Part 13

Happy Reading 😘
Maaf typo

*
*
*

Brak...

Suara pintu terbuka dengan kasar. Sosok pria bertubuh tinggi muncul dari gumpalan asap kabut. Kim Bum menoleh dan tersenyum lega melihat pria itu. Habaek. Pria itu muncul dengan penampilan yang sesungguhnya. Rambut pendeknya kembali panjang lengkap dengan jubah kebesaran. Kim Bum senang meski sang dewa tidak menampakkan senyumnya sedikitpun .

"Habaek ... Anda datang?" ujar Kim Bum lega.

Habaek tidak menjawab pertanyaan Kim Bum, ia segera menggendong So Eun keluar dari ruangan itu. Seketika tubuh mereka menghilang saat berada di luar kamar.

Keluar dari pusaran lubang dalam sekejap mereka bertiga sampai di rumah atap So Eun . Kim Bum terperangah, bagaimana bisa itu terjadi? Setahunya Habaek tidak bisa menggunakan kekuatannya secara sempurna, tapi kali ini Dewa Air menunjukkan kekuasaannya.

Habaek membaringkan So Eun di ranjang. Penampilan pria itu juga berubah, kini ia tidak mengenakan pakaian kebesaran hanya kaos putih dan celana jeans hitam. Rambut panajang berwarna biru keabuan kembali berwarna hitam. Semua kembali normal.

Kim Bum berdiri di amabang pintu, menatap Habaek menyelimuti tubuh So Eun. Kim Bum merasa ia telah gagal menjaga gadis itu, bahkan ia hampir mencelakainya.

"Jangan merasa bersalah. Itu adalah jebakan, kau tidak akan bisa menghindarinya," ujar Habaek menatap Kim Bum.

"Itu tempat apa? Kenapa saya tidak bisa menyentuh apa pun, termasuk So Eun," lirih Kim Bum, menatap So Eun yang berbaring dengan mata tertutup.

"Itu adalah pusat kebenaran. Siapa pun yang masuk ke dalam tempat itu akan menjadi dirinya yang sejati."

"Apa maksudmu? Apa saya benar-benar sudah mati? Bagaimana dengan So Eun?" tanya Kim Bum.

"Gadis itu memiliki sesuatu yang diinginkan oleh seseorang. Untuk itu kalian diarahkan pada pusat kebenaran," jelas Habaek.

"Tapi siapa?"

"Aku tidak tahu. Ada dua kemungkinan malaikat maut atau penghuni langit," sahut Habaek. "Kim Bum apa kau mengingat sesuatu?"

Kim Bum menatap Habaek bingung. Tidak ada ingatan berarti dalam kepalanya. Hanya sebagian kecil dan ia tidak yakin akan ingatan itu. Kim Bum duduk di tepi ranjang So Eun. Habaek berdiri di depannya. Pria itu mendongkak menatap mata hitam sang dewa.

"Sedikit. Ketika So Eun tidak sadarkan diri saya merasakan sesuatu yang aneh," ucap Kim Bum.

"Temui dewa asmara, dia akan menolongmu," ucap Habaek, bersandar pada tembok dekat jendela.

"Apa hubungannya? Saya tidak sedang mencari jodoh," kata Kim Bum jengkel.

"Dia mengetahui segalanya."

Mereka terdiam cukup lama, bergulat dengan pikiran masing-masing. Bagaimana bisa Dewa Asmara mengetahui segalanya. Apa ini hanya sebuah permainan? Kim Bum menatap Habaek penuh tanya, begitu pula dengan sang dewa.

"Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan, tapi sebelum aku menjawabnya ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu?" Habaek membungkuk, mensejajarkan wajahnya dengan Kim Bum, membuat pria itu menarik tubuhnya ke belakang.

"Mwo?" Kim Bum membulatkan mata hitamnya melihat Habaek menatap dengan tajam.

"Perutku terasa aneh, sejak siang tadi tidak berhenti berbunyi. Bisa kau mencari ramuannya?" ujar Habaek meremas perutnya.

"Saya bisa membuat ramuannya," ucap Kim Bum membuat Habaek menegakkan tubuh.

