16. Dark Chocolate

Pertama, aku mau minta maaf dulu karena harus memaksa kalian bersabar seminggu penuh selama aku liburan. Aku udah bawa laptop, ternyata nggak bisa ngerjain apa-apa. Laptop cuman bisa buat transfer foto-foto suamiku yang lagi belajar motret dan jumlahnya ada ribuan hahaha
I am so sorry...
Tapi kalian udah siap, kan??? Soalnya habis ini bakal nganu.
Votes-nya seret, yah? Gpp. Tapi kalau mau baca gratis mah harusnya mau vote, yah. Part depan ada dua pilihan.  Baca gratis tapi pendek, atau baca berbayar tapi tiga kali lebih panjang dan detail.
Selama gratis, minta votesnya 750 dong. Komen tetep 500.

Aku benar-benar mengawali ciuman dengannya.

Bos macam apa aku ini?

Bicara soal pemaksaan yang dilakukan Gio saat dia memerintah Mahmoud menemaniku ke pesta seolah aku lebih baik darinya, sekarang aku malah mencumbunya. Aku bahkan nggak bisa memastikan cumbuan itu terjadi dengan konsen Mahmoud atau tidak. Pura-pura mabuk berat dan langsung kurevisi saat ia merasa tersinggung pula, benar-benar nggak punya harga diri. Aku memang minum beberapa gelas cocktail, tapi alih-alih mabuk, aku sebenarnya sangat mengantuk. Dan yah... bergairah sedikit.

Anehnya saat seorang pria menghampiri, aku melayaninya mengobrol dengan kepala terantuk-antuk hanya agar dia segera bosan dan pergi. Aku nggak ingin dengan siapapun selain seseorang yang menguasai benakku dalam pengaruh alkohol. Bukan Adrian seperti biasa. Kali ini sepupunya jauh lebih menggoda.

Pucuk di cinta, Sigit Handam Almahmoudi tiba.

Dia melangkah pelan dengan gagahnya, tatapan mata tajamnya terlihat amat sensual menghunjam jantungku. Mahmoud datang seperti pahlawan yang diutus Tuhan untuk menyelamatkanku. Tanpa berkata apa-apa, dia mengusir pria yang jelas-jelas berusaha memanfaatkan kondisiku di sana. Pria itu menyerah tanpa perlawanan, persis seperti diriku sendiri. Langsung menyerahkan diri pada pesonanya.

Sepanjang perjalanan menuju apartemenku, kami berdua diam seribu bahasa. Aku menyandarkan sikuku pada tepian pintu sambil memijit pelipis. Peningku kali ini bukan karena mabuk. Kenyataannya, selama lebih dari lima jam duduk di kursi yang sama, aku membalas chat-chat Tamara mengenai langkah yang harus kami ambil selanjutnya. Seseorang yang bukan suruhannya justru mengirim video candid-ku bertengkar dengan Mahmoud ke sebuah akun gosip besar. Video candid kami berjalan mesra bergandengan tangan sama sekali nggak dimuat.

Baik atau buruk, publikasi tetap lah publikasi yang ujungnya bakal menguntungkan. Justru, menurut Albert, ini akan jadi lebih seru. Orang-orang lebih menyukai drama, apalagi mereka sudah tertarik duluan pada paras Mahmoud yang kusiarkan di Instagram Story-ku. Beberapa saat kemudian, Gio dan Tamara sudah mengatur sedemikian rupa agar video candid di akun gosip itu berpindah ke FYP TikTok. Aku nggak menyangka, sebuah perusahaan start up yang mengusung tema kesehatan dan kubangun dengan jerih payahku harus menyerah pada publikasi kurang sehat seperti ini. Sungguh ironis. Lalu apa bedanya sama publikasi skandal Dian Rai? Oh... ya... ada. Aku dan Mahmoud tidak berselingkuh dari siapapun, publik membenci perselingkuhan.

Jaguar Papi terparkir mulus di parkiran basement gedung apartemen. Mahmoud sengaja memilih tempat terdekat dengan lift supaya aku tidak harus berjalan terlalu jauh. Dari detail kecil itu saja, aku langsung bisa lebih banyak menilainya. Dia mungkin orang kampung, tapi bukan orang bodoh.

Mesin mobil belum dimatikan, dari pantulan kaca depan, kulihat Mahmoud melepaskan sabuk pengaman. Aku sendiri masih terpegun menatap bayangan diriku. Aku berantakan, tapi tetap mempesona. Masa Mahmoud nggak tertarik pada keseksian ini?

Sesekali dengan bola mata aku meliriknya yang juga terdiam menunduk. Dia pasti bingung mesti ngomong apa. Dan aku... aku mungkin nggak mabuk, dan hal ini besar kemungkinan tak akan terjadi kalau aku tidak meminum beberapa gelas cocktail yang bikin aliran darah di sekujur tubuhku terasa lebih hangat, tapi aku belum ingin malamku dengannya berakhir.

