Part 2
Tubuh mungil itu bergoyang, mengikuti gerakan mobil yang melaju kencang. Tidak ada senyum yang terbit, tatapan malas yang terlihat. Seingat gadis itu dirinya tidak sadarkan diri kemarin malam, tapi ketika terbangun beberapa saat lalu ia sudah berada di atas ranjang. Di temani wanita cantik yang selalu mengikutinya sejak kemarin.
So Eun melirik Park Ha yang bersenandung merdu di sampingnya, menggoyangkan tubuh ke kanan dan kiri meluapkan kebahagiaannya. Ini masih sangat pagi, dan So Eun masih mengantuk tapi roh menyebalkan di sampingnya dengan seenak hatinya menyeret So Eun untuk pergi.
"Aku merasa hidup kembali," kata Park Ha dengan nada gembira.
"Aku seperti mau mati," balas So Eun, menyenderkan kepalanya ke kaca mobil.
"Ohh? Benarkah? Bagaimana jika kita bertukar tempat?"
So Eun menatap tajam ke arah Park Ha.
"Terima kasih," ujarnya malas.
Bus berhenti di sebuah perkampungan. So Eun menyapu pandangannya. Gelap. Itulah yang ia rasakan, tidak seperti Gangnam yang penuh warna-warni lampu. Sillim-dong sedikit sepi, hanya ada beberapa lampu yang menghiasi jalan. Di ujung sana, terdapat lampu rusak yang berkedip-kedip, menerangi sudut gelap.
So Eun menoleh ke samping menatap Park Ha untuk memberi petujuk ke mana ia harus pergi. Namun gadis itu asik memejamkan matanya sembari merentangkan tangan. So Eun jadi bingung, mengapa Park Ha memilih bunuh diri sedangkan gadis itu terlihat masih ingin hidup.
"Mau sampai kapan kita berdiri di sini?" ujar So Eun, membuat roh yang ada di sebelahnya menoleh.
"Maaf. Ayo ikut aku."
So Eun mengikuti Park Ha di belakang, melewati lampu rusak yang So Eun lihat tadi. Gadis itu menatap bola lampu di atasnya, perasaannya mengatakan ada sesuatu dengan benda bulat itu.
"Ada yang salah dengan lampu itu?" tanya Park Ha, ikut menatap benda itu.
"Sejak kapan lampu ini rusak?" So Eum bertanya tanpa menjawab pertanyaan Park Ha.
"Aku tidak tau pastinya, terakhir kali aku datang masih baik-baik saja," jawab Park Ha.
"Lampu ini harus diperbaik," gumam So Eun, berjalan mendahului Park Ha.
"Kau aneh, wajar saja sampai saat ini tidak memiliki kekasih," ucap Park Ha, berlari kecil mengejar langkah So Eun.
"Bukan urusanmu," kata So Eun santai. Park Ha tidak hentinya menceramahi So Eun untuk segera memiliki kekasih tapi gadis ber-hoodie itu tidak menanggapi ocehannya.
So Eun menoleh ke belakang, menatap ke arah lampu tadi. Seorang pria berjubah hitam bersandar pada tiang listrik, cahaya lampu memandikannya dengan cahaya kuning. Tidak ada lampu rusak yang dilihatnya seperti beberapa saat lalu. Nyala lampu itu terang, seperti lampu normal lainnya.
"So Eun, cepatlah jangan lambat seperti keong!!" terak Park Ha di depan sana.
So Eun menggerutu melihat Park Ha duduk santai dengan kaki terayun-ayun di atas tembok sebuah toko, meski sosoknya terlihat samar. Gadis itu bisa menghilang dan muncul di mana saja sesuai keinginannya.
"Ckckck lambat sekali," ujar Park Ha, berdiri di samping So Eun.
"Toko siapa ini?" kata So Eun mengamati bangunan bercat hijau di depannya. Ada beberapa tumbuhan dalam pot tapi tidak menambah kesan indah bangunan itu.
"Itu toko berhantu."
So Eun terlonjak kaget mendengar suara berat seorang pria. Kim Bum berdiri di tepat di sampingnya, bahkan So Eun tidak menyadari pria itu merangkulnya sejak tadi.
"Kenapa kau ada di sini?" ujar So Eun, berusaha melepaskan rangkulan pria berlesung pipi di sampingnya.
