26. Buttered Toast
Part 36-38 TMM versi premium sudah bisa dibaca di Karyakarsa, ya...
Buruan akses karena sampai 8 Dec 2021, kamu bisa dukung hanya dengan 8K.
Tanggal 9 Dec 2021, harga akan berubah jadi 10K seperti part lain yang berisi 3 part, ya...
Part 35 versi ehem-ehem-nya udah dibaca, kan, ya di KaryaKarsa? Ini part special kayak part 17 dan 25. Jadi isinya mature content, dan Karena ini jauh lebih mature daripada part 17 dan 25, please under 18 nggak usah baca ya 🤣
Yang baca di Wattpad, jangan lupa vote komennya, ya.... Part 26 versi lebih lengkap dengan panjang dua kali lipat, bisa diakses di karyakarsa.
Muach!
Aku membasuh mukaku berkali-kali sampai basah kuyub. Di mana penyesalanmu, Mu? Aku mencari-cari, tapi tidak menemukannya di wajahku dalam pantulan cermin itu. Yang ada di sana hanya perasaan bahagia, perasaan puas, meski kamu sendiri tahu itu kebahagiaan semu. Dengan terang-terangan dia menjadikanmu budak nafsunya, seharusnya kamu bisa menolak seperti Adrian. Dia memang cantik, memesona, menggairahkan, dan mestinya kamu tahu iblis selalu menggoda dalam wujud seperti itu. Tapi dia bukan iblis, dia perempuan kesepian yang terluka. Dia perempuan lemah, tapi kamu lebih lemah lagi, atau mungkin... kamu malah sudah jatuh hati padanya?
Sigit Handam Almahmoudi, kamu sudah terjebak dalam lumpur isap. Bukan. Sigit Handam Almahmoudi, kamu sudah melepaskan pegangan dan membiarkan lumpur isap menarikmu perlahan.
Perlahan....
Perlahan apanya?! Aku memukul meja marmer dalam kamar mandi apartemen Bu Mina dengan putus asa. Dalam kurang dari dua puluh empat jam, kami sudah berbuat sebanyak dua kali. Tiga kali. Setelah diam-diam memindahkan tubuhnya yang tergolek tak sadarkan diri di sofa ke tempat tidur, aku tergoda untuk mengecup bibirnya sekali lagi. Dia terbangun, tersenyum, lalu tiba-tiba saja aku sudah menindihnya, melakukan itu padanya sekali lagi. Sial. Apa itu termasuk konsensual? Tapi kelihatannya dia sangat menikmatinya, meski tubuhnya lemah lunglai dan hanya cenderung menerima.
Aku sudah menduga dia akan mengajukan persyaratan-persyaratan itu. Hanya tiga, tapi aku tahu betapa berat dua di antaranya, rahasia dan tidak ada ikatan. Wanita kaya, cantik, dan seksi mana yang mau punya hubungan dengan pria yang dijadikannya pesuruh? Kalaupun suatu hari aku berhenti bekerja padanya, mungkin predikat pesuruh akan terus melekat padaku. Bawahan Abhi di kantor sebelum beliau resign masih sering datang ke rumah dan menaruh hormat demikian besar padanya meski sekarang jabatannya di kantor itu sudah jauh lebih tinggi daripada saat Abhi meninggalkannya. Seperti itulah aku nantinya bagi Wilhelmina Putri Santoso.
Kenapa harus aku? Karena aku good looking menurutnya? Atau karena aku mau-mau saja diajak bercinta?
Kenapa aku mau-mau saja diajak bercinta? Ya, karena dia memang sangat menggoda. Terlebih, dia mengawalinya dengan sesuatu yang membuat sekujur tubuhku penasaran pada sentuhannya. Setiap malam setelah itu, aku memang berharap sesuatu terjadi lagi. Untuk itu juga aku menerima tawarannya, bukan? Selain karena memang aku membutuhkan sedikit pegangan daripada menganggur menggantungkan hidup pada tabungan tak seberapa dan Adrian. Memangnya aku punya rencana jelas di kota besar? Tidak ada. Aku hanya ingin lari dulu, selanjutnya akan kupikirkan nanti.
Bu Mina masih terlelap seperti pagi yang lalu saat aku bangun. Tubuhnya tengkurap, punggungnya terbuka. Aku tak berani menaikkan selimut yang hanya menutup sebatas pinggul sintalnya, bukan karena khawatir dia terjaga, aku khawatir tak kuasa melawan dorongan gairah yang hanya akan membuatku semakin malu pada diriku sendiri. Kucari-cari kausku, sepertinya tertinggal di luar.
