8. Coconuts
Yuhuuu...!
Team POV Mina mana suaranyaaa?
Coba sebutkan akun wattpad dan domisili kamu tanpa menyebutkan domisili kamu (misalnya daerah kamu terkenalnya karena apa gitu), siapa tahu aku mau bikin-bikin giveaway *wink*
600 votes dong, 500 komen lagi pleaaase.
Healthy Fun Facts
Salt
Mengonsumsi terlalu banyak garam dapat menyebabkan tekanan darah tinggi. Ini adalah muara berbagai macam penyakit seperti gagal jantung, serangan jantung, gagal ginjal, retensi cairan (biasanya orang diet dianjurkan mengurangi makanan yang mengandung banyak garam seperti cemilan kemasan, junk food, dsb karena garam dapat mengikat air yang bikin berat badanmu bertambah), stoke, dan osteoporosis.
Meski demikian, sama sekali nggak mengonsumsi garam juga akan bikin tubuh kamu kekurangan nutrisi-nutrisi penting yang dibutuhkan tubuh. Tubuh membutuhkan garam untuk menjaga keseimbangan cairan dalam darah dan tekanan darah, selain itu garam juga dibutuhkan syaraf dan otot supaya berfungsi dengan baik.
Nah... bingung kan lu? SAMA. Hahaha... tubuh kita memang rumit, intinya, tubuh kita butuh semuanya, tapi nggak berlebihan.
***
Kasihan Mahmoud, tapi aku nggak kuasa menahan senyum.
Mukanya langsung merah menyala mendengar celetukan Tamara. Maklum, dia staf pemasaran yang salah satu job desc-nya adalah mengelola akun media sosial. Kami perusahaan baru, semua orang memegang tugas rangkap, termasuk aku. Akhir-akhir ini, kami harus putar otak kalau mau budget iklan dari Cynthia cukup. Tarif selebgram makin gila, sementara keuntungan kami belum seberapa. Satu-satunya jalan ya mengais-ngais pendatang baru, kalau perlu menciptakan ikon baru. Makanya begitu ngelihat yang bening kayak Mahmoud bola matanya langsung berubah jadi bentuk hati.
"Pesuruh?" Tam hampir memekik di telingaku. Dengan kuku-kuku cantik berhias nail art hasil karyanya sendiri, lenganku dicengkeram dan ditariknya menjauh dari Mahmoud. "Mbak nggak salah dapat pesuruh kayak gitu? Gajinya berapa?"
"Sama kok kayak Susanto," jawabku enteng.
"Astagafirullah, Mbak...," sebutnya ngawur sambil mengelus dada. "Tega banget ya, Mbak Mina sama cowok selucu itu digaji di bawah UMR. Dapat nyaut dari mana, sih, Mbak? Masya Allah mirip Hamis Daud lho, dia, versi jauh lebih muda. Dah lah, Mbak... jadiin model tracksuit baru kita aja sebelum tangannya bau Sunlight. Mayan masih bisa dibayar murah, Mbak!"
"Hus, ngawur aja!" kataku serius. "Terus judul kolaborasinya mau diganti apa? Mahmoud X Healthy Living by Mina, gitu? Mana laku nama kampung begitu?"
"Ih... Mbak Mina nggak tahu aja, kalau pakai nama Islami di sini kan selalu laku, Mbak. Justru malah unik. Coba Mbak Mina ingat-ingat, kapan terakhir kali selebgram pakai nama aslinya? Rahmawati Kekeyi Putri Cantika! Booming dia! Tampang sama namanya berbanding lurus. Yang lain, yang cantik dan ganteng, ganti nama kebarat-baratan untuk menyesuaikan diri. Belum ada yang namanya kampung, tapi mukanya Persian Herritage gini. Matanya agak-agak sipit pula, mulitiras, ya dia? Atau... kita ubah aja namanya suka-suka kita, mumpung belum ada yang tahu dia siapa. Nanti aku omongin sama Mas Gio."
"Gio nggak akan setuju."