"Untuk mengawasi kalian," kata Kim Bum memamerkan senyum manis yang ia punya. Wajah So Eun memanas, belum pernah orang asing memberinya senyum seindah itu. Orang di sekitarnya hanya mementingkan diri mereka sendiri. Tidak peduli dengan orang lain, sifat cuek dan jiwa kompetisi yang tinggi membuat orang-orang tertekan.
Menjadi yang terakhir adalah aib seumur hidup, kemiskinan adalah kutukan bagi mereka yang berjiwa lemah yang tidak mendapat kesempatan menikmati sebagian dari kisah kemewahan Seoul.
"Jangan terpesona seperti itu, kau terlihat bodoh," ujar Kim Bum mengedipkan matanya menggoda.
So Eun mendorong tubuh tegap Kim Bum, bukannya terjatuh pria itu malah menghilang dan muncul kembali di sisi So Eun.
"Kalian ingin bertengkar? Ayolah aku bosan melihatnya," ujar Park Ha duduk di sebuah kursi di depan toko.
So Eun membuka pagar besi setinggi pinggangnya. Deritan pagar berkarat itu terdengar nyaring, seperti kekurangan pelumas untuk mengurangi gaya geseknya.
"Apa tempat ini berhantu?" tanya So Eun memastikan. Menutup kepala dengan topi hoodie pandanya.
"Tentu saja berhantu. Dia hantunya," ujar Kim Bum menunjuk Park Ha.
"Kau benar, sedari tadi aku bersama hantu. Untuk apa takut lagi."
Park Ha menghentakkan kakinya kesal, tidak terima dengan gelar hantu yang ia sandang. Meski kenyataannya memang benar.
"Ikut denganku," ujar Park Ha ketus. So Eun dan Kim Bum mengikutinya dari belakang. Ada sebuah pagar kecil di belakang toko menuju sebuah pemukiman. Setiap langkah yang ia tapaki tidak seorang pun yang ia jumpai.
Setidaknya tempat ini masih layak untuk dihuni, melihat atap rumah terbuat dari genteng bukan kardus bekas atau barang sejenisnya. Langkah Park Ha berhenti pada sebuah rumah berpagar besi yang cukup tinggi.
"Ini rumah kekasihmu? Jika aku jadi dirinya lebih baik bunuh diri saja," ucap Kim Bum.
"Bisakah kau diam?!" ujar Park Ha marah, tidak terima dengan ucapan Kim Bum.
"Kalian membuatku pusing. Jadi ini rumah siapa?" kata So Eun menghentikan perdebatan antara dua makhluk di sampingnya.
Seorang pria tiba-tiba muncul di hadapan So Eun. Matanya sipit dengan rambut yang acak-acakan. So Eun memundurkan langkahnya, memperlebar jarak keduanya.
"Siapa kau? Kenapa bisa berada di sini?" Pria itu menatap So Eun dari atas sampai bawah.
"Ann ... annyeng haseyo. Aku Kim So Eun, senang bisa bertemu denganmu," ujar So Eun terbata.
"Kau mau menyewa akomodasi? Lebih baik kau mencari goshiwon ——kost-kostan ——yang lain, di sini sudah penuh," jelasnya, berjalan melewati So Eun begitu saja.
"Wooyoung ... JANG WOOYOUNG!!" teriak Park Ha memanggil nama pria itu. So Eun menyadari, jika teriakan itu percuma dia tidak akan mendengar.
"Jang Woo Young," kata So Eun membuat langkah pria itu terhenti, berbalik menghadapnya.
"Bagaimana kau tau namaku?" ujarnya heran.
"Park Ha memberitahukan namamu. Kau tidak merasakannya?" tanya So Eun.
Wooyoung berjalan menghampirinya, pria itu tertawa mendengar ujaran So Eun.
"Kau bercanda? Ini masih pagi, Nona. Jangan mengkhayal."
"Aku tidak bercanda dan mengkhayal, kau harus percaya," ujar So Eun meyakinkan.
"Hidupmu terlalu berat, jangan sampai depresi," ucap Woo Young menepuk pelan pundak gadis itu sebelum pergi.
"Kau harus percaya, dia berada di sini," kata So Eun, tapi Wooyoung tidak mengubrisnya.
So Eun mengikuti Woo Young yang membuka pintu toko bercat hijau itu. Menarik tirai bambu yang menutupi jendela toko. So Eun mengamati ruangan itu, banyak lukisan yang terpajang indah, apa semua karya ini dibuat oleh Woo Young? Jadi pria itu seorang seniman?
