56. Johnnie Walker
PDF Premium TMM sudah aku bagikan ke seluruh pendukung semua part di karyakarsa, ya.
Kalau kamu ingin menyimpan ebook TMM versi premium hanya itu caranya. Aku nggak menerbitkan novel TMM dalam bentuk fisik atau menerbitkan ebook TMM premium secara bebas. So it's very exclusive.
Klaim ebook tidak ada batas waktu. Kalau kamu baru nemu cerita ini dan baru ngikutin sekarang, kamu tetap bisa klaim ebook dengan mengumpulkan bukti dukungan dan kirim ke emailku.
Ebook akan dibuat custom dan akan ada namamu di dalam file.
Update wattpad terus dilanjut, tapi kalau antusiasme nggak ada, bisa kuhentikan sewaktu-waktu supaya aku bisa konsen ke cerita lain.
Thanks.
Kupikir siapa yang datang-datang bikin heboh kayak debt collector nagih utang, ternyata Adrian. Kapan lalu kami pernah diperlakukan seperti ini sama preman gara-gara Cynthia menolak membayar uang keamanan. Akibatnya Gio kena jotos dan kami harus membayar biaya rumah sakit yang jauh lebih mahal daripada iuran bulanan jatah mereka. Kalau setiap bulan harus bayar rumah sakit, Cynthia bilang lebih baik bayar uang keamanan.
Sesudah effort-nya mendobrak pintu dengan kasar, Adrian malah tercenung saja di ambang pintu. Apaan, sih? Kupikir dia mau marah-marah entah dengan alasan apa. Bola matanya bergerak kasar, kelopaknya membeliak saat menemukan tubuhku digeser ke balik punggung Mahmoud. Sklera matanya merah. Entah dia mabuk, memang lagi marah, apa kurang tidur, aku nggak tahu. Karena ternyata itu hanya Adrian dan aku sama sekali nggak bisa menganggapnya ancaman, aku beringsut ke sisi tubuh Mahmoud yang sempat berusaha melindungiku.
Di balik Adrian, Gio dan Albert memperlihatkan ekspresi tegang sambil berusaha mengontak mataku. Mereka menghalangi staf-staf Jamie yang diam-diam mengacungkan bagian belakang ponsel ke bagian dalam bilik. Secara refleks—membayangkan bagaimana jadinya kalau banci-banci itu mengabadikan momen menegangkan ini dengan narasi aneh-aneh sesaat sebelum promosi, kami bisa hancur—aku kembali menggeser langkah hingga tubuhku tertutupi tubuh Mahmoud.
Sayangnya, yang salah sangka sepertinya justru Adrian.
Nah, untungnya, sembari mengekeh dengan nada mengejek, Adrian menutup pintu bilik di balik tubuhnya. "Wow... wow... wow!" katanya dengan lambat sambil bertepuk tangan pelan dan menggeleng-gelengkan kepala. Nadanya jauh dari kesan kagum meski dia bilang wow berkali-kali. Adrian mendengkuskan napas sambil tersenyum miring, "Aku nggak menyangka... rupanya kamu serius waktu bilang pengin sukses di Jakarta, ya, Sigit Handam Almahmoudi... sepupuku yang baik, yang nggak punya ambisi apa-apa di dunia yang kugeluti..., coba bilang, apa kamu tahu-tahu berubah pikiran karena baru sadar punya tampang yang bisa dijual, atau memang kamu tipe yang suka menghalalkan segala cara?"
Mahmoud hanya diam.
"Maksudmu apa?" tanyaku, meski diam-diam tangan Mahmoud mencengkeram pergelangan tanganku.
Kurasa, Adrian melihatnya. Matanya mengerling ke bawah, ke tangan Mahmoud yang tersembunyi di balik paha memegangi tanganku. Adrian masih saja menggeleng. Kedua bola matanya menatap Mahmoud tajam seakan mereka musuh bebuyutan. Tangannya terlipat di depan dada. Dia bilang dengan nada menyindir, "Sekali mendayung... dua... malah tiga pulau terlampaui, Ya, Mu?"
Oh God... kayaknya aku mulai paham apa maksud Adrian. Aku hanya heran kenapa harus sekarang? Bukannya kemarin-kemarin? Ke mana saja dia kemarin habis nidurin aku tanpa pengaman, lalu nggak nanya-nanya bagaimana keadaanku?
"Maumu apa, sih, Adrian?" tanyaku gemas sambil memutar pergelangan tanganku supaya terlepas dari cengkeraman Mahmoud. Aku berdiri di antara mereka, menghadapi Adrian, membelakangi Mahmoud. "Kamu kan udah tahu, Mahmoud memang kumintain bantuan buat promosi. Kenapa kamu tahu-tahu ke sini dengan nada permusuhan gini, sih? Bisa nggak kamu pilih hari lain buat nyari masalah? Kami sedang sibuk!"
