45. Mint Tea
Aku bener-bener nggak tahu kalau part 44 udah 500 votes.
Part ini 525 votes aku langsung update, ya? Aku bakal rajin nengokin deh entar.
Trapping Mr. Mahmoud di Karyakarsa udah sampai part 87, 88, 89, ya
Dan ini special part, lho... hohoho...
Special part gini berisi mature content yang sama sekali nggak ada di wattpad. Panjangnya sampai 9500 kata wkwk which is tiga kali lipat dari part 87, 88, dan 89 versi wattpad. Dijamin nggak kentang. eeeh... hahaha
Kalau di sini banyak typo atau plot hole, dimaklumin, yah....
Mahmoud tidak beranjak ke mana-mana meski aku sudah memberinya isyarat mata supaya menjauh. Astaga.. ada apa, sih, sama cowok-cowok ini? Dua-duanya bukan apa-apaku, tapi merepotkan bukan main. Sekarang ini, yang satu sengaja membenamkan dirinya ke pelukanku setelah tahu yang lainnya menyaksikan, sementara yang satunya lagi berdiri dengan tangan mengepal dan rahang mengetat. Memangnya mereka ini lagi ngapain sebenarnya? Mahmoud juga, makin lama dia makin susah dikendalikan. Kalau begini sih lama-lama bukannya menjebak, malah aku yang terjebak!
"Moud...," panggilku lembut. "Adrian sedang nggak enak badan, bisa, kan, kamu malam ini tidur di sofa dulu? Biar kamarmu dipakai Adrian?"
Mahmoud diam seribu bahasa, hanya bola mata hitam kelamnya yang menyorot tajam tepat ke inti mataku. Alis tebalnya menukik, dia nggak mau sedikit saja mengalah. Pikirannya pasti udah nggak keruan ke mana-mana. Apa saja yang didengarnya dari tadi? Aku nggak tahu kapan dia masuk. Sudah kubilang suruh nunggu, bandel banget, sih? Sepertinya memuaskan hasrat seorang pria supaya mereka memenuhi permintaan kita memang bukan gagasan yang bagus, yang ada mereka malah makin kurang ajar.
"Mahmoud!" aku menegaskan suaraku, membuat Mahmoud akhirnya menggeriap dan mengubah caranya menatapku. "Bisa nggak aku minta tolong? Buatin teh buat Adrian, biar dia tenang?"
Oh, sial. Apa dia tersinggung dengan ucapanku? Matanya yang sudah menatap normal kini mencelang, padahal aku hanya ingin mencairkan suasana, tapi bisa jadi Mahmoud berpikir aku memintanya membuatkan teh karena dia bekerja di tempatku sebagai pesuruh. Terlebih di depan Adrian... kamu malah menambah kayu bakar di tengah api yang menyala, Mina. Ya, ampun... sekarang analogiku bahkan udah mulai kampungan kayak musik dangdut, nyesuaiin nama Mahmoud. Aku menarik napas, sengaja memperlihatkan betapa aku letih dan berharap dia mau mengerti karena ikatanku dengannya lebih kuat daripada dengan Adrian sehingga aku lebih memilih meminta bantuannya, daripada sebaliknya. Ribet banget, kan, ngasuh dua bayi gede begini? Salah siapa cobaaa?
"Mahmoud... atau kamu mau bantu aku bawa Adrian ke kamar, sementara aku bikin teh?" tanyaku.
Secara mengejutkan, Mahmoud malah lebih menyukai ide itu, "Boleh," katanya. Maju selangkah. "Biar saya bantu."
Masalahnya, Adrian justru mengeratkan pelukan dan mengubah posisinya menjauhi Mahmoud sampai aku susah ambil napas. Aku mengerang, ingin rasanya menjedotkan kepala mereka berdua. Kekanak-kanakan banget! Gemas aku jadinya! Adrian dengan sengaja menempelkan pipinya ke pipiku, lalu membisik di telingaku, "Aku masih mau bicara sama kamu. Berdua. For old time's sake, Mina. Siapa yang ada di sampingmu saat kamu berada di titik terendah."
"Tapi aku juga mau bicara sama kamu, Dri," Mahmoud menyahut. "Apa maksudmu menelepon Abhi-ku dan menanyakan di mana aku tinggal, padahal aku sudah ngasih tahu kamu aku ke mana. Abhi mendesakku supaya pulang kampung."