"Wah, daebak. Aku tidak menyangka kau bisa menjadi tabib."

Kim Bum tersenyum melihat mata Habaek berbinar, andai Dewi Samshin melihatnya ia pasti akan memukul kepala Habaek sampai sang dewa menjerit minta ampun.

Dewa Habaek dan Dewi Samshin selalu bersitegang, Kim Bum sendiri tidak pernah tahu penyebabnya. Sang dewi hanya bilang jika ia membenci Habaek yang kekanakan.

Kim Bum berdiri dan keluar dari kamar So Eun. Dapur adalah tujuan pria itu, meski ia kurang memahami cara menggunakan alat masak tapi ia yakin bisa membuat satu makanan yang layak dikonsumsi untuk seorang dewa. Menjelma menjadi manusia akan sulit bagi Habaek, terlebih sifat manusia yang berbeda sehingga sulit untuk dipahami.

Kim Bum memenuhi panci kecil dengan air, kemudian meletakkannya di atas kompor. Api menyala menghangatkan air dalam wadah. Kim Bum kemudian keluar meninggalkan sang dewa sendiri di dalam dapur.

"Untuk apa air itu?" gumam Habaek mendekati kompor dengan api menyala. Pria itu mendekat dan membuka tutup panci, tangannya terulur di atas panci dengan mata terpejam. Air dalam panci bergejolak membentuk pusaran kecil, tertarik ke atas dan terserap ke tangan besarnya.

Habaek tersenyum masih dengan mata terpejam. Tubuhnya terasa lebih baik dari sebelumnya, perut yang terasa perih perlahan kembali normal.

Air dalam panci menyusut, membuat panas api dengan cepat menguapkan sisa air. Habaek membuka mata ketika merasa suhu tubuhnya menjadi panas. Matanya membulat melihat panci mengeluarkan asap. Habaek perlutut dan bersujud dengan wajah pucat melihat api berada di dalam panci menggantikan air di dalamnya.

"Mohon ampun, Dewi Jowangshin," ucapnya sambil bersujud berkali-kali.

"Yak! Apa yang Anda lakukan?" Kim Bum berlari mematikan kompor. Habaek berdiri dengan wajah pucat.

"Dewi sedang marah," gumam Habaek menatap api yang berada di dalam panci dengan wajah sedih, sedangkan Kim Bum masih panik mencari sesuatu untuk memadamkan api.

"Kita butuh air," ujar Kim Bum mulai frustasi.

Habaek menjentikkan jarinya, membuat bola air besar muncul di atas kepala Kim Bum.

Kim Bum mendongkak, menelan salivanya dengan pelan, perasaannya tidak enak. Habaek mengepalkan tangannya membuat bola air itu pecah dan mengguyur tubuh Kim Bum.

Cipratan air membuat api dalam panci padam. Sang dewa tersenyum senang melihat api itu menghilang. Kim Bum mematung, sekujur tubuhnya basah, air berserakan membanjiri lantai, ditatapnya Habaek dengan tajam.

"Lihatlah, apinya padam. Dewi sudah tidak marah lagi," ujar Habaek gembira.

Kim Bum menghembus napas panjang, pria itu tahu jika Habaek mencintai Dewi Jowangshin--Dewi perapian-- yang cantik dan galak. Tidak heran jika mereka selalu bertengkar hal-hal kecil . Seperti api dan air yang tidak pernah menyatu. Tapi mereka selalu bersama pada setiap kesempatan terlepas dari perbedaan mereka, Kim Bum bisa melihat cinta yang besar tumbuh di hati mereka.

"Kenapa Tuan menyiram saya?" katanya kesal. Kim Bum membersihkan pakaiannya yang basah. Habaek tersenyum kemudian menjentikkan jarinya berharap jika pakaian Kim Bum kembali kering. Namun yang terjadi malah sebaliknya, bola air kembali mengguyur tubuh Kim Bum.

"Mianhae, aku lupa tidak bisa menggunakan kekuatanku," ucap Habaek penuh penyesalan.

