12. Corn and Butter
Sorry semalem aku ngelihat goal-nya udah kemaleman.
Makanya buruan dong nggak usah nunggu malem. Biar cepet sampai ke adegan yoyoi.
Anyway, 600 votes 500 komen lagi bolelah... Yang baca diem-diem aja nggak mau vote komen bismilah kerutannya di mukanya nambah. 🤣
Lagi-lagi masih males nulis healthy fun facts.
"Video yang kemarin diluncurin di aplikasi besok pagi jam delapan, ya, Mbak? Harga premiumnya lima belas ribu. Trailer sudah meluncur di instagram HBM. Mbak jangan lupa repost malam ini jam tujuh," Tamara memberiku instruksi jelas seperti biasa.
"Noted," jawabku pendek.
"Oh iya... sama jangan lupa bikin insta story, Mahmoud-nya mesti kelihatan. Aku udah pasang orang di venue buat videoin Mbak candid, nanti kita kirim ke Lamcur. Mahmoud udah nunggu di bawah. Dia ganteng banget ya ampun, Mbak. Cucok. Buruan sebelum anak display store pada mimisan semua."
Tamara menutup telepon internalnya.
Aku menarik-embuskan napas di depan cermin, mematut pantulan diriku dalam gaun bodycon marun berpotongan dada rendah.
Implan harus segera dilakukan, shading Riana untuk menonjolkan belahan dadaku sudah nggak terlalu membantu. Aku harus mulai banyak makan makanan bergizi, atau badanku akan semakin kurus kayak nenek lampir. Padahal pinggul dan pinggangku ukurannya sudah lumayan pas, tapi kenapa di bagian dada ini udah dilatih sedemikian rupa masih tepos aja, ya?
Kata Adrian, sih, mungkin kelamaan nggak dipegang-pegang, tapi kusuruh megang-megang juga susahnya minta ampun.
Aduh, pikiranku ngelantur. Harusnya aku cepat turun supaya Mahmoud nggak kelamaan nunggu, tapi aku grogi.
"Ngomong mau ngajak Mahmoud jalan ke party aja sudah banget, sih, Mbak? Karyawan mau diajak Nona Bos ke pesta, mana ada yang nolak? Pesuruh lagi!" kata Gio sehabis dengan straight forward-nya nyuruh Sigit Handam Al Mahmoudi lembur buat nemenin aku ke pesta ulang tahun Adi Sas.
Jahat banget. Aku yang biasanya sengit aja nggak tega ngomong begitu. Mahmoud kan bukan pesuruh biasa. Mana kayaknya hatinya lembut banget kayak cotton ball. Nggak kebayang betapa syoknya dia sewaktu Gio menembaknya di pantry. Gio pasti ngomongnya pakai kalimat perintah, bukan permohonan.
Bagaimana aku menghadapi Mahmoud di bawah?
Bagaimanapun, dia sepupu sahabatku yang sekarang ini lagi ngambek karena merasa direndahkan. Kedua, aku sudah pernah menduduki pinggangnya dan mengulum bibirnya tanpa izin. Selain itu, yah... Mahmoud memang good looking. Mau dia bos kek, pesuruh kek, sebagai perempuan, wajar aku maju mundur disuruh ngajak cowok seganteng itu ke pesta. Terutama justru karena dia pesuruh yang kebetulan mirip bintang sinetron, kesannya kayak aku memanfaatkan posisiku sebagai bos untuk mendekatinya.
Bisa aja kan Mahmoud mikir aku kegenitan?
Sebelum Tamara atau Riana mengingatkanku lagi, aku memasukkan kakiku ke dalam peep toe yang sudah kusiapkan di kantor untuk saat-saat darurat. Gaun ini termasuk salah satunya. Aku benar-benar lupa hari ini ada acara di luar.
Menurut Tam, ini saat yang tepat buat ngasih spoiler-spoiler manja kalau kami mau punya ikon baru. Orang bakal bertanya-tanya siapa sosok ganteng yang jalan bersama putri Pengusaha Santoso yang tersohor itu?
Semakin nggak ada informasi mengenai Mahmoud di media sosial, semakin orang akan penasaran. Selanjutnya, Tam akan membuat akun instagram mengenai keseharian Mahmoud sebagai pesuruh di HBM.
Apa itu nggak bikin kredibilitas HBM turun? Mempekerjakan pesuruh sebagai ikon perusahaan? Sebaliknya, kata Tam, orang akan banyak bersimpati pada wong cilik seperti Mahmoud.
Gimana kalau Mahmoud-nya nggak mau?