Sebelum menemukannya, aku sudah bertekad pagi ini nggak akan lari lagi. Pesan terakhir Adrian mengatakan dia mungkin tidak pulang sampai siang hari, kemungkinan besar kali ini aku aman lagi. Aku akan menunggu di luar sampai Bu Mina bangun, meminta amplop Adrian yang tertukar, pulang, meninggalkannya di meja Adri, lalu berangkat ke kantor. Sedikit terlambat mestinya tak masalah, bukan? Bos-ku yang memintaku tinggal. "Nggak usah pulang, Moud...," katanya mengantuk setelah kami berbincang-bincang hangat usai bercinta putaran pertama. "Aku masih menahan amplopmu. Bikinin aku kopi dan sarapan pagi."
Enak sekali, ya? Apa dia bisa meminta orang asing, Adrian, atau bahkan kekasihnya menyiapkan sarapan pagi sementara dia masih tidur? "Ini keuntungan meniduri seorang pesuruh yang goodlooking, kan?" gumamku sambil berjalan menuju dapur dan mulai mencari-cari di mana ia menaruh penyaring dan kopinya.
Sepasang roti panggang yang kutinggalkan di toaster melompat seragam mengikuti pengatur waktunya yang berhenti dan berdenting. Aku nyaris melompat gara-gara bunyi nyaring itu. Mulutku mengumpat. Sejak tadi aku melakukan semua kegiatan dalam keheningan, tak ingin tidur seseorang terusik sebelum semuanya siap terhidang. Aku hanya menemukan roti gandum, beberapa butir telur, butter dan buah-buahan di kulkas. Kurasa itu cukup.
"Aku telur rebus aja, Moud...."
Aku mengumpat lagi, kali ini dalam hati.
Bu Mina sudah berdiri di seberang meja persiapan dapurnya yang cukup mewah, dia tersenyum padaku saat aku menoleh. Jari-jari lentik yang semalam begitu erat menggenggam bagian tubuhku yang tak pantas kusebutkan kini menari gemulai di pundaknya sendiri. Ia kemudian melenggok manis, menunjukkan padaku dia sedang mengenakan kaus yang sejak tadi kucari dan tak kutemukan. Lalu tertawa kecil.
"Boyfriend's shirt," katanya tanpa perasaan, membuatku tersenyum kecut. Apa lagi-lagi dia mengira aku nggak paham apa arti 'boyfriend's shirt'? Perempuan memang kejam. Bisa-bisanya dia bilang begitu setelah semalam mengajukan syarat 'tanpa ikatan' sambil duduk di pangkuanku. Sekarang dia melintas di balik punggungku menuju kulkas, padahal dia bisa mencapainya tanpa memutar.
Aku mencoba bersikap tenang meskipun tak nyaman. Aku bertelanjang dada, sementara kausku dikenakannya. Mataku melirik, dia benar-benar hanya mengenakan kausku. Darahku berdesir, tapi untungnya tanganku tetap bisa bergerak cekatan mengisi sepanci kecil air untuk memasak telur. Telur rebus, tentu saja! "Saya mengoles roti panggangnya dengan butter," kataku, merasa bersalah.
"It's okay," katanya.
"Banyak-banyak supaya gurih," imbuhku.
Bu Mina meringis sebelum menyendok sebuah jar berisi puding yang kupikir sudah basi. "Biasanya aku cuma sarapan chia pudding"-jadi itu namanya-"Di bawah ada coffee shop, aku makan roti dengan mentega juga, kok. Jangan khawatir. Jam berapa kamu harus sudah ada di apartemen Adrian?"
"Segera," jawabku sambil menggeser secangkir kopi.
"Dia nggak pulang semalam?" tanyanya lagi.
"Seharusnya tidak." Aku menghirup uap kopi dan menyesapnya. Lalu hening, dan aku terselamatkan oleh bunyi air mendidih di panci kecilku. Bu Mina duduk mengecek ponselnya sementara aku menunggu telurnya matang.
"Lihat, Moud," katanya, menyodorkan layar ponselnya padaku saat aku berbalik. Fotoku terpampang di sana. "Bagus sekali, ya, hasilnya?"