"Semua yang ada di sini karyaku," ucap Woo Young seolah tahu apa yang ada di benak So Eun. Gadis itu tersadar, ingat kembali dengan misinya.
So Eun kembali berusaha menjelaskan pada pria itu jika Park Ha sedang berada bersamanya, tapi Woo Young tidak menghiraukan keberadaannya dan lebih memilih membersihkan toko.
"Kau harus percaya, dia sangat mencintaimu. Dia menyesal telah mengambil keputusan itu." So Eun mengekori Woo Young ke mana pun pria itu pergi, sedangkan Kim Bum dan Park Ha asik bermain kartu di meja dekat pintu masuk.
"Aku menang!," kata Kim Bum heboh. Park Ha cemberut, kemudian menatap So Eun lekat.
"So Eun, katakan juga pada Woo Young jika aku tidak bermaksud meninggalkannya," kata Park Ha, gadis itu kembali fokus bermain kartu bersama Kim Bum.
So Eun menatap dua makhluk berbeda jenis di meja sana, merasa dipermainkan gadis itu menggebrak meja membuat semua mata tertuju padanya.
"KENAPA KALIAN TIDAK BAIKAN SAJA? AKU SUDAH LELAH MENJELASKAN SEMUANYA!" ucapnya penuh amarah.
"Kau!" tunjuk So Eun pada Park Ha, dengan mata melotot. Woo Young yang melihat So Eun bertingkah aneh hanya diam memperhatikan gadis itu menunjuk ke sebuah meja.
"Jangan menyusahkanku lagi, aku tidak mau terlibat dalam urusanmu!" ucapnya mencoba menahan emosi.
"Kau, Woo Young! Dengarkan aku! Tidak peduli kau mencintai gadis itu atau tidak, ungkapkan saja perasaanmu. Jangan pengecut!"
Kim Bum beringsut, mendekat ke arah Park Ha.
"Dia galak sekali," gumam Kim Bum tapi masih bisa didengar oleh So Eun.
"Kau!" ujarnya menunjuk Kim Bum, membuat pria itu terlonjak kaget. "Aku tidak peduli kau malaikat atau siapa, jangan pernah mengusik hidupku. Jangan datang tuba-tiba."
Woo Young mengusap tengkuknya, mendengar bentakan So Eun membuatnya merinding. Woo Young mendekati gadis itu, tapi diurungkannya ketika melihat raut tak bersahabat dari So Eun.
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Woo Young, duduk di kursi depan So Eun.
So Eun menetralkan kembali emosinya kemudian duduk berseberangan dengan lelaki itu. So Eun memutar bola matanya kesal saat Kim Bum dan Park Ha tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
"Apa kau mencintai Park Ha?" tanya So Eun tanpa basa-basi.
"Aku tidak tau. Aku bukan pria yang mapan mungkin dia juga tidak mencintaiku," ujar Woo Young, senyum miring tersungging di bibirnya.
"Woo Young Oppa, aku sungguh mincintaimu. Untuk itu aku rela mati demi dirimu, aku tidak ingin membuatmu kecewa," ujar Park Ha, beranjak mendekati Woo Young dan duduk di samping pria itu. "So Eun, tolong sampaikan padanya."
"Park Ha bilang, dia sangat mencintaimu. Park Ha lebih memilih mati karena tidak ingin membuatmu kecewa," ujar So Eun.
"Kau tidak mengerti, Nona. Aku tidak memperdulikannya, dia sudah pergi seharusnya kau tidak perlu mengungkit tentang orang yang telah tiada."
"Oppa ... kau tidak mencintaiku?" Park Ha mencoba memeluk pria itu, tapi ia tidak bisa menyentuhnya.
"Kenapa aku tidak bisa menyentuhnya?" kata Park Ha, mencoba dan terus mencoba menggenggam tangan Woo Young.
"Kau tidak bisa menyentuhnya, kecuali dia bisa melihatmu," ujar Kim Bum yang sejak tadi bungkam. "Seperti ini," kata Kim Bum seraya menggenggam tangan So Eun, tapi segera ditepis oleh gadis itu.
"Jadi kau tidak mencintainya?" tanya So Eun memastikan.
"Itu hanya masa lalu, aku tidak ingin mengingatnya."
"Baiklah, sepertinya tidak ada yang perlu ditanyakan lagi," ujar So Eun.
