Traum 16 - Sayang, Kenapa Lama Sekali?
Tepat pukul dua siang, segala pemeriksaan yang harus dilakukan telah selesai. Sampel darah, serta beberapa keperluan lain perihal persyaratan untuk mendapatkan surat keterangan dari dokterpun sudah beres, kini Sooji dan Sena duduk di depan dokter kandungan yang kemarin juga memeriksa kondisi Sena. Dokter itu awalnya heran karena menemukan pasien yang sama dalam dua hari berurutan, tapi setelah mendengar penjelasan Sooji dan mengingat kemarin dia hanya memeriksa apakah Sena hamil atau tidak tanpa adanya pemeriksaan lanjutan, ia jadi mengerti.
"Sampel darahnya akan keluar paling cepat tiga hari, paling lama satu minggu. Saya akan menghubungi kalian jika hasilnya sudah keluar."
Sooji mengangguk mengerti, ia tau pemeriksaan lab memakan waktu yang cukup lama, bukan hanya darah yang membutuhkan waktu paling tidak satu kali duapuluh empat jam agar dapat diproses secara maksimal, tapi juga beberapa prosedur lain harus dijalani. "Saya ada pertanyaan tambahan, dok," ungkap Sooji kemudian, menatap sang dokter dengan raut serius, berharap ia bisa mendapatkan jawaban sesuai dengan apa yang ia inginkan.
"Silahkan, apa yang ingin anda tanyakan?" Sang dokter memberi izin dengan yakin.
"Kami ingin melakukan tes DNA pada janin Sena, apakah itu memungkinkan ketika usianya masih berada di trisemester pertama?" Pertanyaan Sooji sempat membuat raut wajah dokter kandungan Sena terkejut, wanita paruh baya itu melirik Sena sekilas dengan ekspresi penuh tanya yang hanya dibalas dengan pengalihan pandangan dari gadis itu. Dokter kembali menatap Sooji yang masih menanti jawabannya, ia tersenyum profesional.
"Itu bisa dilakukan, tapi kami para dokter sangat tidak menganjurkannya. Karena meskipun kita bisa mendapatkan DNA dari janin, tetap saja perlakuan itu bisa berakibat buruk bagi ibu dan bayinya sendiri." Jelasnya dengan hati-hati.
Wajah Sooji langsung berubah muram ketika mendengar jawaban tersebut, "jadi, harus menunggu sampai bayinya lahir?"
Dokter tersenyum penuh penyesalan, "sayangnya iya. Tapi jika ini keadaan mendesak, saya bisa menganjurkan untuk mengambil sampel DNA ketika usianya memasuki trisemester ketiga. Pada usia itu, janin sudah menjadi lebih kuat dan telah beradaptasi sempurna dengan rahim ibunya." Ekspresi Sooji menunjukkan sedikit harapan mendengar penjelasan ini, ia mengangguk lalu menoleh kepada Sena yang sejak tadi hanya terdiam di sampingnya. Gadis itu terlihat sangat rapuh dan sedih membuatnya merasa bersalah, meskipun ini bukanlah salahnya, Sooji tetap merasa bertanggung jawab atas apa yang dialami oleh Sena, karena ia telah menganggap gadis itu sebagai adiknya.
"Sena, kita bisa melakukan tesnya tiga atau empat bulan lagi. Apa itu tidak masalah?" Tanya Sooji dengan hati-hati, ia menggenggam tangan gadis itu hanya agar bisa membuatnya merasa bahwa dia tidak sendiri, ada Sooji yang akan menemaninya.
"Iya, Eonni."
Sooji tersenyum, ia kembali menatap dokter, "terima kasih, dok. Kami menunggu kabar dari anda," ucapnya dengan tulus, ia tau sejak tadi sang dokter pasti heran mengenai alasan mereka meminta sampel DNA janin Sena, itu jelas merupakan suatu pertanyaan besar bagi dokter kandungan manapun, karena dalam keadaan normal tidak akan ada calon ibu yang ingin mengambil sampel DNA bayinya sendiri. Sooji bisa memaklumi jika dokter berpikir macam-macam mengenai kehamilan Sena, itu adalah haknya, tapi ia menghargai dokter yang tetap menyikapi permasalahan Sena seperti biasanya.
"Sama-sama, ini resep yang perlu kalian tebus dan saya harap mulai bulan depan Sena bisa melakukan pemeriksaan rutin setiap satu bulan sekali."