Aku mencoba bersabar, Mahmoud jelas-jelas memberi tekanan lebih pada dua kata terakhirnya. Untung di antara kami bertiga, aku adalah satu-satunya orang yang masih bisa mikir jernih. Mahmoud nggak akan ke mana-mana, dia nggak akan meninggalkanku ke manapun setelah melihat Adrian menggelayut di badanku seperti bocah lima tahun yang haus perhatian. Aku menggeleng samar kepadanya, meremehkannya yang semula kupikir bisa diajak kerja sama seperti dua orang dewasa sementara yang lain bersikap konyol. Kuseret langkahku pelan, Adrian mengikutiku. Saat aku melewati tubuh Mahmoud yang bergeming, jemari kami bersentuhan. Aku menyelipkan jariku ke dalam jarinya sambil memandang matanya dan mengedip lambat. Mahmoud membalasnya sekilas sebelum kemudian kelopak matanya memejam dengan alis menukik seperti menahan luapan emosi. Jarinya merenggut jemariku erat, agak menyakitiku, lalu dia menahannya sampai tubuhku terentak sebelum dilepaskannya kembali.
Sampai aku menoleh padanya di ambang pintu kamar, Mahmoud masih berdiri memaku di tempatnya tadi, dan begitu pintu kamar kututup, Adrian melepaskan pelukanku. Kudiamkan saja orang itu berjalan lunglai menghampiri kubus rubik yang kutaruh di atas meja, mengambil dan memainkannya, lalu memantulkan tubuhnya di atas permukaan kasur.
"I am gonna lose the job," gumamnya sambil mengacak-acak kubusku.
"Kamu kayaknya terlalu jauh mikirnya, lagian kalau memang mereka nyari model kedua, bukan berarti kamu nggak dipake, kan?"
"Are you not listening to what I said? Mereka nggak kunjung memberiku pekerjaan, mereka bukan nyari model kedua, mereka menyisihkanku untuk model kedua itu. Aku memang dibayar karena kontrak sudah kutandatangani, tapi bukan hal yang aneh kalau mereka nggak jadi make mukaku buat brand image mereka. mereka menemukan image yang lebih pas, Mina!"
"Tetap aja nggak masuk akal kamu menyalahkan Mahmoud, apalagi aku. Kamu kan tiap hari ketemu Stevan, dia nggak ngomong apa-apa sama kamu emangnya?"
Adrian menggeleng, dia tidak tampak gusar. "Stevan itu di otaknya cuma bisnis. Justru karena itu aku mikir, orangnya adalah Mahmoud. Kalau dia ngasih tahu aku, aku pasti akan menghalangi niatnya. Min, kamu ngerti nggak, sih? Aku udah malang melintang di dunia ini bertahun-tahun, masa Mahmoud tahu-tahu muncul dan mengambil segalanya?"
"Kamu picik banget sih pikirannya, Dri?" kataku, nggak menyangka Adrian sebegitunya. "Asal kamu tahu, Mahmoud sama sekali nggak punya keinginan kayak gitu. Dia aja mau bantuin kami dengan tipu muslihat, kasihan dia kalau jadi sasaran kemarahanmu. Benar yang Mahmoud bilang tadi? Kamu menelepon orang rumahnya? Apa yang kamu bilang ke mereka?"
"Nggak ada."
Aku mendekat ke tepi tempat tidur dan duduk. Kuelus rambut Adrian dan cowok itu langsung melupakan kubusnya. Seperti kucing, dia meletakkan kepalanya di pangkuanku. "Benar kamu nggak tidur sama Mahmoud?" tanyanya sambil melirikku. "Kalau enggak, kenapa dia mesti ngasih tahu ke kamu soal cewek yang kubawa ke apartemen?"
Aku menggedikkan bahu.
"Dia suka sama kamu," katanya. "Dia suka sama kamu yang sekarang. Yang cantik, yang seksi, yang punya segala-galanya. Ingat, Mina, apa yang terjadi ke kamu dulu? Setelah kamu percaya, kamu akan melihat segalanya berubah—"
"Apa Mahmoud kayak gitu?"
"Astaga!" serunya kaget dan bikin aku kaget juga. Kali ini seperti rubah, Adrian melompat dan duduk menghadapiku. Wajahnya dilekatkan begitu dekat dengan mukaku sampai aku harus menarik kepalaku mundur. "Kamu juga suka sama dia?"