"Iya juga, sih.... Mas Gio memang nggak objektif menilai ketampanan, lebih ahli menilai ukuran payudara, tapi Mas Albert bisa. Dia lebih punya otak jualan daripada Mas Gio yang orang marketing. Anyway... Mbak boleh mungut Hamish Daud Muda ini di mana?"
"Itu sepupunya Adrian."
Tamara menjotos telapak tangannya sendiri, "Pantes..., bening banget kayak aliran air yang bermuara di surga," gumamnya.
"Ya, kaaan...," anggukku setuju.
Kami sama-sama melirik Mahmoud dari ujung rambut ke ujung kaki.
Okay.... Kancing kemeja yang dikaitkan sampai atas terlihat menyiksa leher kekarnya dan celana jeans basic yang dikenakannya menurut perkiraanku sudah tidak diproduksi paling tidak sepuluh atau lima belas tahun terakhir.
(And he's wearing sepatu sandal. Help me, God.)
Walau demikian, nggak ada yang bisa menyembunyikan pahatan sempurna garis wajah dan betapa proporsional bentuk tubuhnya.
Ukuran bokong: checked.
Lebar pundak: approved.
Kerampingan pinggang: excelent.
Dada bidang: luar biasa.
Keseluruhan: menggiurkan.
Aku dan Tamara mengerjap pada saat bersamaan, tapi sikuku yang lebih dulu bersarang di tulang rusuknya, "Don't wet your panties!"
"Mbak juga, yaaa," kerlingnya.
(Singkat cerita, soal penampilan, dia hanya butuh belanja baju dan sepatu baru.)
"Ngomong-ngomong, Mas Adri katanya dapet kontrak sama merek terkenal yang mau ekspansi ke Indonesia, ya? Makin mahal nanti pasti tarifnya, ya?"
"Mending kalau mahal, mau aja belum tentu," rutukku.
"Aku bingung, nih, Mbak... endorse sekarang pada naikin tarif. Apalagi pada tahu beberapa produk kita sold out terus gara-gara Dian Rai. Kemarin kita masuk daftar perusahaan start-up bidang kesehatan yang patut diperhitungkan. Pada nggak tahu aja kita masih kejar-kejaran sama biaya produksi dan operasional. Udah saatnya kita branding image baru yang nggak usah terlalu tergantung sama internet personality di luaran sana."
"Makanya kita butuh Dian Rai—"
"Mbak nggak tahu, sih, Dian Rai udah sedekaaat ini sama skandal!" gerutu Tamara sambil membuat jarak superkecil antara jari telunjuk dan jempolnya. "Mantan pacarnya kan mulai curhat di IG story, kemarin masuk admin Lambe Curah. Orang-orang berspekulasi Dian Rai selingkuh, Mbak."
"Ya teruuus...?" sergahku pasif agresif. "Kan nggak ada hubungannya sama produk olah raga."
Padahal semua konsumen gosip tahu, perselingkuhan erat kaitannya dengan semua aspek kehidupan dunia maya. Begitu kasus perselingkuhan terendus, artinya tiket masuk gratis bagi warganet untuk turut campur dan main hakim sendiri. Semua lini akan terpengaruh, lebih-lebih penjualan produk yang ada kaitannya dengan pelaku.
"Yeee... Mbak gimana sih? Apa aja kalau urusannya sama selebritas yang selingkuh tuh bumi bakal gonjang-ganjing, Mbak! Cewek-cewek pasti bakal ilfil. Bisa-bisa akun medsos kita diserang netizen dikatain pendukung tukang selingkuh. Mbak kudu mikirin ini, lho, sebelum bordirannya dipasang!"
"Jangan nakut-nakutin gitu, ah. Aku cukup kenal sama Bang Rai, dia nggak mungkin selingkuh. Justru kalau dia dituduh macam-macam dan tuduhannya nggak terbukti, kita bakal dapat angin. Tenang aja, aku pasti berhubungan terus sama manajer dan PR-nya. Mereka pasti udah mikirin skenario buat mempertahankan diri. Yang kukhawatirkan justru kebiasaan baru Bang Rai sama pesta nggak sehat. Bisa kontradiktif sama perusahaan kita kalau dibiarin lama-lama."
