3. Skinless Chicken Breast

Siapa yang suka order dada ayam KFC?

Fun Fuct About Chicken Breast

100 gram dada ayam tanpa kulit mengandung 165 kalori, 31 gram protein, dan hanya 3.6 gram lemak. Dada ayam bersih adalah sumber protein paling populer di dunia perdietan, selain rendah lemak dan mengandung zat besi, potasium dan berbagai macam vitamin, dada ayam  mengandung polyunsaturated fat dan monounsaturated fat (healthy fat) dua sampai tiga kali lipat lebih banyak dari yang dikandung daging merah. 

Tapi, ingat! 

Cara pengolahannya juga harus diperhatikan. Menggoreng bahan makanan sesehat apapun akan meningkatkan kandungan kalori berkali lipat, apalagi menambahkannya dengan tepung dan macam-macam bumbu yang tinggi kandungan garamnya. 

Best consumed baked, or grilled.

Follow medsos-ku, yaaa...


Ngeliat kemejaku berkibar dan dadaku nyaris tumpah ke mana-mana saat membuka pintu, Adrian mendorong jidatku supaya kembali bersembunyi.

Dengan lincah, cowok atletis berkulit bersih itu membalik tubuh dengan handle pintu dalam cengkeramannya supaya Steve nggak ikut merangsek masuk.

"Lo pulang aja, besok pagi jemput gue kalau memang harus jalan bareng," katanya sambil melindungi pintu di balik badannya.

Aku memasang kuping dan mengintip lewat lubang di daun pintu. Stevan, atau Steve, manajer yang menaungi beberapa model baru di Bright Agency, mencebik masygul. Dia sempat memelotot menyaksikanku membuka pintu lebar-lebar selebar kemejaku yang terbuka di bagian depan. Dagunya nyaris jatuh sampai ke lantai, sedikit lagi liurnya menetes.

Padahal, harusnya dia udah sering melihat model berpakaian serba minim, tapi melihatku mungkin lain. Aku bukan model yang dengan profesional berani menanggalkan pakaian di ruang ganti yang disesaki berbagai macam makhluk berbeda jenis kelamin demi menghemat waktu persiapan. Aku cewek biasa yang kebetulan seksi dan tentu saja hal kayak barusan nggak bisa dilihatnya setiap hari.

"Inget, lo baru mau memulai karir," Steve menuding muka Adrian. "Jangan bikin skandal aneh-aneh, apalagi buntingin anak orang."

Adrian hanya menanggapi omelan Steve dengan putaran bola mata capek.

Nggak usah dikasih tahu, Adrian juga paham. Masalahnya, emang dia pikir gampang menjalani hidup di sekitar cewek secuek aku? Aku yakin, kalau dia nggak inget berapa lama kami berteman dan betapa banyak susah senang hidupnya yang melibatkanku, mana mungkin dia ngelihat yang kayak barusan dan tenang-tenang aja? Dia cowok normal, kok.

Aku aja yang memang agak kurang ajar.

Begitu Steve berbalik, Adrian mundur sambil membuka pintu dan masuk unit apartemennya. Dia hanya bisa mendengus menyaksikanku menempel di dinding seperti laba-laba. Tanganku yang kusatukan di balik punggung membusungkan dadaku ke depan, seakan menantangnya. Sebaliknya, gigi-gigiku meringis berlagak polos.

Meski kepolosan itu jelas-jelas palsu, tetap aja buat Adrian aku tampak menggemaskan. Dia mendekat, berusaha keras mengalihkan perhatian dari bagian tubuhku yang mengemis minta diperhatikan. Sudah lama aku memuji keteguhan iman Adrian. Seperti saat ini misalnya, dalam jarak yang sangat sempit, dia justru menarik kemejaku ke depan dan mengaitkan butir-demi butir kancing yang tersisa.

"Mana Mahmoud?" tanyanya.

Aku melirik ke arah kamar.

Adrian mendorong dadaku menjauh. "Kamu apain dia kok bajumu sampai compang-camping begitu?"

"Yang compang-camping bajuku, kok aku yang dituduh ngapa-ngapain dia?" balasku cemberut.

"Soalnya nggak mungkin Mahmoud berani ngapa-ngapain kamu!"

Bibirku semakin maju lima senti.

"Ganteng nggak dia?" bisik Adrian seraya melongok ke balik bahuku. "Waktu datang tadi, baunya seperti kambing, jadi aku tinggalin biar dia bersih-bersih dulu. Entah dia naik bus, atau numpang truk pasir, aku juga heran. Datang-datang dekil banget. Gimana ceritanya sih bisa keliru? Apanya yang mirip?"

"Masalahnya justru aku nggak melihat mukanya duluan, kalau lihat... aku nggak akan keliru."

"Astaga, Mina...."

