28. Bibimbap

Hai...

Part 42-43 premium sudah tersedia di karyakarsa.com/kincirmainan ya

(Buruan harga diskon cuma 24 jam.)

Part 28 versi premium dengan panjang dua kali lipat juga tersedia di karyakarsa.

Terima kasih udah vote, komen, dan mendukung.

Kenapa ya Mahmoud mencium bibirku?

Mana ciumannya aneh lagi. Kalau ciuman bisa bicara, ciuman Mahmoud saat seharusnya dia mengecup pipiku itu seperti ingin mengatakan sesuatu. Astaga, aku nggak bisa mengusirnya dari kepalaku. Kalau dia menciumku dengan penuh gairah, mungkin aku bisa paham. Semalam itu memang... agak-agak di luar kendali. Kami bahkan melakukannya sampai dua kali. Dua kali. Ya ampun. Oh Tuhaaan, Mina! Kamu seharusnya memegang kendali. Kamu bisa bilang jangan, sekali saja sudah cukup. Jangan berlebihan kalau nggak mau terbawa perasaan, jangan biarkan Mahmoud mendapatkan semuanya sekaligus, atau apa yang kami inginkan darinya sama sekali nggak akan kudapatkan.

Aku sedang memijat pelipisku saat Gio dan Tam mengetuk pintu. Mereka berdua masuk tanpa kupersilakan lagi. Senyum puas di bibir Gio membuat rasa penasaranku terhadap laporannya siang ini berkurang beberapa persen. Sudah pasti berhasil. Hanya dengan rencana sederhana memasang foto ganteng Mahmoud di instagram resmi Healthy By Mina, semua gadis dan ibu-ibu dengan sangat mudah jatuh hati kepadanya.

"Postingan muka Mahmoud saja dapat 300k likes lebih, dua kali lipat dari yang didapat foto Bu Mina. Sepuluh kali lipat dari fotoku dan Albert, and it's still counting," buka Gio sambil cengengesan. Aku juga sedang mengawasi pergerakan engagement foto Mahmoud yang baru dipasang tadi pagi itu di layar komputerku. Angkanya fantastis.

"Terjadi lonjakan unduhan juga pada aplikasi," Tamara menambahkan. "Lonjakan tertinggi sepanjang bulan ini, ngalahin lonjakan saat Dian Rai mengenakan track suit kita beberapa bulan lalu."

"Jauuuh!" Gio menimpali dengan jumawa. "Cepat atau lambat, mereka akan menagih janji kita mengenai video-video keseharian para staf. Albert sedang mengusahakan pengembangan fiturnya. Itu soal gampang. Yang jadi concern kita sekarang ya bikin konten untuk itu. Kapan kita mau mulai bikin? Mbak Mina mesti ngasih tahu yang lain soal ini, sebab kalau yang lain nggak berpartisipasi, Mahmoud bisa curiga."

"Mahmoud masih belum tahu bahwa semua rencana ini mengarah padanya." Tamara membenarkan letak kacamata bacanya.

Aku memandanginya heran, "Memang dia nggak seharusnya tahu, kan?" tanyaku, yang lalu dengan cepat kuubah. "Kenapa kita nggak sekalian ngasih tahu aja, sih?"

"Kan dia nggak mau jadi model," kata Tamara kesal. "Mbak juga yang yakin begitu, kan?"

Aku memainkan pulpen di mejaku.

"Main alus aja lah, Mbak.... Bikin dia ngerasa bahwa memang itu kewajibannya sebagai karyawan," Gio menimpali dengan nada nggak sabaran seperti biasa. "Tentu saja dia akan dapat lebih banyak uang, tapi nggak sebanyak kalau kita secara resmi mengangkatnya sebagai brand ambassador. Lagian, dia juga nggak akan bisa semata-mata jadi ambas kalau bukan kita yang mengatur pijakan-pijakan karirnya ini, anggap aja ini mutual. Mbak Mina ragu-ragu lagi?"

"Bukan gitu," kataku nggak enak. "Aku ngerasa ini nggak fair...."

"Ini belum apa-apa, lho, Mbak. Belum tahap susahnya. Kalau yang begini-begini, kita masih bisa memaksa Mahmoud dengan dalih semua karyawan memang harus ikut mengerahkan tenaga buat branding. Nanti kalau kita udah bener-bener butuh jasanya, itu yang bakal jadi PR. Kalau kuajak ngobrol... dari nada bicaranya, dia memang nggak punya ambisi buat jadi orang terkenal kayak kebanyakan orang. Kita harus memupuknya, Mbak, bukan ujug-ujug ngasih tawaran ini itu. Nggak akan mempan orang kayak Mahmoud kalau kita hard-selling."

"Lagian...," Tamara menyela dengan hati-hati. "Dia ini kan sepupunya Adrian, model profesional. Kalau kita langsung ngasih tawaran, bisa aja Mahmoud mau setelah ngelihat kesuksesan sepupunya, tapi... apa kita bisa membayar murah jasanya?"

Gio mengangguk-angguk.

Aku jadi ikut-ikutan mengangguk-angguk.

