54. Breakfast in Bed

Udah baca versi special part 53 di Karyakarsa?

Aku tidak mengatakannya hanya supaya Mahmoud meniduriku lagi.

Aku juga tidak menjawabnya hanya agar Mahmoud terus terikat pada janjinya untuk membantu HBM, atau—jika ia berbohong mengenai draft kontrak Stevan—supaya dia tidak menyanggupi pekerjaan lain yang akan mengancam HBM kehilangan talent sepertinya.

Hatiku tergerak. Itu saja. Entah pada apa. Sebelum aku masuk ke apartemen, niatku hanya menggodanya. Aku ingin dia menjilat ludahnya kembali, kemudian diam-diam menertawakan niatnya berhenti menyentuhku jika ujungnya ia tak bisa menolak rayuanku. Namun, dalam beberapa detik, aku begitu menginginkannya. Aku ingin dia memilikiku. Ketulusannya menyihirku, rasa takutku menguap. Kekhawatiran yang menghantuiku bertahun-tahun... sirna. Aku percaya dia bukan orang yang bisa menyakitiku seperti Edwin dulu. Lagi pula, kini aku begitu mencintai diriku sendiri, kenapa aku tidak mencoba membiarkan orang lain mencintai diriku?

Aku memintanya mengulang kata cinta yang diucapkannya dengan sangat canggung berkali-kali. Kutelusuri pahatan wajahnya yang rupawan dengan jemariku, gurat senyumnya yang indah teraba dan terlukis dalam benakku. Mataku memejam, meresapinya. Semakin diulang, ketegasan Mahmoud menguat. Jika ikrarnya diumpamakan kayu balok besar yang didorong mendobrak pintu hatiku, dobrakan itu semakin kencang, bukannya melemah. Mahmoud menaut bibirku yang membuka kecil dengan bibirnya, melepasnya setelah sekecup. Membukakan mataku.

"Ayo, kita coba," kataku kemudian.

Mahmoud tidak meminta penjelasan pada sepatah kataku. Dia tidak menuntutku menjelaskan, atau memperjelas apa yang kurasakan. Dia hanya mematahkan lehernya ke bawah sebelum bahunya berguncang menahan tawa bahagia. Sewaktu tatapan kami kembali dipertemukan, aku hanya melihat betapa leganya Mahmoud dalam anggukan lambatnya. Aku merangkum rahangnya, memagut bibirnya dengan gugup.

"Apa sayur lodehmu bisa dihangatkan lagi nanti?" tanyaku.

Mahmoud bilang bisa, lalu dia memelukku. Kami berciuman, menyingkirkan kursi ke belakang dan dia mendesakku ke tepian meja makan sebelum mengentak bagian bawahku ke depan. Kakiku mengunci pinggangnya, lenganku melingkar erat di lehernya. Ciuman kami tidak pernah terlepas sampai Mahmoud membaringkanku ke atas tempat tidur dan kami bercinta.

Aku menelanjangi Mahmoud dan dia menelanjangiku. Ciuman kami terus tersambung sepanjang prosesi tanggalnya helai pakaian satu demi satu. Jemarinya menyusuri lekuk-lekuk tubuhku, menekannya di bagian-bagian tertentu yang seringkali membuat tubuhku menggelepar. Mahmoud melakukannya dengan khidmat, perlahan, penuh perasaan. Aku meresapi gelenyar-gelenyar hasrat yang begitu nikmat dalam kesyahduan. Setiap kali mata kami bertemu saat tubuh kami menyatu, aku melihat kesungguhan yang teramat dalam di matanya. Sebelum kami selesai bercinta, aku sudah bertekad untuk berkata jujur.

"Room service!"