"Habis kebiasaannya sama kayak kamu!"

"Makanya jadi orang jangan celamitan! Kalau dia sampai mengadu yang enggak-enggak sama ibuku di kampung, aku bisa mampus. Udah dibilangin berkali-kali... mabuk ya kamu? Horny? Iya?"

Aku cengengesan.

"Horny kok jadi pembelaan terus! Kamu tuh nggak mabuk-mabuk amat kalau masih bisa milih cowok mana yang mau diserang, jangan pake alasan begituan terus. Nggak akan mempan lagi sama aku. Kalau kamu begini terus, bakal aku tinggalin. Serius. Bentar lagi karirku bener-bener akan jelas, aku nggak bisa kalau kamu main-main begini—"

"Main-main apa, sih?" Aku menggerutu sambil dengan seenaknya menguncupkan bibir Adrian dengan lima jari tanganku. Adrian menghindar, tapi aku justru menggelayuti tubuh lelaki itu. Kedua lengan kurusku melingkari leher Adrian erat-erat. "Aku kan becanda, Adriii... lagian... apa hubungannya sama karir? Emang aku nakalin kamu di depan orang-orang? Barusan kan aku nggak tahu kalau ada Steve."

"Ya itu masalahnya! Kamu anaknya suka nggak lihat-lihat! Kalau barusan kejadian pas aku udah sukses, terus di belakangku ada banyak wartawan, atau orang iseng yang bawa-bawa kamera, gimana?"

"Tck!" Lidahku mendecap bosan.

Aku punya firasat, Adrian bakal tambah nggak asyik kalau dia benar-benar jadi supermodel. Tapi toh, aku nggak serius. Selain perasaan sayang pada seorang kawan dan hausnya hasrat ingin mengecap kembali seks terbaik dalam hidupku, aku nggak punya perasaan khusus pada Adrian.

Yah... setidaknya... tidak lagi.

Aku nggak perlu merasa tersinggung pada peringatan barusan, atau khawatir berlebihan kalau Adrian memang butuh menjaga jarak suatu hari nanti. Sebelum perasaanku terhadapnya tumbuh besar dan beranak pinak—pada masa pemulihan dari luka yang ditorehkan Edwin dulu—aku sudah memitasnya seperti kutu. Makanya, walaupun sudah sungguh-sungguh diperingatkan, aku tetap saja berani mencengkeram dagu dan memalingkan muka cowok itu ke arahku.

Adrian menahan perutku.

Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mencegahku berbuat tak senonoh pada bibirnya. Ia tak bisa menarik wajahnya menjauh karena lenganku menahan lehernya. "Just one kiss, please... you owe me an apology...."

"Minuuuul," geramnya jengkel. "Apology for what? Kamu yang nggak buka pesanku. Kamu yang seenaknya nindihin orang tanpa memastikan siapa dia!"

"Kamu yang punya kebiasaan aneh kerubutan selimut, kalau enggak... aku nggak mungkin melakukan hal itu!"

"You are guilt-tripping me. Get your hands off me, atau kubanting!"

Aku menahan geli sambil terus nekat memaksakan bibirku ke bibir Adrian sementara perutku didorong menjauh sekuat tenaga. Selama di sekitarku nggak ada kasur, mustahil Adrian membantingku.

"Adrian?"

Tahu-tahu, sebuah panggilan bernada bingung terdengar nggak jauh dari tempat kami berdiri dengan pose menantang. Aku terkejut hingga lenganku yang melingkari leher Adrian mengendur, sedangkan Adrian kaget dan refleks mendorong perutku terlalu kuat. Aku yang terhempas mundur sontak memaki sambil memegangi bagian tubuhku yang tersodok. Brengsek. Adrian bahkan nggak mau repot-repot meminta maaf.

"Hey, Mu... gimana istirahatnya?" tanyanya, bergeser makin jauh dariku sambil menyembunyikan kedua tangan di balik saku celana.

Sangat penting buat Adri menciptakan kesan baik di mata sepupunya. Belakangan aku tahu keluarga Mahmoud—yang sejak kecil akrab dengan panggilan Mumu—berkerabat dekat dengan keluarga Adrian. Ibu Mumu adalah kakak perempuan Ayah Adrian. Budhe-nya itu menikahi seorang pria keturunan Arab-Cina, kedua anak lelakinya diberi nama bernuansa Islami. Sedangkan ayah Adrian memperistri seorang pengusaha restoran beretnis Tionghoa, nama anaknya biasa saja, justru dibikin sepribumi mungkin. Adrian, Arini, dan Amira.

Mahmoud lebih dulu melirikku yang melipat tangan di depan dada sebagai bentuk kecaman non verbal. Nggak seharusnya cowok itu berani keluar kamar tanpa permisi padaku. Pasti ludahnya yang terteguk sangat kentara itu terasa pahit. Sampai detik ini, statusnya masih tersangka.

