Chapter 9

Setelah perdebatan yang tidak penting, akhirnya aku dan Dave mengambil posisi  duduk saling berhadapan dengan kaki bersila di atas tempat tidur. Aku sibuk dengan kertas di pangkuanku, begitu juga dengan Dave. Kami sedang menulis sebuah kesepakatan.

"I'm done!" pekikku seraya meletakkan kertas di hadapan Dave.

"Gue juga," balas Dave tak mau kalah. "So? Lo yang pertama," pintanya.

Aku mengambil kembali kertasku yang tergeletak di atas ranjang. Tarik napas ... hembuskan. Aku bersiap untuk melontarkan syarat yang wajib dipatuhi untuk kesepakatan kami.

"Oke!" And the first ... Gue nggak mau sekamar sama lo."

Itu poin penting, karena antara aku dan Dave tidak ada kata cinta.

"Deal! Itu juga yang ada di daftar pertama gue."

Bagus kalau dia sadar diri. Aku mencontreng poin pertama yang artinya sudah sepakat.

"Kedua ... Gue nggak mau lo ikut campur urusan gue. Apapun itu."

Itu sangat jelas, karena aku tidak akan ikut campur dalam urusannya.

"Deal! Gue juga nggak suka mencampuri urusan lo, dan gue nggak minat sama urusan lo." Dave menandai kertasnya.

Berarti dalam poin ini kami satu pemikiran. Bagus!

"Ketiga ... Gue nggak mau nerima apapun pemberian dari lo. Dalam bentuk apapun, gue nggak mau nerima." Tegasku.

Aku bukan tipe orang yang suka meminta dan juga tidak mudah untuk menerima pemberian orang lain. Jika aku masih bisa usaha sendiri, kenapa harus merepotkan orang lain? Itu prinsipku.

"Nggak bisa, Key," sanggah Dave. "Status gue sekarang itu suami lo. Yah ... walau gue maksa lo sih, tapi gue wajib nafkahin lo, minimal ngasih uang bulanan."

Aturannya memang seperti itu, tapi aku tak mau berhutang nantinya. Bagaimana ya? Status kami memang sah di mata hukum dan agama sebagai suami istri. Memang kewajiban Dave memberiku uang bulanan dan memang hakku menerima nafkah. Tapi kalau menolak pemberian suami, dosa tidak ya?

"Oke!" Kompromi sajalah. "Silakan lo lakukan kewajiban lo, tapi gue nggak akan pakai sepeser pun uang dari lo." Mungkin itu solusi yang tepat.

"Itu sih terserah lo ...." ucap Dave berlagak tak peduli.

Aku juga tak peduli. Jika nanti sewaktu-waktu kami berselisih dan memperdebatkan materi, aku sudah siap melempar kembali pemberiannya secara utuh.

Lagipula memang dari awal itu bukan diperuntukan untukku, tapi untuk mantan calon istrinya yang hilang entah ke mana. Lebih baik aku lanjutkan membaca syarat kesepakatan sialan ini.

"Keem---"

"Tunggu!" Dave menghentikanku. "Lo udah ngajuin tiga syarat. Giliran gue." protesnya.

Aku mendengus kesal. Harusnya dia mengalah padaku dan membiarkan aku saja yang memberikan syarat. Dia sudah menjebakku, maka dia harus menerima segala syaratku dan mempertanggungjawabkannya.

Tapi kalau cuma aku yang memberikan syarat, bukan kesepakatan namanya. Ya sudahlah, aku mengalah saja. Semoga syarat dari dia tidak merugikan aku yang jelas-jelas sudah menjadi korban. Aku kemudian mengangguk padanya, memberikan kode untuk mengajukan syarat darinya.

"Oke! Poin satu dan dua, gue sepakat sama lo. Poin ketiga kita udah sepakat juga. Poin keempat, gue minta lo bisa bersikap layaknya seorang istri di hadapan keluarga dan rekan bisnis gue."