"Nah, itu juga—"
"Tam...," keluhku lelah. "Saat ini tuh kita nggak bisa mundur lagi, kontrak udah ditandatangani. Kamu jangan seenaknya ngomong ganti bordir-ganti bordir. Produksi udah mau jalan, tau! Kecuali masalah datang dari Dian Rai sendiri, kalau HBM nggak mau kehilangan duit yang artinya bonus akhir tahun kalian terancam, there's no turning back!"
Tam: keluh.
Still Tam: "Semoga aja dia terkait kasus narkoba."
"Hus!"
"Biar dia terpaksa lepasin kontrak. Jadi kita bisa nyari model yang lain."
Aku menggeram sambil menggelengkan kepala.
"Atau prostitusi ilegal."
"Tamara!"
"Kita bakal bangkrut, Mbak...."
"Tutup mulutmu!" bentakku.
Aku memutuskan mengabaikan kecemasan Tamara dan kembali memperhatikan Mahmoud dari jauh. Pemuda itu sedang menanti resah sambil memainkan jari-jarinya di sekat kubikel Gio yang kosong.
Kok dia nurut-nurut aja sih dijadiin pesuruh?
Aku agak nyesel juga sama keputusanku, tapi mau gimana lagi? Masa tahu-tahu kutarik, mau kujadiin apa juga dia di sini? Kami nggak ada anggaran buat pegawai tetap baru selain posisi itu. Lagipula... ide gila Tamara tadi nggak applicable sama sekali, kan, ya? Emangnya gampang menyulap seseorang tanpa pengalaman jadi image brand? Selama ini kami tetap mengambil model-model profesional meski hanya mampu membayar yang kurang terkenal, sebab bagaimanapun juga—menurut Gio—profesionalitas akan menghemat biaya produksi. Bukan cuma good looking aja yang penting.
"Ayuk, Moud, keliling lagi," ajakku setelah menyuruh Tamara kembali ke kubikel untuk memberesi sebelah alisnya yang masih gundul.
"Iya, Bu," jawab Mahmoud patuh.
Dia berjalan selangkah di belakangku. Kubawa dia berkeliling, kujelaskan padanya apa saja yang menjadi kewajibannya setiap pagi, siang, dan sore hari. Aku juga bilang dia mesti lembur kalau ada karyawan lembur, kecuali memang dipersilakan pulang. Semua yang kukatakan direspon dengan anggukan kepala atau jawaban pendek. Ada satu dua pertanyaan nggak terlalu penting yang menurutku dilontarkannya hanya supaya dia nggak mau dianggap terlalu pasif. Rasanya nggak percaya aku bisa bersikap sesantai ini mengingat apa yang kulakukan padanya kemarin malam.
Apa aku harus meminta maaf?
Kemarin egoku tinggi banget gara-gara ada Adrian di sana, tapi habis ngelihat anaknya sopan banget begini, aku jadi merasa bersalah. Pasti dia menganggapku perempuan sombong yang nggak tahu malu. Sudah aku yang salah, aku pula yang marah-marah. Tapi ya aneh, sih, masa iya ada orang tidur dipegang-pegang sebegitunya nggak sadar? Aku bahkan bisa merasakan sambutan bibirnya saat kupagut meski samar-samar.
(Astaga, Mina... kamu bahkan menjejalkan lidahmu ke mulutnya tanpa konsen, dan sekarang bisa-bisanya kamu bersikap sok profesional seolah kami sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya.)
Aku baru saja menyelesaikan penjelasan di destinasi terakhir sekaligus ruang kekuasaannya selama bekerja nanti, yakni di pantri. Mahmoud sedang meneliti catatan yang ditinggalkan pesuruh lama tentang kebiasaan-kebiasaan karyawan sini yang berkaitan dengan selera kopi dan sarapan mereka. Aku berdiri menyandarkan pinggul di meja dapur dengan tangan terlipat, memikirkan apa yang harus kukatakan selanjutnya.
"Soal malam itu...," kataku terbata. "Aku minta maaf, yah?"
Gerakan Mahmoud terhenti.
"Aku agak mabuk, jadi...."