(Aku yakin mulai sekarang dia akan mengingat kejadian ini sebagai pelajaran sekali seumur hidup. Dalam kamus hukum pribadi seorang perempuan, kalau kamu sudah menyinggung perasaannya, nggak ada yang namanya asas praduga tak bersalah.)

Adrian ikut-ikutan melirik ke arahku yang berdiri agak di belakangnya, "Kamu udah ketemu sama Mina, Mu?"

Diam-diam aku memutar bola mata. Ketemu gimana? Kami sudah berciuman segala.

"Pa—pacar kamu?" tanya Mahmoud gugup.

"Bukan!" sanggah Adrian cepat.

Sebelum mendekati Mahmoud, dia menyempatkan diri memelototiku.

"Dia temenku sejak kuliah, anaknya emang begitu," bisiknya pada Mahmoud, tapi aku masih bisa mendengar. "Kami nggak ada apa-apa, kok, kamu jangan bilang ibuku soal ini, ya? Mina nggak biasanya datang malam-malam ke apartemen, tadi dia HARUSNYA cuma ninggal mobil di basement. Ya, kan Min?"

Alih-alih menjawab, aku malah sengaja membunyikan napas yang kuembuskan lewat mulut kuat-kuat, kemudian mengerucutkan bibirku. Tentu saja Adrian akan menjawab seperti itu. Padahal kan seru kalau kami pura-pura pacaran. Sepupunya yang makin ke sini makin kelihatan imut itu kayaknya benar-benar lugu, natural, nggak dibuat-buat. Dia bakal belingsatan mengira pacar Adrian sudah menggerayanginya. Makin seru lagi kalau dia mengadu soal gaya pacaran Adri, lalu ibunya yang anti pre-marital sex itu mendesaknya cepat menikah. Aku bakal tertawa-tawa menyaksikan betapa pusingnya Adrian kalau itu terjadi.

"Bukan pacar kamu gimana?" desak Mahmoud tertahan, dadanya beradu dengan dada Adrian yang berusaha mendorongnya kembali ke kamar. Mahmoud memagari sisi-sisi wajahnya dengan telapak tangan untuk menyembunyikan gerakan mulutnya dariku. Konyolnya, dia malah bicara dengan suara yang cukup keras. "Dia masukin lidahnya ke mulutku. Ke mulutku! Dia bilang, dia pikir aku itu kamu. Kalau bukan pacar, lalu apa itu namanya?"

Aku buru-buru balik badan supaya bisa melepas tawa geli tanpa suara.

"Oke... tenang...," bujuk Adrian seraya merangkul bahu Mahmoud yang sedikit lebih tinggi dirinya.

Mahmoud menunduk penasaran, menyodorkan telinga ke moncong sepupunya.

"Ini lah kenapa waktu itu aku nanya, apa benar kamu sudah siap bekerja di kota besar? Nggak semua orang cocok. Banyak yang nggak kuat mental, nggak cukup tangguh, dan lain-lain. Coba aku tanya, kamu ke Jakarta pengin apa?"

"Nyari kerja."

"Pengin sukses, enggak?"

"Ya pengin... kalau bisa."

"Kamu pikirin, deh... gampang nggak jadi orang sukses itu?"

Mahmoud mengerutkan alis tebalnya yang berjajar rapi dan apik, baru menggeleng.

"Godaannya macam-macam," imbuh Adrian. Aku mengernyit merasakan perubahan nada bicaranya. Seraya menggiring bahu Mahmoud, Adrian berhenti di hadapanku. "You see... this amazing beatiful woman is Wilhelmina Santoso."

Aku sengaja berkacak pinggang untuk menakuti Mahmoud sewaktu Adrian memperkenalkanku dengan megah.

Mahmoud yang tidak berani membalas tatapanku, menoleh mencari-cari mata Adrian untuk dipelototinya. Namun, fokus mata Adrian justru pada manik mataku yang kupincingkan. Aku mengangkat bahu, tidak memahami maksudnya.

Sampai kemudian, Adrian menyeringai, "Yang barusan itu simulasi saja, Mu, aku yang mengatur."

What?

"Nah... Mahmoud... sesuai kesepakatanku dengan Mina... dia bakal ngasih kamu pekerjaan di perusahaan barunya. Makanya... penting buat kamu tahu... godaan besar apa yang harus kamu hadapi tiap hari nantinya."

Sialan. Adrian memang licin seperti ular. Untuk menyelamatkan diri dari aduan Mahmoud ke ibunya, dia mengorbankanku.

Memangnya kerjaan apa yang harus kuberikan padanya? Jadi office boy??? Gila!


Yang mau vote dan komen cantik sama ganteng-ganteng banget, deh. Yang enggak mau, jelek.

Hahaha!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top