Gio menunjuk mukaku di briefing singkat sebelum dia akhirnya turun tangan menyeret Mahmoud ke pesta ini. "Nah, itu akan jadi tugas Mbak Mina," katanya. Enteng banget kayak kerupuk kering.
Riana dan Tam mengintip dari balik kaca depan yang lampunya sudah dimatikan karena kantor harusnya sudah tutup satu jam lalu. Mereka nggak pulang dengan alasan mau membantuku berdandan. Sejak kapan aku butuh? Mereka cuma mau lihat Mahmoud pake kemeja dan blazer modis Gio yang ditinggal di kantor untuk saat-saat darurat juga sepertiku. Hari ini cowok yang bertugas menemaniku dalam acara-acara beginian itu melenggang bebas tugas supaya dia bisa ngelonin pacar barunya.
"Selamat malam, Bu Mina," sapa Mahmoud sopan sewaktu aku menemukannya berdiri menunggu tak jauh dari tempatku mencarinya.
Aku hanya melempar senyum, Mahmoud yang tadinya bersandar di dinding sambil menguap, langsung berdiri tegap. Dia menghampiriku dan menunduk sebagai tanda hormat.
(Mas-Mas Jawa apa memang selalu begitu, ya? Kadang kelewat sopan, aku jadi salah tingkah dibuatnya. Dan oh, wow... kemeja dan blazer Gio yang kuhafal banget saking seringnya dipakai itu naik kelas banget di badan Mahmoud.)
"Malam," balasku, berusaha keras untuk nggak terpesona dan tetap menjaga wibawa. Kuanggap saja Mahmoud sudah lupa pada kesan pertama kami yang memalukan. "Looking good tonight, Moud," imbuhku tak tahan untuk nggak memujinya, setiap perubahan baik membutuhkan pujian. Walaupun, yah... itu bukan perubahan. Mahmoud memang sudah gagah diapain aja. Karena aku nggak tahu dia mengerti ucapanku atau tidak, aku menambahi lagi, "Kamu kelihatan keren malam ini."
Mahmoud mengulum senyum. "Saya tahu apa artinya looking good tonight. Malah, saya juga tahu apa artinya weight lift."
Aku menyengir. Dia bisa sinis juga rupanya.
"Saya pernah sekolah yang ada Bahasa Inggrisnya. Selain itu diktat Teknik Mesin banyak sekali yang pakai Bahasa Inggris, meski... ya... nggak ada kata good looking-nya," candanya lugas, membuatku merah menahan malu.
Aku merasa sangat arogan, imbuhanku barusan jelas terkesan aku under-estimating dia hanya karena aku mempekerjakannya sebagai pesuruh.
"Kuncinya, Bu?" tanya Mahmoud sambil menadahkan tangannya.
"Oh, aku saja yang menyetir," tolakku. Kupikir, aku perlu sedikit bercanda juga untuk mencairkan suasana, "Aku nggak masalah memegang kemudi meski yang kuajak naik dalam mobilku seorang pria."
Mahmoud mengerutkan alis tebalnya yang rapi alami, lagi-lagi bikin aku merasa bodoh. "Saya tidak meminta kunci dan berniat menyetir karena ibu perempuan dan saya laki-laki. Saya menawarkan diri menyetir karena ibu atasan saya, dan saya seorang bawahan yang kebetulan bisa menyetir. Kecuali... ibu tidak bisa memercayakan mobil mewah ini ke karyawan baru yang dibayar bukan sebagai supir seperti saya."
Dua kosong, Mina. Aku langsung menyerahkan kunci Jaguar Papi.
Aku duduk di depan, Mahmoud berkomentar, "Apa ibu tidak sebaiknya duduk di belakang?"
"Kamu kan bukan supir, Mahmoud," kataku. Sekarang aku yakin dua-satu. "Kalau kamu supir, aku duduk di belakang. Malam ini, sesuai instruksi Gio... kamu teman kencanku."
Deham Mahmoud meyakinkanku bahwa scoring-ku benar. Tanpa menambahkan apa-apa, aku mengatur GPS menuju tempat tujuan kami. Diam-diam aku memperhatikannya, dia hanya butuh waktu kurang dari lima menit yang disamarkannya dengan menunggu mesin memanas untuk mempelajari cara mengemudikan Jaguar dari panel-panel di sekitar kemudi. Kutahan diriku dari bersikap sok tahu dan kupercayakan kendaraan kesayangan Papi padanya.
(Kalau mobil ini sampai lecet seujung kuku saja, aku bisa diseret ke tiang gantungan. Tapi, itu hargaku sebagai seorang bos yang harus percaya pada bawahannya.)