"Aku nggak lihat kalian sibuk," katanya. "Aku melihat kalian berduaan di dalam kamar sementara orang lain sibuk menunggu. Ngapain kalian berduaan di sini?"
Alisku menukik. Aneh banget pertanyaannya. Bukannya dia tahu sepupunya sekarang tinggal denganku? Kalau dia mau menyoal kami ngapain berduaan, kenapa harus sekarang, coba? Kalau dia memang mau nekat membocorkan apa yang kami lakukan untuk menyakiti Mahmoud yang menurutnya naksir aku, kenapa nggak dari kemarin? Sebenarnya aku tahu kenapa Adrian mungkin nggak akan pernah memberitahu Mahmoud, terutama kalau dia tahu Mahmoud menyukaiku. Dia nggak mau nyakitin sepupunya. Aku cukup tahu Adrian. Dia bukan orang yang jahat. Kalau kubilang aku memilih Mahmoud buat jadi kekasihku, meski dia bakal kurang terima, lambat laun dia pasti bisa menerima kami. Apa yang bikin dia jadi begini?
Melihatku hanya menukikkan alis tanpa berkata apa-apa, Adrian mengangkat dagunya, "Coba tanya sama Mahmoud, kenapa aku sampai begini. Aku yakin dia pasti tahu jawabannya."
Aku yang semakin bingung akhirnya mengubah posisiku dan menoleh kepada Mahmoud. Sesuai dugaanku, Mahmoud sepertinya memang nggak terlalu paham sama maksud Adrian. He looked disappointed, but not surprised, tapi lantas menggeleng sewaktu aku memberinya isyarat mata supaya mengatakan sesuatu.
"Oh, he's playing victim," Adrian mendecih.
"Aku bermaksud baik," kata Mahmoud akhirnya, tak tahan dengan sikap Adrian. "Ini soal Stevan, kan?" tanyanya memastikan.
Soal Stevan?
"Soal apa lagi?" Adrian menantang. "Aku nggak masalah Mina memilihmu jadi brand ambassador HBM sebab seharusnya aku sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Aku hanya kesal karena dia nggak pernah memberitahu. But once again... itu hak kalian berdua untuk diam-diam saja dan tidak melibatkanku. Aku juga berusaha menepis insekuritasku saat kutahu yang bikin pekerjaanku nggak jelas ternyata adalah kemunculanmu sebagai brand ambassador HBM, Mu. Yang bikin aku kecewa... kamu juga diam-diam mempertimbangkan tawaran Stevan!"
Aku terpelongo lebar dan serta merta merasa amat sangat konyol. Kupikir tadinya semua ini tentang aku. Tunggu dulu... apa yang kulewatkan? Mempertimbangkan tawaran Stevan? Kini bukan hanya Adrian yang memandangi Mahmoud dengan tatapan penuh selidik. Aku juga. Jadi dia berbohong soal surat kontrak yang dikembalikannya itu?
"Jadi kamu diam-diam mempertimbangkan tawaran Stevan?" tanyaku kecewa.
"Saya bisa menjelaskan ini," Mahmoud berbicara lembut hanya padaku sebelum dia kembali melewatiku dan bersitatap langsung dengan Adrian. "Aku sama sekali nggak bermaksud buruk. Sebaliknya, aku bermaksud baik."
"Bermaksud baik?" Adrian mengulang pertanyaan Mahmoud dan mengakhirinya dengan tawa lebar tanpa suara yang menyiratkan jelas kekecewaannya. "Aku nggak tahu kamu ini memang polos, atau terlalu bodoh—"
"Biarkan dia menjelaskan dulu," aku menengahi, telingaku berdengung mendengar pacarku dikatai bodoh. Mahmoud adalah apapun kecuali bodoh. Mungkin dia polos, terlalu positif thingking, tapi tidak bodoh. Aku juga sangat kecewa kepadanya, tapi itu bisa kami bicarakan nanti. Yang penting aku sudah mengantongi kontrak kerjanya. Walaupun di sana tidak ada poin yang menyatakan dia tidak boleh mengambil pekerjaan dengan brand lain, aku tahu perusahaan yang menaungi Adrian tidak bisa mentolerir hal itu.
"Stevan bilang... hanya ini caraku supaya bisa membantumu," ucap Mahmoud pendek.
Terus terang saja, kalimat itu sedikit menggeser anggapanku bahwa Mahmoud tidak bodoh, selain polos. Aku dan Adrian serempak menarik dagu kami ke belakang sambil mengernyit. Maksudku, aku sudah bergelut dengan dunia bisnis cukup lama untuk tahu there's no such thing as membantu di dunia semacam ini. Terlebih Adrian. Saat memulai karir, dia memiliki beberapa kawan model yang sangat akrab dengannya, sekarang coba suruh dia menyebutkan dua orang saja yang mendampinginya di masa sulit seperti ini kecuali Johnnie Walker.