Sebenarnya, meskipun licik, rencana mereka jauh lebih terhormat. Mereka nggak pernah tahu dan nggak boleh tahu bahwa diam-diam aku juga punya rencana sendiri yang lebih kotor. Tam memang bilang supaya aku baik-baik padanya, bukan menidurinya. Sayangnya, ciuman Mahmoud tadi pagi itu sedikit membuatku gentar. Apa dia tipe pria yang bisa dikendalikan dengan bujuk rayu dan ketertarikannya kepadaku? Apa dia selugu itu? Selain itu, kalau kupikir-pikir, benarkah aku melakukannya supaya Mahmoud mau mengikuti keinginan kami? Aku bahkan nggak mikir sampai ke sana waktu mengajaknya tidur pertama kali. Ide itu melintas saat pikiranku melenceng setelah keenakan tidur sama dia. Aku mencoret gagasan menjadikannya model untuk menaikkan kelas sosialnya supaya bisa kupacari, menjadi aku menindurinya supaya dia bisa kami jadikan alat menaikkan popularitas perusahaan kami.

"Oke, anggap aja step pertama kita ini berhasil," kata Gio. "Selanjutnya... kita bikinkan media sosial buat Mahmoud."

"Buat apa?" tanyaku.

"Buat ngasih Mahmoud icip-icip enaknya jadi orang tenar," jawab Tam yang kuyakin adalah hasil briefingannya Gio.

"Kita harus bikin ruang pamer khusus buat Sigit Handam Almahmoudi. Kita buat orang-orang makin penasaran dengan kesehariannya, lama-lama mereka akan mengikuti apapun yang dilakukannya, dan ujungnya... membeli apapun yang dijualnya. Konsep sederhana memengaruhi banyak pengikut. Kita kasih Mahmoud power itu. Nggak ada orang yang nggak suka punya power, kan? Mahmoud mungkin nggak mau jadi model, tapi dia nggak pernah bilang dia nggak mau uang. Dia butuh uang untuk mewujudkan cita-citanya. Dari situ kita mainkan perannya. Kalau dia nggak mau dibayar jadi model, kita kasih persenan dari yang bisa dia jual. Dia akan merasa sedang bekerja, bukan menjalani pekerjaan yang nggak disukainya."

"Bagaimana kalau dia nggak betah duluan sama pekerjaannya?" tanyaku sekonyong-konyong.

"Nggak betah jadi pesuruh?" Tam memastikan maksudku.

Aku mengangguk.

"Mbak Mina dong deketin dia," kata Gio enteng. "Mbak Mina kan yang jadiin dia pesuruh dan dia langsung mau. Kenapa dia langsung mau?"

Alisku sontak mengerut di tengah, kupandangi Gio dengan tatapan bingung seolah pertanyaannya nggak masuk akal. Tentu saja aku tahu kenapa dia langsung mau, terutama setelah kami bercinta, tentu saja. Ternyata dia tertarik padaku. Walaupun kesan pertama kami sangat buruk, dia tetap saja seorang anak kampung yang lugu, lalu tahu-tahu seorang perempuan menindihnya. Aku tahu kemungkinan dia akan melakukan apapun yang kusuruh itu ada, dan pada pagi berikutnya aku membuktikan itu. Mahmoud punya banyak alasan untuk menolak kalau kesediaannya bukan karena penasaran padaku. Satu, Adrian menentangnya. Dua, dia baru tiba di Jakarta. Seharusnya dia masih punya harapan tinggi mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.

Tatapanku beralih pada Tam. Cewek itu mengangkat alisnya, sependapat dengan Gio.

"Apa memangnya yang harus kulakukan? Macarin dia?" tanyaku sinis sekalian. Tamara dan Gio mengekeh, kali ini mereka yang menganggapku nggak masuk akal. "Ya, aku akan berusaha berbaik-baik padanya, tapi kalian mesti tahu... jadi pesuruh buat orang kayak Mahmoud jelas bukan pilihan terakhirnya. Aku yakin cepat atau lambat, bukan hanya kalian yang punya gagasan seperti ini setelah melihat Mahmoud eksis di media sosial. Kalian yang harus balapan sebelum kesempatan lain menghadangnya. Buat dia merasa lebih berguna, libatkan dia dalam urusan-urusan yang dia mampu. Kita belum punya teknisi buat ini itu, kan?"

Rapat kecilku baru akan berakhir ketika Mahmoud mengetuk pintu satu jam sebelum waktu makan siang. Mukanya yang bersih bercahaya, yang kuduga sehabis cuci muka, muncul dari balik pintu. Saat Tam dan Gio menoleh, aku mengalihkan tatapanku ke arah pulpen yang kuutak-atik dengan pipi merona. Dia cuci muka dulu, dong, sebelum ngetuk pintu kantorku.

"Bu Mina mau makan siang apa?" tanyanya. "Mas Gio dan Mbak Tam?"

"Kita mau makan di luar aja, Moud." Gio memberesi catatan dan ponselnya di atas meja. Tamara melakukan hal yang sama. "Oh iya, Moud... kamu punya akun medsos?"