Menerima resep yang diberikan dokter padanya, Sooji mengangguk mengerti. Ia mengajak Sena untuk berpamitan, mereka berdua berjalan keluar dari ruang dokter menuju ke apotek untuk menebus vitamin untuk kandungan Sena. Setibanya di apotek, Sooji membawa Sena untuk duduk di kursi tunggu, meminta gadis itu menunggunya di sana sementara dia yang akan menebus obatnya di loket penukaran.
Sejak awal keluar dari rumah tadi, Sooji sudah merasa ada yang aneh. Pertama perilaku Sena yang sangat muram dan lebih pendiam dari kemarin, padahal sejak percakapan mereka mengenai kehamilan Sena, seharusnya gadis itu tidak merasa canggung atau tertutup lagi padanya, tapi sepertinya malah karena kertebukaan itu malah membuat Sena semakin tertutup kepadanya, entah karena malu atau alasan lain. Kedua, ini sebenarnya sama sekali tidak memiliki korelasi dengan kondisi atau masalah Sena saat ini, karena alasan kedua ini murni dari dirinya sendiri. Entah mengapa semenjak mengalami kejadian yang tidak mengenakkan kemarin dengan menangkap basah adiknya keluar dari ruangan dokter kandungan, membuatnya menjadi was-was, ia merasa suatu kesialan akan kembali menimpanya, tapi sama sekali tak ada gambaran atas hal tersebut.
"Nona Yoon Sena?"
Seruan nama Sena membuat lamunan Sooji buyar, ia menggelengkan kepala, menyingkirkan segala prasangka buruknya lalu mendekati loket dan menukarkan sejumlah uang dengan beberapa vitamin untuk Sena. Mungkin saja ini karena pengaruh kediaman Sena, ia menjadi tidak tenang dan merasa cemas sepanjang hari karena tertular dari suasana hati Sena.
"Terima kasih." Setelah mendapatkan semua yang ia butuhkan, Sooji kembali ke tempat di mana ia meninggalkan Sena tadi, tapi langkahnya terhenti karena tidak menemukan gadis itu duduk di tempat semula, "Sena!" Serunya panik, ia berlari kecil mendekati kursi tunggu dan mengedarkan pandangan mencari keberadaan gadis itu, matanya bergetar setiap menyisir satu persatu sudut ruangan namun, tidak menemukan sosok Sena. Dengan kecemasan berlebihan, ia berjalan keluar dari apotek dengan mata yang terus mencari hingga ketika tiba di pintu keluar, ia menemukan gadis itu berada di dekat pilar koridor, tapi Sena tidak sendiri.
Dia berdiri di depan seorang pria yang hanya menampakan punggungnya, kedua alis Sooji berkerut karena dari tempatnya ia bisa melihat bahu gadis itu bergetar, meksipun kepalanya menunduk, ia bisa menebak jika Sena menangis. Yang membuat Sooji semakin cemas ialah ketika menyadari bahwa pria itu sedang menyentuh kepala Sena sementara gadis itu mendaratkan telapak tangannya di atas perut, seketika sebuah kesadaran membuatnya langsung melangkah mendekati mereka dengan perasaan berkecamuk.
"Sena..."
Sena tersentak kaget, ia segera mendongak dan tanpa sadar mundur selangkah membuat tangan pria itu terlepas dari kepalanya. Ia menatap Sooji dengan mata membulat yang basah, lalu menatap pria yang masih berhadapan dengannya, "Eonni..." gumamnya dengan nada bergetar, membuat Sooji semakin yakin dengan spekulasinya.
"Jadi dia orangnya?" Sooji bertanya dengan nada tertahan, ia terdengar geram sekaligus tidak menyangka, tapi Sena hanya menggeleng yang melupakan gestur yang sangat tidak dipercayai oleh Sooji, "pria brengsek ini pelakunya."
"Maaf?" Orang yang merasa dibicarakan menoleh untuk memberikan protes pada Sooji yang tiba-tiba mengatakan hal kasar yang jelas ditujukan kepadanya. Tapi, ketika melihat wajah Sooji, ekspresinya menjadi berubah.
Jadi ini jawabannya, apa yang membuatnya merasa risau sepanjang hari, yang membuatnya berpikir macam-macam mengenai kesialan yang akan menimpanya. Hatinya mencelos ketika menyadari siapa pria yang saat ini sedang ditudingnya, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi semua kata-katanya tersedak di tenggorokan sementara matanya masih membulat menatap wajah pria itu. Butuh waktu sekitar beberapa detik sampai ia bisa mendapatkan kesadarannya kembali, bahkan ia berani bersumpah jika ia menahan napas sejak tadi.
