20. Forbidden Black Rice

Langsung aja, yuk...

800 votes, 500 komen lagi, ya?
Part lalu dikit lagi. Cek yuk, kamu udah votes apa belum?

Healthy Fun Facts

Beras hitam disebut sebagai Forbidden Black Rice di Tiongkok Kuno karena hanya mereka yang ada di kalangan kelas atas yang bisa memakannya.

Emang kampungan banget kamu, Mahmoud!

Suara macam apa yang kuperdengarkan ke semua orang tadi?

Mata Bu Mina sampai hampir melompat jatuh ke lantai. Dia pasti mengira aku bodoh dan berpikir aku sengaja melakukannya supaya semua orang tahu bahwa sudah terjadi sesuatu di antara kami semalam.

Aku hanya merasa bersalah karena langsung pergi tanpa pamit dan berusaha bilang bahwa aku tidak marah.

(Lagian kenapa jadi kamu yang marah?)

Harusnya Bu Mina yang marah.

Begitu keluar dari ruang berkubikel, aku mempercepat langkah ke pantry. Mati-matian aku berusaha bersikap tenang dan santai seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Di balik pintu pantry, kuketok-ketok jidatku dengan tinjuku sendiri. Biar otakku pinteran dikit. Kalau mau nanya dengan suara semesra itu, bisikin ke kupingnya sebelum dia bangun tadi pagi, bukannya malah kabur seperti tikus ketakutan sehabis memakan keju pancingan dalam jebakan.

Bu Mina jelas nggak mau semua orang tahu kami habis bercinta, aku nggak perlu jadi jenius buat memahami kemauannya. Nah, yang barusan itu aku malah kayak pengumuman ke semua orang bahwa Hey! Aku habis menggenjot perempuan seksi ini semalam, lho! Iya, ini! Orang yang ngegaji kalian tiap bulan!

Gobloook! Ketokan di jidatku makin keras.

Ngeliat ekspresi kagetnya barusan, udah bisa dipastiin itu bakal jadi malam pertama dan terakhir aku menginap di apartemennya.

Lagipula, apa yang dipikirkannya saat bangun pagi dan tak menemukanku di sisinya? Apa dia justru senang? Atau malah jengkel? Bukannya sebagai bawahan, aku harus sopan dan berpamitan padanya sebelum pulang? Tapi dia sendiri yang bilang, aturan kencan itu berlaku sampai besok pagi. Aku pergi dari sana saat matahari sudah cukup tinggi, itu berarti aturan kencannya sudah berakhir, kan?

(Justru karena itu sudah pagi, Mahmoud! Kamu kembali jadi bawahannya, bukan teman kencan satu malam yang sah-sah saja menyelinap pergi dari kamar partner bercintanya dan tidak perlu khawatir dianggap teman kencan kurang ajar. Kamu harusnya pamitan!)

Ludahku yang kecut gara-gara kopi pagi yang kusesap sebelum jalan ke kantor tadi kelupaan kukasih gula, jadi makin kecut. Sepagian otakku melayang ke mana-mana mengingat-ingat kejadian semalam. Aku memikirkan hal-hal yang akan kuperbaiki kalau kesempatan itu datang lagi. Kaus singlet yang kusetrika sampai bolong gara-gara aku keasyikan melamun.

Semoga Adrian nggak menyadari bekas kehitaman di meja tengahnya. Kobongnya sampe nembus ke permukaan meja pula.

Nah, sekarang, teh chamomile Mbak Tam yang udah kuseduh malah kumasukin kopi!

"Brengsek!" makiku kesal.

"Siapa yang brengsek, Moud?"

Aku melonjot dari lamunanku dan berbalik menutupi teh chamomile campur kopi yang harusnya buat Mbak Tam.

Detik itu juga, saat melihat wajah ayu Bu Mina mengintip dari balik pintu pantry, aku mengumpat lagi dalam hati. Aku baru ingat cewek ceriwis yang sebetulnya sangat baik itu meminta lemon tea.

Riasan wajah Bu Mina sudah kembali rapi, terpulas tipis sehingga parasnya tetap terlihat cantik alami. Semalam aku membuat gincunya meleber ke mana-mana, tapi itu justru membuatnya tampak lebih seksi. Lain kali kalau sampai kami berbuat lagi, aku ingin lampu tetap menyala. Aku ingin melihat bagaimana ekspresi wajah itu saat bagian tubuhku ada di dalam dirinya-

"Mahmoud!"

Aku kembali tersentak dan menggeleng kasar. Astaganaga, kotornya pikiranmu. Mu! Bagian tubuh mana yang kamu pikirkan barusan?!

"Ya-ya, Bu?"

Bu Mina tersenyum, "Pintar," katanya. "Takutnya kamu lupa bahwa aturan kencannya sudah berakhir sejak kamu meninggalkan apartemenku diam-diam. You can't call me by my name again. Itu cuman boleh dipakai kalau kita lagi berduaan, di momen-momen yang sangat terbatas."

Aku terperangah. Frontal sekali, tapi aku suka.