"Ngawur!" sangkalku lebih cepat dari lompatannya tadi dan mendorong mukanya jauh-jauh. "Udah, ah, aku mau mandi. Kamu tidur aja di sini, aku tidur di sebelah."
"Why?!" protesnya sambil merengkuh pinggangku kembali dan mencegahku beranjak dari sana. "Aku cuma tidur sama cewek itu sekali! Sekarang udah enggak lagi! Come on, Mina... kamu tahu aku lagi butuh banget kalau perasaanku lagi kayak begini. Tunjukkan ke aku... kamu benar-benar nggak tidur, atau suka sama Mahmoud!"
Kepalan tinjuku mendarat telak di perut Adrian sebelum dia benar-benar menindihku. Adrian mengerang sambil meringkuk, tapi bukannya kesakitan, dia malah tertawa. Orang kalau lagi stres emang suka aneh, ya? Beberapa waktu lalu dia mental breakdown gitu, tapi begitu ngerasa menang dari Mahmoud karena berhasil membuatku lebih mengutamakannya, dia bisa bersikap seperti itu. Orang gila.
"Sebaiknya kamu jelasin ke Mahmoud, apa yang sudah kamu bilang ke orang tuanya, biar dia nggak resah. Dia sepupumu, lho, Adrian. Kasihan dia—"
"Kamu nggak mau dia pulang kampung, kan?" Adrian menyeringai sambil menelentangkan tubuhnya dengan kedua lengan merentang lebar, membuat gerakan seperti kupu-kupu terbang dan mengacak-acak seprai dan selimutku. "Aku bisa melihat itu dari mukamu. Nidurin dia, atau enggak, tapi itu kata kuncinya untuk bisa mendapatkan semua ini, kan? Aku bisa membayangkan bagaimana dia mengancammu dengan kepolosannya. Saya harus pulang kampung, Bu Mina, kalau saya pulang kampung... ibu nggak akan bisa menjadikan saya boneka perusahaan ibu lagi. Sebagai gantinya, dia bisa berusaha mendekatimu, atau lebih buruk lagi... memanfaatkan kebutuhan kalian akan jasanya untuk memaksamu—"
"Adri!" aku menghardik.
"Okay... mungkin nggak memaksa," Adrian buru-buru meralat kata-katanya. "Mahmoud bukan orang seperti itu. Lebih masuk akal kalau dia menggunakan kelemahannya untuk mengintimidasimu. Mahmoud yang lugu, yang tak tahu apa-apa, yang kalian peralat... dia akan membuatmu merasa dia tak akan mau melakukannya kalau bukan karenamu. Suatu saat ketika kamu harus berkata tidak untuknya, dia bisa mengacaukan semuanya... aku yakin Mahmoud nggak sepolos dugaanmu, Mina."
Sejak tadi, aku hanya diam mendengarkan. Kejadiannya memang mirip seperti itu, pikirku, hanya kebalikannya. Akan tetapi, teori Adrian memang agak mengusikku. Aku yakin Mahmoud tidak punya pikiran jahat, tapi perubahan perasaannya terhadapku memang meresahkan, dan jika itu benar, ucapan Adrian memang masuk akal. Dia bisa saja mengancam akan pergi saat kami benar-benar membutuhkannya, lalu... entah apa yang akan dimintanya sebagai alat tukar. Sejauh mana Mahmoud akan merugikanku, dan sebenarnya siapa yang menjebak siapa kalau sudah begini?
Meski begitu, aku nggak ingin membuat Adrian merasa dia benar-benar bisa menebak apa yang terjadi. Aku menarik napas panjang dan tersenyum, "Udah kamu ngata-ngatain Mahmoud-nya? Pokoknya, aku mau kamu ngomong sama Mahmoud dan baik-baik nyelesaiin semuanya. Aku nggak mau kerjaannya nanti terganggu gara-gara dia ada konflik sama kamu."
Adrian memberengut ogah-ogahan. Dia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang setelah menyaksikanku berdiri sambil berkacak pinggang menanti pendapatnya. Sambil meraih kembali kubusnya, dia bertanya, "Imbalanku apa?"
"Aku akan pastikan Mahmoud nggak mengambil pekerjaanmu."
Setelah aku mengatakannya, kudengar suara pintu depan ditutup. Mahmoud keluar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top