"Setidanya Anda tidak melakukannya lagi. Aku yakin So Eun akan marah melihat dapurnya berantakan, bagaimana jika--"

Suara derap langkah kaki membuat Kim Bum terdiam. So Eun muncul dari balik pintu dengan rambut berantakan, sesekali gadis itu memukul ringan kepalanya untuk mengusir rasa pening.

So Eun menatap dua pria di depannya dengan kening tertekuk. Gadis itu mendekat tapi air membuat lantai menjadi licin sehingga itu terpeleset.

"Aww."

Lembut, pikir Kim Bum dengan mata terpejam.

So Eun membulatkan matanya melihat Kim Bum berada di bawah tubuhnya. Gadis itu berteriak kencang, bukan karena ia menindih Kim Bum tapi aset berharganya tepat berada di atas wajah pria itu.

So Eun menjauh dari Kim Bum dengan tangan menyilang di depan dada. Sesekali tangan kecilnya memukul tubuh Kim Bum sebelum pria itu menghilang.

Habaek mengulurkan tangan, melebarkan telapak tangannya ke bawah untuk menyerap air. Seketika lantai menjadi kering. Ia berjongkok di depan So Eun yang masih menangis histeris.

"Hei, So Eun berhentilah menangis, kau terlihat semakin tua," ujar Habaek membuat tangis So Eun mereda. Habaek menghapus air mata So Eun dengan sebuah kain. Tangis So Eun berhenti ketika bau amis tercium dari hidungnya.

"Yak! Dari mana kau dapatkan kain itu?" ujar So Eun dingin.

"Aku mendapatkannya di bawah sana, dekat rumah kecil itu," tunjuk Habaek ke sudut ruangan.

So Eun kembali menangis mendengar pernyataan Habaek. Bagaimana bisa pria itu memakai kain pembersih kencing kucing untuk mengelap wajahnya. Tidak salah jika So Eun mencium bau tak sedap.

***

Onew terdiam dengan kepala menunduk. Appa dan eoma-nya sedang marah, terlihat dari wajah keduanya yang memerah.

"Katakan yang sejujurnya!" ucap pria tua di depannya dengan tegas.

Onew mendongkak, menatap wajah keriput itu tanpa senyum. Tidak satu pun kata yang ia lontarkan, semua akan sia-sia jika ibu dan saudaranya tetap menyalahkan Onew.

"KATAKAN!"

"Nde. Aku memang bekerja menjadi badut di sebuah mall, tapi bukan karena pengaruh dari So Eun. Dia temanku, tidak ada hubungannya dengan keputusanku," jawab Onew.

"Berhenti berteman dengannya. Appa tidak ingin kau menjadi anak pembangkang. Berhenti bekerja di tempa itu mulai besok!"

"Appa, ini tidak adil. Aku sudah katakan padamu jika aku bisa mandiri da--"

"Yak! Berhentilah membantah appa mu. Dari dulu kau selalu membuat malu, lihat Sang Woo, dia pintar dan memiliki pekerjaan yang bagus di perusahaan. Bukan menjadi badut penghibur," sindir seorang wanita paruh baya yang duduk di samping appa-nya

"Jangan menilai seseorang dari pekerjaannya. Eomma tidak akan pernah merasakan bagaimana orang di luar sana berlomba mencari pekerjaan dengan tenaga mereka sendiri, bukan karena kekuasaan."

Onew berdiri dari duduknya, membungkuk badannya memberi hormat sebelum pergi dari ruang makan.

***
Suara isak tangis kadang masih keluar dari bibir So Eun. Meski ia ingin melupakan semua kejadian sore tadi, tetapi ingatan itu semakin melekat di kepalanya membuat gadis itu berteriak sendiri. So Eun mencoba menutup kedua matanya, digulungnya selimut untuk membungkus badan kurusnya hingga ia tidak bisa bergerak seperti kepompong.

So Eun mencoba tidur tapi bayangan setiap kejadian terus berputar dalam memorinya seolah itu adalah peristiwa bersejarah yang harus dikenang. So Eun sungguh malu dan juga marah pada pria berwajah malaikat itu --Kim Bum.

