45 - In your amrs



Serena terbangun, ketika ia membuka mata yang pertama kali ia lihat adalah Alvaska. Ia bersandar pada bahu pria itu, dan pria itu sedang memeluknya dengan erat. Sadar akan hal itu Serena langsung beringsut.

"Tuan..." ujar Serena terkejut.

"Kamu baik-baik saja, sayang?" Alvaska menanyakan hal itu dengan cemas. Ia menarik kembali tubuh Serena yang beringsut menjauh darinya. Ia memeluk gadis itu erat seolah takut kehilangan.

Serena tak menyangka kalau Alvaska akan memeluknya. Ia kira Alvaska tak peduli dengannya, dan menjauh darinya tapi pria itu bersikap lembut dan memanggilnya sayang. Rasanya seperti mimpi.

"Saya baik-baik saja tuan."

"Saya kira tuan tidak akan peduli dengan saya." Serena mengatakan itu sambil menundukkan kepala.

"Bagaimana bisa saya tidak peduli melihat kamu dan anak saya menderita." Serena terpaku mendengar itu? Benarkah atau ia hanya salah dengar saja? Rasanya seperti mimpi, namun ia tidak mau mempercayai hal ini. Apa benar Alvaska sudahh mulai mencintainya, maka dari itu Alvaska peduli dengannya? Berarti cintanya terbalas, ia pikir ini hanya cinta satu arah.

"Anak kita dia tidak apa-apa, kan? Bagaimana bisa kamu menyembunyikan semua ini dari saya Serena?" tangan Alvaska mengelus perut Serena. Ia menangis ketika tahu bahwa ia memiliki anak. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang ayah, meski sedikit kesal karena Serena menyembunyikan hal itu darinya.

"Maaf tuan," ujar Serena lirih.

Wajah Serena terlihat pucat, bahkan suaranya kecil. Gadis cantik itu terlihat seperti orang sakit. Alvaska yang melihat itu jadi mengeram marah, ia duga pasti Lea telah menyiksa gadisnya di sana. Sialan! Alvaska tidak pernah menyesal mau membunuh Lea. Wanita itu pantas mendapatkannya.

"Kenapa kamu pucat sekali? Kamu belum makan? Apa wanita iblis tidak memberimu makan?" tanya Alvaska bertubi-tubi.

"Belum tuan."

'Sialan Lea! Dia pantas mati.' Alvaska sama sekali tidak menyesal telah membunuh Lea. Ia justru bersyukur karena membunuh wanita sialan itu. Ia tidak menyang kalau Lea akan menyiksa wanitanya sedemikian rupa. Sekarang Lea sudah menjadi abu terbakar di dalam rumah itu. Semua dendamnya terbalaskan.

"Mulai sekarang berhenti panggil saya tuan. Panggil saya sayang." Terdengar seperti nada perintah, namun mampu membuat jantung Serena berdebar tak karuan.

Deg!!

Apa tadi sayang katanya? Jantung Serena tak henti berdetak begitu kencang mendengr itu. Pipinya memerah padahal ia sedang menahan lapar, tapi ia masih bisa tersipu karena perkataan Alvaska. Pria itu terlihat manis ketika bersikap lembut seperti ini.

"Coba panggil saya sayang." Alvaska kembali memerintah Serena untuk memanggilnya sayang. Ia mau mendengar bagaimana gadis itu memanggilnya sayang.

"Sayang."

"Iya seperti itu, awas saja kalau saya mendengar kamu tidak memanggil saya sayang, maka saya tidak akan memberi kamu makan." terdengar kejam dan menakutkan, Serena hanya bisa mengangguk.

Lalu Serena merasakan sebuah tangan memegang wajahnya, pria itu mengusap pipi dan rambutnya. Hal itu membuat Serena terdiam, ia hanya bisa menatap pria itu. Debaran jantung semakin menyiksanya, ia bingung kenapa ia menyukai pria kejam ini.

"Tidurlah, sayang, nanti kalau sudah sampai di tempat makan saya bangunkan, kamu dan anak kita butuh makan."

Seperti mantra Serena hanya bisa menurut. Ia kemudian memejamkan mata kembali tidur. Ia merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya, memeluk hangat tubuhnya. Serena nyaman dengan hal itu, hingga ia tertidur kembali.