"Aku becanda, Mu," cengirnya sambil memasang jari telunjuk di depan bibir.

Dia tetap berdiri di sana. Langkahnya tak pernah melampaui ambang pintu. Mata dan kepalanya terus melirik dan menoleh ke belakang nyaris setiap beberapa detik sekali. Tangannya masih tetap memegangi tepi pintu geser. "Aku benar-benar minta maaf soal semalam, ya? Maaf, aku khawatir kamu merasa terpaksa. Maybe next time kita bisa membicarakannya lagi? Soal kesalahanku sebelumnya juga-"

Aku hanya bisa menggeleng, tak sanggup berkata-kata saking penuhnya dadaku sama bunga-bunga yang tahu-tahu tumbuh bermekaran begitu ia mulai mengungkit-ungkit tentang semalam.

Maybe next time....

Next time itu saat dia memutuskan kami akan berbuat lagi, atau hanya untuk membicarakannya?

Bu Mina mengernyit, "Nggak mau?"

Pasti gara-gara gelengan kepalaku! "Mau, kok," kataku tenang tapi dengan intonasi yang tegas. Aku berdeham, "Maksud saya..."-aku menggeleng-"Itu untuk permintaan maaf ibu. Tak ada yang perlu minta maaf mengenai semalam."

Untuk pertama kalinya sejak ia berdiri menempel di balik pintu geser seperti cicak, matanya menatap pada inti mataku selama lebih dari tiga detik.

"Okay," katanya dengan pipi bersemu. Bibir bawahnya yang tergigit sebelum kepalanya miring ke kanan saat bilang 'okay' terlepas dan kini jadi makin basah. "Kalau gitu aku kerja dulu, oh iya... Moud... kali lain... maksudku... ah... lupakan saja...."

"K-kali lain apa, Bu?" sambarku terbata.

Kali lain apa? Apa akan ada kali lain?

Bu Mina melipat bibirnya, mempertimbangkan apa yang akan dijelaskannya, "Mmm...," gumamnya. "Enggak, sih, maksudku kali lain kalau kamu mau pulang duluan, bilang-bilang, ya? Tadi pagi kupikir kamu langsung kabur dan nggak mau kembali ke kantor. Kupikir kamu marah."

Tarikan napasku tertahan di paru-paru.

"Ya udah, deh... mmm... jangan lupa kopiku, ya, Mu!"

"Se-segera, Bu," jawabku lemas, lalu dia pergi.

"Oh iya!"

Dari kejauhan, Bu Mina memekik.

Sosoknya kembali terlihat setelah ketuk-ketuk sepatunya terdengar menjauh. Untung aku belum melepas napas yang sedari tadi kutahan, rencananya aku mau mengembuskannya kuat-kuat begitu yakin dia sudah selesai denganku. Dadaku sedang membusung-membusungnya sewaktu pintu bergeser lagi, "Sorry lupa. Jangan telat pemotretan satu jam lagi, ya? Kamu ke studio Gio, nanti ada yang akan ngurus grooming-mu. Okay?"

Aku hanya mengangguk karena napasku sudah terlalu lama tertahan. Oksigen yang terhambat naik ke kepala membuatku sedikit lambat berpikir. Berada di dekat Bu Mina benar-benar menguras energi. Kalau sebelumnya paling-paling hanya canggung, sekarang otakku harus multitasking terus antara mendengarkan suaranya secara langsung, dengan suara-suaranya semalam yang bersusulan di kepalaku. "Ah Mahmoud, mmmh... ya, kamu boleh pegang di situ juga. It's okay, Mahmoud. Relaks.... Moud..., kamu bisa lebih cepat sedikit?"

Sialan!

Teh kedua untuk Mbak Tamara sedang dalam proses seduh ketika kudengar langkah-langkah cepat Mbak Riana-asisten Bu Mina sekaligus tim operation-menuruni anak-anak tangga dengan terburu-buru. Sepertinya sedang ada tamu.

Bu Cynthia mengejutkanku di pantry beberapa menit kemudian, menyuruhku menyediakan dua cangkir teh dan kue-kue. Kue-kue apa, kutanya. Katanya aku harus ke dapur percobaan Bu Stef karena di sana ada biskuit gandum kacang yang memang lagi diuji-coba.

Dengan sigap aku mengedarkan kopi dan teh para karyawan yang sebagian besar tak lagi berada di kubikelnya. Pekerjaanku selesai lebih cepat, kemudian aku melesat ke dapur yang dimaksud Bu Cynthia. Letaknya melewati pintu belakang, Bu Stefani yang dari penampilannya terlihat lebih senior dari yang lain sedang mengenakan celemek sambil mengaduk adonan di ruangan setengah terbuka. Seisi dapur itu terlihat dari tempatku menghampirinya. Dia menyuruhku mengambil toples biskuit tanpa berhenti mengaduk.