"Ibu sudah duduk nyaman?" dia bertanya saat kedua tangannya menggenggam erat kemudi.
Aku mengangguk.
"Sejujurnya, saya bertanya kenapa ibu tidak duduk di belakang karena saya nggak yakin bisa langsung jalan, biasanya saya cuma nyetir truk beras, atau paling banter city car rentalan kalau harus mengantar ibu saya ke kota buat medical check-up rutin dan jalan-jalan. Ibu saya suka sakit di bagian dada. Curiga punya penyakit jantung bawaan."
(Satu angka lagi untuk Sigit Handam Almahmoudi.)
"Kamu mau aku duduk di belakang saja, nih?"
"Jangan, Bu, sudah terlambat, saya sudah paham."
"Okay... terus... ibumu beneran punya penyakit jantung?"
"Kata dokter sih enggak, tapi sedang proses pengecekan lebih lanjut."
Aku mengangguk-angguk.
Kami meluncur mulus di jalan raya.
"Emmm... kalau saya boleh tahu...," Mahmoud membuka pembicaraan tanpa kelanjutan. Kalimatnya menggantung di sana.
Aku menoleh dan bertanya, "Boleh tahu apa?"
"Saya boleh tahu?"
Pertanyaan kedua Mahmoud malah bikin aku tertawa geli, "Kamu kok lucu, sih? Orang tuh biasanya tanya, kalau saya boleh tahu, boleh tahu tentang apanya langsung diomongin dulu. Baru kita jawab kamu boleh tahu, apa enggak. Kalau cuman nanya boleh tahu, gimana aku bisa jawab kamu boleh tahu apa enggak."
Mahmoud ikut tertawa manis, "Maaf, saya takut lancang," katanya sambil terus memperhatikan jalan. "Apa ibu baik-baik saja setelah jatuh tadi siang? Apa ibu kurang sehat? Maaf kalau saya ikut campur...."
"Oooh, itu... enggak, kok. Aku sehat. Kalau aku nggak sehat, nanti kontradiktif dong sama usahaku dalam bidang kesehatan. Soal pingsan itu... kayaknya aku memang harus mengubah asupan kaloriku. Load pekerjaan dan olah ragaku semakin tinggi, sementara sudah dari beberapa tahun ini sejak sebelum mulai HBM, asupanku masih sama. Mungkin aku lemas aja."
"Diet?"
"Sekarang sudah enggak, kok."
Mahmoud melirikku sekilas, terlihat bingung.
"Semua yang kamu lihat detik ini pada diri seseorang, kadang nggak terbangun detik itu juga Moud... aku dulu gemuk sekali, jelek...," kalimatku terputus gara-gara kulihat sudut bibir Mahmoud tersenyum samar. Aku mendorong bahunya pelan dengan wajar. "Kok ketawa? Kamu nggak percaya apa dulu aku gemuk banget?"
"Percaya, kok, Bu...," kata Mahmoud tersipu. "Saya nggak bisa bayangin aja... soal jeleknya."
"Yah... orang good looking kayak kamu can't relate lah," candaku, berarti sekarang ini dia nggak menganggapku jelek, dong, sampai nggak bisa bayangin jelekku gimana? Kok pipiku bersemu sih digituin sama cowok kampung yang beberapa hari lalu sempet bikin aku senewen ini? "Ada lagi nggak yang mau ditanya?"
"Ada, tapi lagi-lagi saya takut lancang," jawabnya.
"Apa, siiih? Ayo, cepet bilang," kataku gemas sampai udah berani nyubit lengannya segala. Beda dari yang pertama, 'saya takut lancang'-nya kali ini jelas banget diimut-imutin.
(Coba aja kalau yang nanya begitu pesuruhku yang sebelumya, pasti sudah kusuruh tutup mulut atau cuci piring kalau nggak mau lancang.)
"Kenapa ibu pergi ke pestanya mesti sama saya? Biasanya... orang pergi ke pesta itu kan... sama pasangan..."
Aku nggak langsung menjawab, malah menggigiti ujung jariku, penasaran kenapa dia nanyain itu. Pertanyaan seperti ini biasanya ditanyain ke gebetan buat mastiin bakal ada yang ganggu proses pendekatan atau enggak, kan? Mirip kayak emang nanti nggak ada yang marah? Apa dia sedang memancingku?
"Ya karena aku nggak punya pasangan lah, menurutmu kenapa?" aku memutuskan balik memancingnya.
Mahmoud mengulum senyum malu-malu.
Aku jadi tambah semangat, "Kamu mau... jadi pasanganku?"
Dan Jaguar Papi pun terhentak kencang.
Haduh... 🥵
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top