Aku ingin bicara.

Bahkan lebih dari bicara.

"Bu Mina...."

"Moud...."

Kami berbicara bebarengan dan saling menatap pada detik yang sama. Mahmoud menyambung duluan, "Sudah sampai. Ibu perlu saya antar sampai depan pintu?"

"Dengar, Moud... soal yang tadi...."

"Saya mengerti," potongnya. "Ibu pasti ingin saya menganggapnya tidak terjadi, kan? Saya juga janji tidak akan membeberkannya pada siapapun."

Aku membuang napas letih penuh sesal merasakan insekuritas dan perasaan rendah dirinya. Bibirnya tadi membalas kulumanku dan dia tidak ada di bawah pengaruh apapun. Aku mungkin horny gara-gara kandungan vodka dalam Bloody Mary, tapi Mahmoud tidak. Entah dia memang sama inginnya, atau hanya terbawa suasana. Aku ingin membicarakan itu, Mahmoud! Bukan ingin kamu menganggapnya tidak pernah terjadi. Mataku terus berlabuh padanya, mengawasinya bergerak resah tak nyaman.

"Aku nggak mau kamu menganggapnya tidak terjadi, itu memang terjadi," tegasku. "Tapi aku sangat menghargai kalau kita menyimpannya berdua saja."

Mahmoud mengulas senyum tipis.

"Antar aku, ya? Takutnya aku nggak kuat jalan," sambungku akhirnya, jujur, bukan ingin memancingnya, atau apa.

(Tapi kalau dia terpancing mungkin lebih baik. Toh, aku tahu besok pagi apapun yang akhirnya terjadi di antara kami malam ini akan membuatku menyesal.)

"Baik, Bu," angguknya patuh.

Aku membiarkannya membukakanku pintu dan membantuku melepas sabuk pengaman. Kuserahkan tas tanganku padanya dan langsung dijepitnya di ketiak seperti seorang pacar siaga. Kedua tanganku berpegangan pada lengan-lengan Mahmoud, kemudian dia memegangi sikuku kuat-kuat, mengajakku berdiri bersamanya. Aku beranjak pelan-pelan, hidungku hampir menabrak dada bidangnya. Wangi parfum pria yang biasa kucium dari tubuh Gio dan tak pernah mengusikku sama sekali, malam ini begitu intens membelai indra penciumanku. Aku merapatkan diri padanya, berpegangan pada pinggangnya saat ia menutup pintu di balik tubuhku.

"Bisa jalan?" bisikannya membuat bibir bawahku tergigit pelan.

Aku mengangguk.

Mahmoud membimbingku mencapai lift dengan menyentuh samar di antara pinggang dan punggungku, persis seperti yang kuajarkan kepadanya. Tangan kiriku berpegangan pada pinggang rampingnya, tangan kananku terlihat sangat apik terlindungi lengannya yang memegangi sikuku erat. Aku berjalan tertatih, entah kantukku yang berat ini berasal dari rasa letih, atau alkohol, yang jelas aku tidak membuat-buatnya agar bisa berdekatan dengan Mahmoud.

Beberapa langkah sebelum lift tercapai, kakiku terseok. Aku memekik.

Dengan sigap dan mudah lelaki berperawakan tinggi besar itu menahan sikuku yang dipeganginya. Lengannya yang panjang dan kuat melingkar di pinggangku secara refleks dan menyentak tubuhku pelan namun bertenaga. Sepersekian detik selanjutnya, aku sudah kembali berdiri tegak dengan wajahku nyaris menabrak wajahnya, tanganku mengusap dadanya. Kekencangan otot-otot pectoralis mayornya teraba oleh telapak tanganku yang menekannya. Mahmoud terhuyung mundur. Aku mencengkeram kerah kemejanya supaya dia tidak mundur lebih jauh. Dia meringis manis, tapi kali ini tidak mengucapkan maaf karena memang tidak perlu.

Kuputuskan melepaskan sepatuku dan mencangkingnya saat lift yang terbuka menyilakan kami masuk.

"Kamu pasti tambah benci sama aku," kataku sambil bersandar di lift mewah berdinding kaca. Mahmoud berdiri di seberangku, menatapku selibat sebelum menggeleng. "Kamu nanti pulang naik apa, Moud?"

Mahmoud sepertinya nggak berpikir sejauh itu, tapi kepalanya tidak menggeleng. "Saya nanti gampang," jawabnya.

"Nggak ada kendaraan umum lagi jam segini, Moud... kamu mau bawa mobilku aja?" aku menawarinya, meski agak setengah hati. Itu Jaguar papiku, dia bisa ngamuk kalau tahu mobil itu dikendarai orang lain tanpa aku. Tapi apa boleh buat? Masa Mahmoud yang baru saja tiba di kota mau kulepas sendiri pagi buta begini?

Kecuali... dia mau....