Suara dering ponsel bututnya mengalihkan pikirannya So Eun. Diraihnya ponsel itu setelah bebas dari gulungan selimut. So Eun membaca pesan masuk dengan wajah cemas. Gadis itu pergi dengan buru-buru.

"Hey, kau mau ke mana?"
Habaek menatap So Eun yang mengenakan alas kaki yang berbeda di kedua kakinya.

"Bisakah kau membantuku? Temanku kecelakaan aku harus segera ke sana," ucap So Eun cemas.

"Kau urus saja sendiri," sahut Habaek acuh.

So Eun yang jengkel atas penolakan itu segera menyeret tangan Habaek untuk ikut dengannya. Pria itu tidak henti mendeklarasikan penolakannya namun, tidak sedikitpun Habaek menepis tangan So Eun yang menyeretnya.

Mereka sampai di sebuah taman, suasana sedikit sepi karena ini bukan tempat hiburan yang selalu ramai setiap saat terutama weekend. So Eun berlari menyusuri jalan taman, Habaek mengikutinya dari belakang.

So Eun berlari ke arah danau. Sepi. Tidak seorang pun terlihat di sekitar tempat itu. So Eun merogoh saku mantelnya dan menghubungi seseorang. Habaek melipat tangannya di depan dada, terdiam memperhatikan So Eun yang kebingungan.

Suara ponsel terdengar nyaring tidak jauh dari tempat So Eun berdiri. Gadis itu mendekat ke sumber suara. Seberkas cahaya terlihat di atas rumput basah. So Eun berlari mendekati benda itu, dimatikan sambungan telepon dari ponselnya.

So Eun mengerdarkan pandangannya, berharap melihat pemilik ponsel yang ia genggam. Mata almond-nya melebar ketika melihat tubuh seseorang mengapung di tengah danau.

"ONEW!!" teriaknya kencang. Air mata So Eun lolos begitu saja, hatinya seperti tertikam beribu pisau, sesak hingga tak bisa bernapas.

Habaek segera mencekal tangan So Eun sebelum gadis itu menceburkan diri ke dalam danau. So Eun memberontak ingin sang dewa melepaskan tangannya.

"Jangan gegabah! Itu bisa membahayakan dirimu," ujar Habaek membuat So Eun berhenti memberontak.

"Aku mohon lepaskan tanganku. Aku tidak ingin sahabatku pergi, hiks ... hiks," tangis So Eun.

"Tenanglah, jangan panik. Aku akan membantu."

So Eun mendongkak menatap Habaek yang lebih tinggi darinya. Benarkah pria itu akan membantunya menolong Onew?

Habaek tersenyum menenangkan So Eun yang sedang kalut. Tangannya terulur ke arah tubuh mengapung itu. Gumpalan air berbentuk permadani muncul dari dalam air, membawa tubuh tak berdaya itu ke daratan, tepat di depan So Eun.

"Yak! Onew, apa kau bisa mendengarku?" So Eun menampar pipi sahabatnya, sesekali ia menekan dada untuk mengeluarkan air di dalam tubuh Onew.

Tidak ada respon, mata sipit itu belum terbuka membuat gadis itu semakin takut. Habaek berdiri di belakang So Eun, tangannya terulur seolah ia sedang menarik sesuatu. Bibir Onew terbuka, air biru bercahaya tiba-tiba keluar dari mulutnya. Habaek menyerap air itu dengan tangannya.

Onew terbatuk, matanya perlahan terbuka. So Eun merasa lega melihat sahabatnya baik-baik saja.

"Gwenchana?" tanya So Eun lembut.

"Aku ada di mana?" Onew menarik tubuhnya untuk duduk. So Eun membantunya.

Sebuah cahaya tiba-tiba mencul di punggung Onew, seketika sosok perempuan berambut panjang keluar dari tubuhnya dan menghilang bagaikan uap.

"Kau aman sekarang," ucap So Eun lega.

TBC

Semoga kalian suka dengan part ini 😊, terima kasih bagi reader yang sudah komentar dipart sebelumnya, nanti akan saya balas satu per satu.

Selamat malam jumat 😂
Sampai jumpa dipart selanjutnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top