"Jangan pergi dulu So Eun," rengek Park Ha, mencegah So Eun yanh ingin beranjak.
So Eun tidak mengubris perkataan Park Ha, ia menunduk dan mengucapkan selamat tinggal pada Woo Young.
"Tunggu!" ujar Woo Young sebelum So Eun benar-benar keluar dari tempatnya.
So Eun berbalik, menatap Woo Young penuh tanya. Pria itu tersenyum, matanya hampir tak terlihat.
"Jika kau bertemu dengan Park Ha, katakan padanya kalau dia adalah gadis yang kusayangi setelah ibuku. Aku tidak bisa membencinya hingga saat ini," kata Woo Young, kali ini lebih serius dan bersungguh-sungguh.
"Akan aku sampaikan," balas So Eun, mendorong pintu kayu di depannya.
So Eun menatap sekilas bangunan itu, meski terlihat tua tapi di dalamnya sungguh indah. Mungkin suatu saat nanti ia akan berkunjung lagi.
"Gomawo ... kau telah membantuku," ucap Park Ha dengan senyumnya, menggenggam erat tangan So Eun.
"Apa kau sudah lega?" tanya So Eun.
"Setidaknya aku tau jika aku orang yang berharga di hidupnya. Aku harap dia hidup dengan lebih baik"
So Eun mengedarkan pandangannya mencari sosok pria tegap yang selalu mengikutinya akhir-akhir ini.
"Kau mencari malaikat itu? Katanya dia sakit perut jadi pria itu pergi," ujar Park Ha.
"Apa?! Malaikat bisa sakit perut?" tanya So Eun heran.
"Siapa yanh sakit perut?" ucap Kim Bum yang sudah berdiri di belakang So Eun. "Aku sedang mempersiapkan tempat untukmu."
Kim Bum menatap Park Ha tajam, gadis itu sering berbicara ngawur dan asal-asalan tapi bagaimana Woo Young bisa bertahan dengan gadis sejenis Park Ha?
Sebuah cahaya putih muncul di belakang Park Ha, cahaya yang sama ketika So Eun bertemu Kim Bum untuk pertama kalinya. Sebuah pintu muncul dari dalam cahaya, terbuka lebar setelah cahaya terangnya menghilang.
"Waktumu telah habis, Park Ha. Kau bisa ikut denganku," kata Kim Bum mempersilakan Park Ha untuk masuk ke dalam pintu.
"Terima kasih," ucap Park Ha, kemudian menatap So Eun. "So Eun maaf jika merepotkanmu. Aku menyesal mengakhiri hidupku dengan sia-sia. Bahkan orang di luar sana mencoba tetap mempertahankan hidupnya. Aku terlalu bodoh untuk bisa bersyukur."
So Eun tersenyum, menggenggam erat tangan Park Ha.
"Sekarang tebuslah kesalahanmu. Pergilah. Hidup lebih baik dan berbahagia di sana. Setiap orang memiliki masalahnya sendiri, mengakhiri hidup bukan jalan terbaik dalam menyelesaikan suatu masalah," ucap So Eun, melepas genggaman tangannya pada Park Ha.
Gadis itu tersenyum sebelum menghilang dari hadapan So Eun dan muncul di dalam pintu di depan sana.
Kim Bum menutup pintu itu pelan, seketika cahaya putih kembali menelan benda itu dan menghilang.
"Semoga kau bahagia di alam sana," gumam So Eun setelah pintu itu lenyap di hadapannya.
So Eun melangkahkan kakinya untuk pergi, matahari sudah menampakkan diri. Sepertinya gadis itu harus mempersiapkan mental untuk dua hal, yang pertama dimarahi atasan karena terlambat bekerja atau dipecat langsung.
"Aku tidak menyangka kau sehebat ini. Kau sungguh pemberani, maukah kau bekerjasama denganku dalam sebuah misi?" tanya Kim Bum.
"Aku tidak tertarik," sahut So Eun, kakinya melangkah lebar menuju tempat pemberhentian bus.
"Aku butuh bantuanmu, So Eun. Aku lakukan apa saja untukmu," rayu Kim Bum.
"Tidak! Terima kasih," jawabnya sebelum berlari ke arah bus yang akan mengantarnya pulang.
"Yak!, Kim So Eun, aku bersungguh-sungguh," ucap Kim Bum sebelum melihat tubuh mungil gadis itu memasuki bus.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top