"Saya juga minta maaf," katanya seraya meletakkan catatan di meja dan terus menunduk. "Seharusnya saya bangun... dan bukannya lengah menganggap itu mimpi. Saya minta maaf karena Ibu pasti merasa rugi sudah menyentuh seseorang seperti saya."
"Oh, aku sama sekali nggak berpikir begitu," sangkalku penuh dusta. Aku memang merasa rugi dan jijik pada diriku sendiri, tapi bukan karena aku menyentuh 'seseorang sepertinya', melainkan karena bukan dia orang yang sebenarnya ingin kusentuh. Aku yakin semua perempuan akan merasa sepertiku kalau membuat kesalahan yang sama. Masalahnya, untuk menutupi itu, kami biasanya marah-marah dulu.
"Terima kasih karena Bu Mina justru memberi saya pekerjaan."
"Tapi aku cuman bisa ngasih pekerjaan seperti ini."
"Untuk orang yang tinggal di Jakarta belum sampai dua puluh empat jam, pekerjaan ini cukup menarik, kok, Bu. Nggak semua orang seberuntung saya. Saya yakin... akan ada pelajaran yang bisa saya ambil dari pekerjaan ini," katanya diplomatis.
Aku mengulas senyum untuk jawaban yang sebenarnya sering sekali kudengar dari mulut karyawan baru. Nyatanya, sejak berdiri, kami mengalami pergantian staf berulang-ulang kali sampai team terakhir ini cukup solid. Kebanyakan dari mereka nggak mau bertahan lebih dari tiga bulan setelah merasa load pekerjaan terlalu besar dibanding penghasilan.
(Aku memang sengaja menyimpan informasi mengenai penyesuaian gaji setelah masa percobaan pada awal perekruitan. Aku ingin melihat saja siapa yang bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa mengharap perubahan pada tiga bulan pertama.)
Mari kita lihat, apakah Sigit Handam Almahmoudi sungguh-sungguh dengan ucapannya. Aku cukup yakin dia nggak akan bertahan lama. Bukan hanya karena dia sudah pernah kuliah, atau soal gaji kecil, tapi karena cowok-cowok good looking macam dia selalu berpikir mereka berhak mendapatkan lebih.
"Oke, kalau begitu sekarang kita temui Riana supaya kamu bisa mulai kerja. Kamu punya seragam yang sama dengan karyawan di display store. Jadi nanti kamu akan dikasih dua pasang buat ganti-ganti," tutupku untuk mengakhiri tour di pantry pagi itu dengan lebih dulu meninggalkan ruangan.
Mahmoud buru-buru menutup kabinet yang sempat dibukanya untuk melihat-lihat dan mengekoriku menaiki tangga menuju lantai dua. Langkahku terayun cepat, ponsel yang bergetar di saku celana membuatku merasa tak bisa menunda mengeceknya sampai tiba di ruangan. Aku terlalu serius menggulirkan pemberitahuan di layar ponsel sehingga konsentrasiku menjaga keseimbangan di atas hak setinggi sembilan sentimeter teralihkan. Sebelum aku menyadarinya, pergelangan kakiku terputar dan tubuhku terhuyung ke belakang.
Jantungku mencelus hebat. Aku akan jatuh pikirku. Ponselku lebih dulu terlempar ke udara sementara tanganku berusaha meraih apa saja untuk menyelamatkanku, tapi terlambat. Pada detik-detik terakhir sebelum menghantam lantai, aku memekik. Kudengar tak jauh di belakangku Mahmoud menyebut namaku dengan panik. Detik berikutnya, aku memasrahkan diri pada perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Tabungan implanku alih-alih harus kugunakan untuk membayar perawatan gegar otak ringan. Mataku memejam, punggungku menghantam sesuatu tapi bukan lantai yang keras. Tak ada rasa sakit. Tak ada benturan.
Aku menimpa tubuh seseorang yang kedua tangannya menangkup buah dadaku dari belakang.
Ukuranku benar-benar pas dalam tangkupan tangannya.
Apakah ini yang dinamakan jodoh?
(PINGSAN SAJA SEKARANG, WILHELMINA!)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top