Pertanyaan pancingan, batinku. Tamara tahu, kok semua akun medsos Mahmoud. Paling-paling mereka akan memikirkan cara untuk memanipulasi Mahmoud agar menghapusnya, supaya kami bisa membuatkannya akun baru yang bisa disesuaikan dengan kepentingan perusahaan.

Mahmoud melangkah masuk, alis tebalnya menukik bingung. "Kenapa, Mas?"

"Buat kita data aja, Moud," jawab Gio santai seraya beranjak dari kursi. "Semua harus punya. Mungkin karena kamu nggak melewati tahap wawancara kayak staf lain, kamu nggak sempat ditanyai soal itu. Sebagai karyawan, kita juga punya kewajiban menjaga image brand lewat media sosial, termasuk memasarkan produk kepada orang-orang terdekat."

Mahmoud mengangguk, "Punya, Mas."

"Apa nama akunnya?" Tamara membuka layar ponselnya.

"Sudah lupa password-nya, tapi, Mbak," Mahmoud menyengir. "Udah lama sekali saya bikinnya dulu dan nggak pernah saya pakai lebih dari tiga, atau empat kali. Saya masukkan di CV karena tahu akan ditanyakan, bagaimana, ya?"

"Ya sudah, Moud, nanti kita bikinkan yang baru," kata Gio.

Mahmoud melirikku, seperti biasa kalau ada hal yang menurutnya aneh. Aku hanya bisa mengangkat alis dan menggerakkan bahu, pura-pura nggak tahu, tanpa menyadari bahwa gestur-ku sangat mencurigakan. Aku seharusnya ada di pihak Gio dan Tam, bukannya setuju dengan Mahmoud yang menganggap kewajiban memiliki akun medsos itu tak wajar. Tam sempat melirikku saat aku melipat bibir menyenyumi Mahmoud. Buru-buru kuhapus senyum itu, tapi Tam sudah telanjur melihatnya.

Mahmoud melanjutkan langkahnya mendekatiku sambil mengeluarkan notes kecil dan pulpen dari sakunya. Gio dan Tam sudah menutup pintu.

"Ibu mau pesan makan apa?" tanyanya lembut.

Aku menarik napas panjang lalu mencubit daguku, pura-pura berpikir. "Apa ya, yang enak?"

"Warung makan ala Korea di seberang ada menu nasi campur Korea dengan nasi merah dan potongan dada ayam. Bergizi, kaya serat, dan cukup kandungan kalori," katanya, mengutip brosur yang juga sempat kubaca di pantry.

"Boleh."

"Minumnya?"

"Air mineral."

"Ada yang lain?"

"Kamu cuci muka sebelum ke sini."

"Saya rapiin rambut di rahang saya juga sebelum ke sini. Sudah tidak ada yang lain?"

"Adrian menelepon tadi pagi. Nanyain kemarin kamu ngambil amplopnya di kantor, atau di apartemenku."

"Di kantor."

"Kalau begitu cocok. Dia juga nanya apa aku memperlakukanmu dengan baik."

"Hanya itu?"

Aku mengernyit. "Jangan lupa pakai wijen...?"

"Makanan Korea memang sepertinya identik dengan wijen. Hanya itu yang ditanyakan Adrian?"

"Apa seharusnya ada lagi?"

"Dia nggak bilang bagaimana dia yakin saya ada di apartemennya saat ia pulang larut malam, padahal saya nggak ada di sana?"

Aku menatap Mahmoud yang menaikkan bola mata dari catatan kecilnya. Kepalaku meneleng ke kanan, mengira-ngira apa maksud pertanyaannya.

Mahmoud menutup buku kecilnya setelah sebelumnya menyelipkan pulpen di dalam sana. "Adrian sibuk bercinta dengan teman kencannya dalam keadaan mabuk, makanya dia nggak tahu kasur lipat saya kosong. Syukurlah... dia sama sekali tidak curiga. Saya sempat khawatir harus jawab apa kalau dia bertanya saya menginap di mana, saya nggak kenal seorangpun di Jakarta," katanya panjang lebar diakhiri dengan tawa kecil. "Nah, ibu sudah tidak ada pesanan lain lagi? Puding untuk cuci mulut?"

Aku berdeham, agak tercekat, tapi sempat menggeleng sebelum Mahmoud meninggalkan ruanganku. Jadi Adrian punya pacar atau teman tidur baru dan sama sekali nggak berniat menyembunyikannya dariku seperti aku menyembunyikan Mahmoud darinya?

Pemberitahuan Special part 41 kemarin udah kuhapus, yaaah...

Buat kamu yang nggak berniat ngikutin TMM Premium seluruh bab di karyakarsa.com/kincirmainan, kamu bisa mendukung part-part spesial aja. Ini part special mature scene 21+  yang  adegannya sama sekali nggak ada di versi wattpad.

Part special-nya sekarang sbb:

Part 17, part 25, part 35, part 41

Kalau ada yang baru lagi nanti dikasih tahu hihi...

Spoiler part 41

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top