"Eh, Moud!" panggilnya sebelum aku undur diri. "Nanti kalau ibu dicariin, bilang aja nggak mau foto, ya? Suruh Mina pasang fotoku sebelum melahirkan saja. Kalau mau ngambil fotoku, mereka harus nunggu sampai berat badanku turun lima belas kilogram. Kira-kira tahun depan!"

Aku tertawa kecil sambil kembali ke pantry dan jadi ingat tentnag pemotretan dan grooming yang dibilang Bu Mina tadi. Kalau nggak salah tangkap, mungkin ini yang Mas Gio maksud waktu memanggilku di ruang karyawan usai menyuruhku mengatur alur kabelnya tadi. Kenapa, sih, sampai pesuruh diikutkan foto begituan? Siapa coba yang peduli sama office boy? Lagian di-grooming? Memangnya aku anjing?

"Masuk!" suara Mas Albert terdengar dari dalam saat aku menampakkan diri di balik dinding kaca ruang pertemuan.

"Selamat pagi," sapaku kepada dua orang tamu yang duduk di meja persegi besar bersama yang lain. Kuletakkan masing-masing cangkir teh di hadapan keduanya. Bukannya menjawab sapaku, mereka berdua malah memandangiku tanpa berkedip. Aku sampai risih. "Silakan."

"Tunggu, Moud," tahan Mas Gio sewaktu aku berniat keluar lagi.

"Ini siapa?" tanya salah satu dari tamu itu. Seorang laki-laki ternyata, tapi jari-jarinya sangat lentik, rambutnya panjang sebahu, dan penampilannya cukup feminin untuk kuanggap perempuan sebelum kuperhatikan baik-baik.

"Ini Si Mahmoud," jawab Mas Albert.

Jemari lentik pria kemayu itu kini meraba-raba bibirnya sendiri, "I-ini orangnya yang mau di-grooming?"

"Iya, gimana menurut lu, Bang?" tanya Mas Gio sambil mengedip ke Bu Mina yang duduk di seberangnya.

"You guys sinting, ya?" celetuk pria yang sama. Seorang lagi yang datang bersamanya, juga tidak terlihat seperti lelaki normal hanya melongo saja mengawasi gerak-gerikku. "Kenapa mas-mas cucok begini muterin cangkir di kantor beginian? Ini boleh gue culik aja, nggak? Gue lagi butuh dummy buat prediksi trend make up awal tahun!"

Sosok Bu Mina yang secara otomatis selalu kutuju menarik napas panjang sambil memberi isyarat dagu supaya aku segera keluar.

"Mahmoud ini aset HBM, Bang Jamie! Jangan keluar dulu, Moud!" Mas Gio mencegah lagi. "Ayo duduk dulu. Di situ."

Lagi-lagi, secara spontan aku melirik pada Bu Mina yang langsung memprotes usulan Mas Gio, "Ngapain sih Mahmoud mesti tinggal di sini? Kita belum selesai membahas ini sama Mahmoud, lho, Gi-"

"Kita kan udah sepakat pemotretan ini harus segera dilaksanakan, Mbak. Ngomong sama Mahmoud perkara gampang!" kata Mas Gio sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Bu Mina. "Ini cuman pemotretan staf, semua orang harus ikut serta."

"Anu...," aku menyela. "Bu Stef tadi pesan, beliau nggak mau ikut difoto. Katanya Bu Mina disuruh memasang foto beliau sebelum melahirkan. Kalau boleh seperti itu, saya masih punya pas foto baru. Baru saya ambil sebelum hijrah ke Jakarta-"

"Nggak boleh!" seru Mbak Tam, Mas Gio, dan Mas Albert serempak.

Mas Gio lalu kembali berbicara hanya kepada Bu Mina, "Mbak Mina nggak usah mempersulit, ya. Mbak mau kita sukses, nggak? Kita semua ingin sukses, ya, kan? Kamu juga, kan, Moud? Kamu mau Healthy Living By Mina-nya Bu Mina ini sukses, kan?"

"A-saya... ya...," tatapanku berlabuh pada tatapan Bu Mina yang justru tampak gusar. Apa aku ingin dia sukses? Tentu saja aku ingin dia sukses. Aku akan melakukan apa saja kalau itu memang diperlukan.

Lalu aku berhenti memandangnya dan mengangguk tanpa berpikir dua kali pada Mas Gio, "Tentu saja saya mau Bu Mina sukses. Maksud saya... saya mau Healthy Living By Mina sukses."

"Kalau begitu, kamu mau difoto, kan?" Mbak Tam ikut mencecar.

"Ya... tentu... saya... em... yah, saya mau," jawabku pasrah.

Masalahnya aku nggak ngerti, apa kapasitasku dalam menyukseskan perusahaan ini? Meningkatkan kecepatan mencuci piring dari hitungan menit ke detik? Menyeduh teh chamomile tanpa memasukkan kopi di dalam cangkir yang sama? Atau apa? Membantu bosku melepaskan hasrat setiap kali dia pergi ke pertemuan dan pulang dalam keadaan mabuk?

Memangnya, pesuruh kayak aku bisa apa?

Rekomenin cerita ini dong ke temen-temen kamu ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top