"Myungsoo?" Desisnya dengan suara tercekik sekaligus bergetar, ia berhasil mengerjapkan mata dengan harapan bahwa penglihatannya tidak benar. Ia hanya berhalusinasi, ini bukanlah pria yang dimaksudnya, pria ini bukanlah pria yang sama yang bertemu dengannya di Bordeaux empat bulan yang lalu, tapi berapa kalipun mengedipkan mata, wajah itu tetap sama, tidak berubah.
Dia adalah Kim Myungsoo.
Ya, takdir ternyata begitu kejam dengan menempatkannya pada posisi yang paling menyedihkan. Seharusnya ia bisa bahagia karena bisa menatap wajah itu lagi, tapi mengapa hatinya terasa perih ketika melihat pria itu di sini? Seakan ia berharap tidak ingin bertemu dengannya di sini dengan keadaan seperti ini, dan mungkin akan lebih baik jika tidak bertemu. Tapi ternyata kesialan yang berkedok kebetulan yang ia pikir telah berakhir kemarin masih juga mengusiknya.
"Sayang, kenapa lama sekali?"
Sooji tersentak mendengar suara itu, ia segera menoleh dan menemukan seorang wanita asing berdiri tak jauh darinya, terlihat anggunh dengan memakai terusan berwarna hitam yang menutupi hingga betis jenjangnya dan jaket jins yang tidak dikancing membuat perut buncitnya sedikit mencuat, dengan salah satu tangan yang menyentuh perutnya sendiri, Sooji menyadari sebuah cincin melingkar di jari manisnya. Dengan perasaan takut ia kembali berbalik dan mencari dengan panik hingga menemukan cincin yang sama juga telah melingkari jari manis pria itu, hatinya luluh lantah.
"Bajingan." Desisnya sebelum berlari meninggalkan tempat itu, ya, kebenarannya telah terungkap.
"Sooji, tunggu dulu!"
Sooji menggeleng, menolak untuk mendengarnya, ia bahkan masih bisa mendengar rajukan si wanita hamil dan itu membuat hatinya terluka lebih parah. Tangisannya langsung pecah ketika ia sampai di parkiran, dengan tertatih mencari mobilnya untuk segera masuk di sana. Setelah menutup pintu, pertahanannya runtuh, ia menangis sejadi-jadinya, memukul kemudi yang membuat tangannya perih, tapi tidak menghentikannya. Ia membutuhkan rasa sakit lain untuk menutupi sakit hatinya yang tidak tertahankan.
Jadi inilah kenyataan yang ternyata selama ini disembunyikan, inilah alasan mengapa pria itu berhenti menghubunginya sejak satu bulan lalu, inilah alasan mengapa ia terus merasa tidak tenang selama pulang ke sini, inilah alasan mengapa teman-temannya memanggilnya idiot. Dan ya, benar dia adalah seorang idiot. Ketika pria itu meninggalkannya di Bordeaux empat bulan lalu, ia dengan bodohnya percaya bahwa hubungan mereka sudah selangkah lebih maju, mempercayai segala omong kosong pria itu yang mengatakan akan tetap menunggunya di saat-saat awal mereka berpisah, mempercayai kebohongan pria itu yang mengatakan bahwa ia telah dirindukan sebesar dirinya merindukan pria itu. Bahkan ketika sebulan yang lalu ia tidak lagi mendapatkan kabar apapun darinya, ia tetap percaya bahwa pria itu masih menunggunya, tetap percaya bahwa kata cinta dan rindu yang diucapkan pria itu tidak akan berubah, tapi pada kenyataannya, pria itu sudah berbahagia di sini dengan istrinya dan dia dengan polosnya masih mau mengharapkan pria itu seperti orang tolol.
Kini ia sadar, bahwa semua yang terjadi di Bordeaux adalah sebuah bualan.
***
Continued...
[22/07/28]
Yo! Boom! Udah meledak ya, semoga puas 🤗
Silahkan di tebak-tebak lagi ☺
Btw, cerita ini bakal berakhir dengan chapter yg banyak ya gk kayak et dilectio, prediksiku sih 30an, kalo terpaksa mngkin sampai 40 karena tiap chapternya cuma 1500an word, paling bnyak 2000 aja, jdi butuh bnyak chapter untuk sampai kata tamat 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top