Ah, pasti dia nggak mau.

Dan seperti dugaanku, dia juga nggak mau kupasrahi mobil itu.

"Ada aplikasi buat pesan ojol?" tanyaku lagi.

"Ada," jawabnya cepat. "Kemarin Adrian yang instalkan."

Ah, nama itu lagi. Bukannya aku benci Adri, tapi entah kenapa kalau nama itu terucap dari bibir Mahmoud, selalu terdengar semacam tuduhan di telingaku. Lagi pula, kenapa sih dia pakai menjelaskan siapa yang memasangkan aplikasi itu di ponselnya? Apa dia masih sakit hati? Apa nggak cukup ciumanku barusan untuk menegaskan bahwa malam itu aku memang bersalah, tapi malam ini aku memang mencumbunya, bukan karena kupikir dia Adrian?

Lift berbunyi dan terbuka saat kami tiba di lantai delapan.

"Aku bisa sendiri, Moud," kataku saat ia berniat menyentuh pinggangku lagi. Akhirnya, Mahmoud hanya membawakan tas dan sepatuku. Aku sendiri berjalan gontai di depannya, dia mengekoriku tanpa banyak suara.

"Kartuku ada di tas itu," kataku. Mahmoud nyaris menabrakku gara-gara aku berhenti mendadak tepat di depan satu pintu di antara tiga unit di lantai delapan. Tawa kecilku tersembur tak tertahan setelah tubuh besar Mahmoud terdorong maju dan nyaris tersungkur karena menghindari bertabrakan dengan punggungku.

Awalnya dia cemberut, tapi melihat tawaku lantas meledak, senyumnya ikut mengembang.

"Maaf, sikap saya sebagai bawahan malam ini sangat buruk," katanya sopan, pintu apartemenku sudah terbuka.

Aku berputar gara-gara dia mengajakku bicara lagi. Entah mengapa hatiku menghangat, aku menyandarkan kepala di kusen pintu, menikmati pemandangan indah parasnya tak jauh dariku.

"Kamu lupa? Malam ini kamu bukan bawahanku, kamu teman kencanku," ucapku manis. "Sikap buruk seorang teman kencan bisa dimaklumi, apalagi kalau aku sendiri bukan pasangan yang sempurna."

Aku hampir khawatir salah ucap lagi, tapi kali ini Mahmoud membalas tatapanku tanpa memprotes.

Dia menyerahkan tas tangan dan sepasang sepatuku, "Kalau begitu, saya pamit dulu."

Aku menerimanya dan maju untuk mengecup pipinya.

Jelas, Mahmoud terkejut.

Dan jelas juga, aku tak bisa mengingkari bahwa saat ini aku sedang melancarkan usaha terakhir supaya ia mau tinggal. Aku bahkan tak berniat mengingkari keinginanku untuk bercinta dengannya malam ini seandainya dia berani bertanya.

Jelas yang ketiga, Mahmoud tak akan bertanya. Lebih imut daripada itu, dia menanyakan hal lain yang begitu menggelitikku, "Ini juga termasuk aturan teman kencan, ya, Bu?"

Aku langsung mengangguk dan berbisik di telinganya, "Masih bisa dilanjutkan sampai pagi aturannya, Moud."

Sayangnya, Mahmoud hanya tersenyum dan melepaskan diri dariku. Dia tidak berpamitan lagi, hanya menunduk sopan untuk memohon diri. Dengan berat hati aku melepasnya, tapi tatapanku terus mengiringi kepergiannya tanpa kerelaan. Aku masih berdiri di ambang pintu itu dengan tas tangan dan sepatu terpegang di satu tanganku sampai Mahmoud berdiri di depan pintu lift, menunggu, kemudian perlahan menoleh.

Mata kami bertemu.

Mataku mengedip lambat seolah meyakinkannya bahwa ucapanku tadi sungguhan.

Mahmoud meninggalkan tempatnya menunggu pintu lift. Langkahnya terayun lambat ke arahku. Saat aku membuang tas tangan dan sepatuku begitu saja untuk membalas langkah-langkahnya sehingga kami saling menghampiri, langkah Mahmoud melebar, terayun makin cepat. Aku menyambut rengkuhan eratnya di pinggangku dengan mengalungkan lengan di leher Mahmoud saat bibirnya menempel di bibirku.

Part depan siapin uang saku sekitar 7.5 sampe 10k aja deh buat baca part Extended berkonten dewasanya Mahmoud-Minul. Yang di wattpad tetep dipost tapi versi syariah ya lol jadi nggak bakal ada adegan di balik pintu kamar yang tertutup 😂.

Kalau baca di wattpad mah bakal tetep tahu ceritanya, kok, tapi ya nggak bisa ngintip part sepanjang tiga kali lipat lebih panjang.

Yang belum bisa akses KaryaKarsa, mau beli lewat WhatsApp aja apa gimana? Boleh jawab di sini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top