Aku nggak menjawab. Gambar itu tidak terlihat sepertiku. Mukaku terlalu halus, tidak ada pori-pori dan garis senyum di sekitar bibirku. Aku kelihatan seperti bintang sinetron yang memfilter mukanya untuk kepentingan promosi. Bu Mina menarik kembali ponselnya, mengutak-atiknya lagi sambil memegang kuping cangkir kopi tanpa melihatnya.
"Masih panas," kataku spontan, khawatir air kopi yang panas itu melukai bibirnya. Bu Mina mematung sewaktu aku mengambil cangkir itu dari tangannya dan meniup uapnya. Aku baru sadar, teman tidur tanpa ikatan, atau seorang pesuruh mungkin tidak perlu melakukan itu. "Maaf," kataku, meletakkan kembali cangkir itu ke meja.
Bu Mina tidak menanggapi permintaan maafku, artinya, ya, aku tidak seharusnya melakukan itu. Dia bisa meniup sendiri. Dia memang cantik dan menggemaskan mengenakan kausku, tapi dia bukan pacarku, dan dia tidak bodoh mau minum kopi kalau memang masih panas. Dasar cowok norak, mungkin itu pikirnya.
Untuk mengusir malu, aku bertanya, "Mas Gio kemarin sempat bilang, saya mau diambil videonya untuk merekam kegiatan selama di kantor?"
"He em," Bu Mina memandangku selibat lalu mengangguk, menekuni ponselnya lagi. "Jangan khawatir, hanya video candid. Semua juga nanti akan diambil gambarnya saat sedang beraktivitas. Bukan cuma kamu."
Aku mengangguk-angguk. Selama semua orang harus melakukannya, berarti aku tidak boleh menolak. "Saya agak... gugup di depan kamera," kataku.
"Semua orang juga begitu," katanya enteng. "Telurnya, Moud," dia mengingatkanku. "Jangan lebih dari empat menit di dalam air mendidih."
Aku meniriskan telur itu dan menyimpannya di sebuah cawan untuk memecahkannya. "Kalau begitu... sebaiknya saya segera pulang."
Bu Mina akhirnya mengangkat wajahnya dari layar ponsel, "Nggak sarapan dulu?"
Aku menggigit roti panggang yang kusiapkan untukku, Bu Mina tersenyum manis. Teramat manis sampai aku salah tingkah sendiri.
"Nggak mandi?" tanyanya lagi.
"Di tempat Adri saja."
"Tunggu, ya?" katanya sebelum turun dari kursi tinggi. Bu Mina meletakkan ponselnya di meja dan bersiap pergi. Namun, belum lagi melangkah, dia menepuk jidatnya sendiri. "Hampir lupa," katanya. "Masa kamu mau pulang telanjang dada," kikiknya geli sambil menanggalkan kausku begitu saja dan menyerahkannya kepadaku, meninggalkanku yang terpelongo menyaksikan tubuhnya hanya dibalut pakaian dalam melangkah santai masuk ke kamar. Nyawaku nyaris melayang. Dia sepertinya sengaja melakukannya!
Beberapa menit kemudian, setelah aku selesai menaikkan retsleting jaket berkendaraku dan tengah duduk di sofa memakai sepatu, kudengar pintu kamarnya dibuka. Aku tak berani mengangkat kepalaku, takutnya dia masih setengah telanjang seperti tadi. Aku baru menegakkan tubuh setelah kulihat tali piama menjuntai di sampingku. Bu Mina mengasongkan sebuah amplop putih milik Adrian, aku menerimanya.
"Hati-hati di jalan, ya, Moud," pesannya sambil membukakan pintu untukku. Aku diam saja menerima kecupan bibirnya di pipiku. "Thanks for last night," bisiknya.
Aku lantas tertegun gara-gara sebaris kalimat itu.
"Kenapa?" tanyanya.
"Nggak apa-apa," jawabku sambil menggeleng. "Hanya saja... saya seperti habis melakukan sesuatu yang hanya ibu nikmati, seperti menjual jasa."
Alisnya yang tak setebal biasa kalau dia ada di kantor melengkung, "Kamu juga menikmatinya, kan?"
Ludahku tertelan, kepalaku mengangguk.
"Kalau begitu," katanya seraya mengusap dadaku. "Kamu boleh bilang thanks for last night too, instead of my pleasure, atau you're welcome. Kamu juga boleh mencium pipiku, supaya impas."
"Thanks for last night too," kataku patuh, tapi alih-alih mengecup pipinya, aku menekan tengkuk dan mencium bibirnya.
Hanya supaya dia sadar aku ini manusia, bukan robot, atau boneka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top