***

Serena berada di restoran bersama dengan Alvaska. Pria itu membawa Serena makan di restoran. Pria itu memesankan makanan berupa Sup Kentang Truffle dengan Crostini, steak daging sapi, dan hidangan lainnya. Ketika makanan dihidangkan pria itu bahkan melarangnya untuk makan sendiri. Alvaska menyuapi Serena dengan telaten. Pria itu benar-benar memanjakannya.

"Tuan, saya bisa makan sendiri."

"Kamu lupa jangan panggil saya tuan lagi, panggil saya sayang."

"Tapi tuan---"

"Sebentar lagi kita akan menikah jadi tidak pantas memanggil suami sendiri tuan."

Serena melotot tak percaya mendengar itu? Apa tadi menikah? Kenapa banyak sekali kejutan hari ini? Apakah ia sedang bermimpi?

"Saya tidak salah dengarkan?"

"Tidak sayang, kita akan menikah, saya juga tidak akan membiarkan anak saya lahir tanpa seorang ayah."

Ah, jjadi itu alasannya. Serena sedih ia pikir karena Alvaska mencintainya. Ia pikir Alvaska sudah membalas cintanya. Nyatanya pria itu melakukan semua ini karena anak yang berada di dalam kandungannya.

"Kenapa kamu jadi diam? Kamu tak setuju dengan pernikahan ini?" Alvaska was-was kalau Serena tidak mau menikah dengannya, namun dengan atau tanpa persetujuan gadis itu ia akan tetap menikahi Serena. Ia tidak akan membiarkan lepas darinya, ia tidak akan mampu hidup tanpa Serena. Baginya Serena adalah napasnya, kehidupannya, ia akan mati jika tak bersama gadis itu.

"Saya setuju."

Serena rasa ia tidak akan bisa lari. Lebih baik ia pasrah, ia juga tak memiliki siapapun. Ia tidak punya pilihan lain. Apalagi ada seorang anak yang bersamanya. Ia tidak bisa egois membawa anak ini pergi melarikan diri bersamanya. Ia tidak mau hidup anak ini susah. Kalau bersama Alvaska pasti kebutuhannya akan tercukupi. Ia rasa ini adalah pilihan terbaik.

"Bagus, nanti kalau kondisi kamu sudah lebih baik, kita persiapkan keperluan pernikahan. Saya sudah tidak sabar menikah denganmu, sayang."

"Iya sayang." Serena mengatakan itu dengan ragu. Ia masih malu-malu untuk menyebut Alvaska dengan sebutan sayang.

Alvaska yang melihat itu gemas. Ia suka sekali melihat calon istrinya itu malu-malu. Kalau tidak ingat tempat ia pastikan akan mencium Serena sekarang juga.

"Sayang gak makan?" tanya Serena, karena sedari tadi hanya melihat Alvaska menyuapinya.

"Saya sudah kenyang, yang terpenting sekarang kamu dan anak kita, saya tidak mau kalian kenapa-napa."

Serena tersenyum, hatinya menghangat meski Alvaska belum mencintainya paling tidak pria itu peduli padanya. Ia tak peduli meski Alvaska hanya menginginkan anak ini, yang terpenting ia bisa bersama Alvaska saja sudah membuatnya bahagia.

"Kamu benar-benar seperti anak kecil, lihat ini belepotan." Alvaska merapikan noda di sudut bibir Serena mengusapnya dengan jemari pria itu.

"Maaf."

"Kamu masih ketakutan sama saya?"

"Em, itu..."

"Saya minta maaf Serena kalau dulu suka membuat kamu takut." Serena mengerjapkan mata, ini untuk pertama kali ia mendengar pria arogan itu mengatakan kata maaf padanya.

"Maaf saya selalu bersikap kasar padamu, dan maaf pernah mengatakan kalau kamu wanita rendahan. Saya menyesal telah melakukn itu Serena. Kamu mau kan memaafkan saya?" Ketika mengatakan itu Alvaska menggengam tangan Serena, ia dengan tulus meminta maaf dari kekasihnya itu.

"Iya aku maafin, maaf juga kalau ayah aku membuat ibu kamu meninggal sayang, jujur itu semua di luar kendali aku." Serena dengan sedih mengucapkan hal itu, Alvaska memeluk gadis itu lalu membisikan kalimat penenang untuk gadis itu.

"Bagi saya itu hanya masa lalu, jadi kita tak perlu membahasnya. Kita fokus saja msa depan kita dan anak kita. Saya janji akan menjaga kamu dan anak-anak kita nanti, saaya tidak akan membiarkan kalian menderita."


****

Mau lanjut?

Spam next di sini!!!

Love you

Gulla
. Istrinya Jeno.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top