ransel dengan serampangan. Mata Arka membeliak, karena ia sudah gatal sekali ingin melipat baju dengan rapi. Namun, ia menahan gejolak OCD-nya dan menghubungi nomor yang tertera di brosur yang sudah nyaris lecek.

Sayangnya, nomor yang dihubungi Arka bukan Bu Sekar melainkan nomor kantor travel "Suka Cita" yang ada di Surabaya. Namun, petugas yang menerima panggilan Arka memberikan nomor Bu Sekar, setelah lima menit lelaki itu menunggu dan mengambil pena dari tasnya.

Lelaki itu kemudian bimbang. Apakah ia harus meneruskan wisata konyol yang dirancang oleh Robbie itu atau kembali ke kota kelahirannya saja? Ia bisa menikmati beberapa hari libur di rumah, membeli laptop baru dan memasang instalasi serta memindahkan data di laptop lamanya. Sungguh menyenangkan kedengarannya. Ia pun tidak jadi menelepon Bu Sekar, dan meremas kertas brosur tempat ia menulis nomor perempuan itu. Tangannya melemparnya ke tempat sampah.

"Lho, kok dibuang, Mas? Mas nggak dapat nomernya Bu Sekar?" tanya Mesa yang membuat Arka terlonjak.

"Astaga!" desis lelaki itu. Jantungnya seakan melompat dari singgasananya, hingga darahnya terkuras habis dari wajah.

Mesa mengambil kertas yang dilempar Arka, kemudian membuka dan menghubungi nomor yang tertulis dengan pena di sana. Lelaki itu mengabaikan gerak-gerik Mesa dan mulai memesan tiket kembali ke Surabaya. "Mas, mereka ini ke Tembolak Pelangi. Cuma satu jam kok dari sini, ayo saya antar ke sana!"

Gadis itu mencangklong tasnya dan menarik tangan Arka. Lelaki itu mendongak dengan kesal, lalu mengempaskan tangan Mesa. "Apaan sih, Mbak?"

"Lho, ayo, Mas. Nanti kita malah nggak dapat kendaraan ke sana! Yuk!" Mesa bersikeras, dan menarik lengan lelaki itu lagi.

Cukup sudah. Kekesalan Arka sudah mencapai ubun-ubun. "AKU CUMA MAU PULANG!"

*Episode2*

Oke, Keliners, sudah cukup kesel belum? Ha ha ha

BTW, Wattpad di hape aku kayaknya trouble, sampai sekarang aku mau login aja nggak bisa. Jadi aku update ini pake laptop. Dan aku kurang suka kalo update di laptop kagak bisa ngasih emoji (ha ha ha, nggak penting ya alasannya). Ya gimana dong. Aku anak aliran emoji. Kalo nggak kasih love atau emot ketawa di akhir kalimat, berasa gatel.

Buat kalian yang baca unEXpected, dan berharap cerita ini bakal semenegangkan itu, maaf banget, ya. Ini cerita emang fokus ke karakter, jadi nggak banyak main plot. Ceritanya simpel dan mainstream aja. Jadi kukasih warning di awal, biar nggak ngarep gitu. Kalo mau cerita yang menegangkan lainnya, ya tunggu karyaku berikutnya ha ha ha. Asli, aku demen kok nulis romance thriller kayak gitu, jadi pasti aku bakal nulis yang kayak gitu lagi. Cuma kali ini, mau yang sesimpel The Flirting Job aja. Jadi kalian nggak usah pusing menebak-nebak, atau bingung mikir misterinya. Cukup nyiapin stok kesel aja, karena aku suka bikin karakterku rada ngeselin.

Jadi gimana? Mau dikasih cast kagak? Jujur pas nulis ini aku kepikiran kalo Mesa itu diperanin sama Tatjana Saphira, gitu. Wajahnya manis dan imut, tapi bawel, kayak karakternya di Sweet 20. Terus Arka aku kepikiran Dikta Wicaksono, yang baru aja keluar dari Yovie and Nuno. Tapi entahlah. Ketuaan kali ya.

Kalo menurut kalian gimana? Ada ide? Kasih tahu aku di komen ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top