Aku tersenyum lebar dengan bibir bawah tergigit. Sambil menutupi dada dan tubuhku yang hanya terbalut selimut, aku bangkit duduk dan bersandar di kepala ranjang. Tubuhku baru saja kering dari keringat setelah ritual bercinta yang pelan dan penuh penghayatan itu ujungnya menjadi panas dan melelahkan. Mahmoud yang hanya mengenakan boxer hitam ketat melangkah masuk dengan baki makanan beruap hangat. Aroma masakan tradisional memenuhi ruangan, perutku yang lapar semakin melilit.

Kami bergantian saling menyuapi. Romantisme picisan yang bakal bikin aku memutar bola mata kalau dilakukan oleh orang lain itu begitu menyenangkan dan mendebarkan hati. Masakan Mahmoud cukup enak, tapi kelembutannya saat memasukkan sendok ke mulutku, dan perhatiannya pada sudut bibirku yang kadang terceceri nasi atau kuah bersantan membuat hidangan tersebut lebih nikmat puluhan kali lipat.

Jariku dan jemari Mahmoud bertautan. Kepalaku bersandar di lengannya yang diletakkan di atas tengkukku, sesekali kami bersitatap dan tak kuasa menahan tawa bahagia. Hangat kulit kami bergesekan, aku masih telanjang bulat saat kakiku melingkari pinggangnya, lalu mencium bibirnya hingga Mahmoud mengira aku sedang mengajaknya bercinta lagi. Walaupun caranya mengendusi tubuhku begitu lucu dan memikat, aku bilang kami harus bicara.

"Ini tentang Adrian, kan?" tanyanya, matanya memandangi jari jemari kami yang terkait di depan dada.

Aku mengangguk. "Aku harus jujur, meski aku tahu ini akan menyakitkan buatmu. Mungkin kamu akan berubah pikiran, atau bahkan memandangku dengan cara berbeda. Tapi, aku tidak menyambut perasaanmu hanya supaya kita bisa bercinta lagi... aku ingin mencoba menjalani hubungan yang sudah sekian lama kuhindari. Mahmoud...."Aku mengambil jeda sejenak sambil menetapkan hati. "Kemarin itu... sewaktu kamu pergi meninggalkan apartemen... aku sudah berbohong. Ada yang terjadi antara aku dan Adrian."

Kedua mata Mahmoud yang sedang asyik mencermati kait jemari kami membuka semakin lebar.

"Aku tidur dengan Adrian," terangku.

Kait jemari Mahmoud mengendur. Alisnya menukik dan kelopak matanya memejam. Dia terluka, tentu saja. Tapi, sepertinya dia tidak terlalu terkejut mendengarnya.

"Aku memilih berkata jujur," kataku sewaktu Mahmpud melepaskan tanganku sama sekali kemudian bangkit duduk di tepi ranjang, membelakangiku.

Punggungnya yang kokoh entah bagaimana mendadak terlihat rapuh dari tempatku berbaring menunggu reaksi selanjutnya. Bagian belakang kepala Mahmoud kian lama kian menghilang, tertunduk dalam. Aku meringkus selimutku dan memeluk lehernya dari belakang. Selimut lembut itu terpuruk ke bawah, punggung Mahmoud melekat di dadaku tanpa penghalang. Aku terus mendekapnya, mencoba mencium pipinya. Mahmpud tidak menjauh atau menghindar, dia membutuhkan waktu untuk menentukan respons seperti apa yang akan diperlihatkannya padaku. Aku berdoa, semoga dia mengerti.

"Itu menyakitkan," rintihnya, kepalanya dimiringkan ke kiri, memberiku akses lebih banyak untuk mengendusi rahang dan rambutnya. "Kenapa ibu melakukannya?"

"Aku nggak punya alasan apa-apa," ungkapku jujur. "Hanya dorongan hasrat—"

"Apa hasrat ibu belum terpuaskan setelah kita melakukannya dengan penuh gairah di mobil waktu itu?"

"Tapi aku berkata jujur," kataku.

"Kenapa ibu berkata jujur sekarang? Bukan kemarin? Saya punya peraturan tambahan dan malam itu peraturan saya masih berlaku. Saya pikir kita bermain sportif, saya selalu mencoba memenuhi permintaan Bu Mina."