Mahmoud menarik napas panjang, menyadari kebodohannya. "Yang penting aku belum menandatangani apa-apa," katanya lemah membela diri. Aku cukup lega mendengar itu meski sudah bisa menduga. Kalau dia menandatangani surat itu duluan sebelum surat kami dan tetap mau kuajak tidur, aku akan membunuhnya.
Adrian mengibaskan tangannya tak percaya, "But you intend to!" serunya. "That's all that matter! Kamu ngasih mereka harapan meski palsu, atau mungkin nggak palsu... mungkin kamu hanya berubah pikiran karena kamu lebih memilih Mina!"
Aku berdaham. Refleks, tak ada sanggahan karena yakin ucapan Adrian itu memang benar.
Mahmoud nggak mau kalah, "Aku sepupumu!" katanya sentimentil. "Aku peduli padamu, Adrian. Aku cukup paham keresahanmu tentang pekerjaan itu dan Stevan bilang itu satu-satunya cara supaya mereka segera mempekerjakanmu. Mereka butuh model lain—"
"Sebagai model utama," potong Adrian yang membuat mulut Mahmoud yang membuka untuk membantah cepat tanpa berpikir diurungkannya sendiri. "Iya, kan? Kamu model utamanya dan kamu menerima kemenangan itu meski kamu belum memutuskan apa-apa. Kamu menikmatinya, kan? Kamu pasti berpikir... asyik sekali dalam waktu yang sangat singkat kamu akan melampaui usahaku bertahun-tahun, iya, kan?"
"Adri...," aku kembali menengahi. Astaga... mereka ini sama-sama sentimentil dan konyol. Pantaslah, mereka sedarah. "Kamu terlalu emosional deh kayaknya—"
"Karena kamu nggak ngerti apa-apa!" Adrian membentakku kesal. "Kamu nggak dibesarkan bersama seseorang yang punya anggapan seperti itu tentangmu. Ini bukan masalah dia sudah tanda tangan kontrak atau belum, Minaaa...," desahnya. Kali ini secara otomatis anggapan bodoh itu menular padaku. "Lebih buruknya lagi—oh kalian pasti tahu apa—nggak ada yang ngasih tahu aku tentang hal ini. Tentu saja. Siapa yang mau peduli sama aku saat kondisiku lagi begini, kan? Aku tahu gara-gara mencuri dengar pembicaraan Stevan di telepon. Aku nggak muncul di agensinya hampir sebulan penuh dan dia nggak peduli karena dia sedang sibuk ngejar-ngejar model yang jauh lebih potensial dariku, yang dia yakin akan bisa merepresentasikan produk klien-nya hanya dari melihat postingan-postingan instagram konyolmu! Apa dia tahu siapa yang menyusun konten-konten itu? Jangan bilang kamu menyusun semuanya sendiri, you can't even took a proper selfie, Mahmoud! Kamu kampungan! Kamu membiarkan orang lain berpikir sehebat itu, dan mereka adalah orang-orang yang sedang mempecundangi sepupumu sendiri! Di situ letak kesalahanmu, Brengsek! Bukan soal kamu sudah tanda tangan kontrak atau belum! Sialan!"
Aku dan Mahmoud melompat kaget. Adrian mengakhiri kalimatnya dengan jotosan keras ke daun pintu bilik di belakangnya. Seketika, keheningan menyelimuti kami. Suara kasak-kusuk di luar bilik pun terhenti. Hanya suara engah napas Adrian dan tarikan napasku yang tertahan, kemudian senyap sepenuhnya.
Aku melirik Mahmoud, dia menunduk dengan rahang mengetat dan mulut terbungkam rapat. Sebutir keringat mengalir di keningnya.
"Kamu tanda tangani atau tidak," ucap Adrian setelah napasnya teredam. "Mereka nggak akan mempekerjakanku. Ya," dia mengangguk-angguk maysgul saat aku dan Mahmoud mengunci tatapan dengannya. Mempertanyakan kebenaran ucapan itu. "Kalau Mahmoud setuju, dia yang akan jadi modelnya. Aku tetap nggak akan bekerja. So it's not about you. Mereka memang brengsek. Tapi aku tetap kesal padamu, kenapa memangnya?"
"Adri...," aku mencoba mendekat dan membujuk.
Adrian menyetop langkahku dengan mengangkat kedua tangannya ke atas bahu. "Kabar baiknya, mereka nggak akan meminta kembali uangku dan aku harus menganggur sepanjang tahun. Mungkin aku justru bisa bikin bengkel motor seperti impianmu, Mu... kalau impian itu belum berubah. Impianmu apa sekarang? Jadi model profesional dan memacari sahabatku? Oh iya... jangan lupa. Aku dan Mina tidur bersama malam itu... apa dia sudah tahu?"
Simpatiku padanya langsung lenyap.
"Kalau dia hamil, itu bayiku," sambung Adrian keji. "Kami melakukannya tanpa pengaman."
Sial.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top