"Kamu nggak sepenuhnya sprotif," aku melonggarkan pelukan lenganku dan menarik wajahku menjauh, tapi menoleh untuk kupertemukan dengan rautnya yang sontak memandangku dengan ekspresi tak terima. "Kamu nggak sepenuhnya memegang aturan rahasia. Kamu memberitahu Adrian bahwa aku memberimu izin tinggal bersamaku. Itu yang membuat Adrian menyeruduk kemari. Kalau tidak, hal itu nggak akan terjadi—"

"Jadi ini salah saya?"

"Aku hanya bilang... kita berdua nggak sepenuhnya benar dalam hal ini."

Mahmoud mendecapkan lidahnya kencang, kemudian dengan kekecewaan yang tidak berkurang ia membuang wajahnya jauh dariku. Aku bisa memahami kejengkelannya, jadi aku melepaskannya dan kembali berbaring di balik selimut. Paling tidak aku sudah berusaha berkata jujur. Kutunggu Mahmoud menarik-embuskan napas panjang berkali-kali sebelum dia mengubah posisi duduknya.

Aku membalas tatapannya.

Setelah beberapa lama menunggu tapi bibirnya tetap mengatup meski jelas sekali ia ingin mengatakan sesuatu, aku berbicara lebih dulu, "Aku serius menyambut cintamu. Aku ingin mencobanya denganmu. Karena itu... aku berkata jujur. Aku nggak ingin kamu mendengarnya dari Adrian—"

"Menyambut perasaan saya atau tidak, ibu tetap tidak ingin saya mendengarnya dari mulut Adrian, atau siapapun."

"Terserah kamu, yang penting dengan begini aku merasa lega," ucapku absolut. Arogan, tapi aku merasa benar. Daripada berlarut-larut. Aku memutuskan memberi Mahmoud waktu kalau dia mau meninggalkanku sendiri dulu dan kembali ke kamarnya dengan berbaring membelakanginya. Namun, kurasakan tempat tidur di balik tubuhku bergoyang. Mahmoud berbaring telentang. Sejurus kemudian, mataku memejam menikmati pelukannya. Lengan Mahmoud menyelinap di balik lenganku, mendekap erat kedua belah dadaku yang terbungkus selimut.

Aku menyambut bibirnya dengan pagutan sekilas sebelum dia mengecupi daun telingaku, leherku, kemudian membalik tubuhku dan menindihnya.

"Aku minta maaf, ya?" ucapku lembut.

Mahmoud menempelkan keningnya di keningku dengan kelopak mata memejam relaks. Kudongakkan kepalaku untuk mengecup kening itu. Bibir Mahmoud menaut bibirku sewaktu kepalaku kembali pada posisinya semula. Dia tidak memagut, melainkan membuka mulutnya lebar-lebar dan bernapas di rongga mulutku. Menghempaskan tekanan yang menghimpit dadanya. Tubuhku kembali memanas oleh gairah yang lebih besar dari sebelumnya. Mahmoud menggigit bibir bawahku, membuatku merintih kesakitan. Dia lantas mengulum yang sebelumnya ia gigit itu dan merayap turun ke leherku. Terus ke bawah, menyingkap selimut sedikit demi sedikit dan meninggalkan jejak basah di dadaku. Aku menggelepar. Mahmoud mengulum dadaku dan mengisapnya kuat, menjilatnya lembut, mengisapnya kembali, dan mengulangnya lagi, dan lagi.

Dan lagi....

Keesokan harinya, aku terbangun lebih dulu sebelum Mahmoud. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, biasanya Mahmoud sudah bangun duluan dan menyiapkan sarapan. Dia pasti kelelahan. Semalaman dia melampiaskan kekesalannya dengan bercinta. Aku beringsut lebih dulu dari tempat tidur. Kurasa, dia pantas mendapatkan sarapan pagi buatan kekasihnya di atas tempat tidur. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top