Syarat macam apa itu? Kenapa dia membuat syarat konyol seperti itu?

"Gak bisa gitu dong!"

Itu namanya mimpi buruk. Aku tidak bisa melakukannya.

"Pernikahan ini udah salah dari awal dan gue bukan tipe orang yang suka bersandiwara. Kalau bukan karena ancaman bokap, gue juga ogah mau buat kesepakatan sama lo. Mending gue jadi janda muda, deh!"

Bagaimana mungkin aku harus bersikap layaknya istri sungguhan? Berdekatannya dengannya saja membuatku kesal hingga ke ubun-ubun. Menyebalkan sekali.

"Nah!! Justru itu," Dave mencondongkan kepalanya ke arahku. "Bokap gue juga ngancem gue. Mending lo ikutin syarat gue supaya kita bisa menikmati kebebasan di sini. Toh ... cuma di depan keluarga sama rekan bisnis. Lagian ... bakal jarang juga gue boyong lo ke acara bisnis."

Siapa juga yang mau ikut ke acara-acaranya? Bagaimana, ya? Dad mengancamku, papanya yang tak lain ayah mertuaku juga mengancamnya. Heran aku tuh ... kenapa para orang tua mainannya ancam-ancaman? Sebelum menikah diancam. Eh ... sudah menikah tetap saja dapat ancaman.

"Lo pikir deh," aku menatap Dave dilema. "Bokap kita ngancemnya mindahin kita ke LA. Lo dan gue jelas-jelas nolak, kan?" Aku mengangguk. "Lo pasti punya kepentingan di Jakarta, dan gue juga. Jadi, biar sama-sama untung, lo setuju aja, deh!"

Benar juga apa yang dikatakan Dave. Agar tetap berada di sini, kami harus belajar untuk bersandiwara.

"Oke! Gue banyak urusan di kota ini." Dave menjentikan jarinya, dan kemudian mencontreng kertasnya.

"Bagus!"

Dia terlihat senang sekali. Aneh.

"Nah, poin kelima. Gu---"

"Gue nggak mau kita ada kontak fisik," potongku cepat. "I mean ... sex," poin ini sangat penting. "Ya kalau cuma pegang tangan atau lo rangkul gue nggak apa, tapi itu cuma berlaku saat di depan keluarga dan rekan bisnis lo. Tidak lebih. Paham?"

Aku harus mempertegas dan memperjelas poin ini demi keselamatanku sendiri. Walaupun nantinya bagaimana, misal pahit-pahitnya bakal jadi janda, minimal gue janda bermartabat.

"Oke! Gue setuju," Dave mengangguk dan langsung menulis pada kertasnya. "Lagian, gue juga nggak minat sama body lo."

Eeh?

Dia bilang apa? Aku tak terima diejek seperti itu. Kesal, bantal pun langsung aku layangkan padanya dan memukul Dave sepuasnya. Body model begini dia tidak minat? Wah! Kelainan sepertinya ini orang.

"Songong amat sih lo! Siapa juga yang mau digrepe sama lo, cih!" ketusku sembari menjauhkan diri darinya.

Karena bantal hotel lumayan berat dan padat, aku sampai ngos-ngosan. Lelah juga menyerang setan satu ini.

"Ah ... yakin lo nggak mau gue grepe?" Mual aku mendengarnya. "Asal lo tau ya, para wanita malah pada ngatri pengen digrepe sama gue."

Sumpah aku bergidik ngeri mendengar nada sensualnya yang menggoda. Jujur saja, aku merasa Dave adalah pria mata keranjang. Berbeda dengan Joe. Hampir tiga tahun jalinan kami, belum pernah sekali pun Joe menyentuhku secara emosional. Ciuman? Tentu aku pernah melakukannya. Namun, intensitasnya masih bisa dihitung dengan jari.

Jangankan ciuman, saat Joe memelukku saja jujur aku merasa risih. Entahlah, aku juga tak mengerti kenapa tubuhku seolah menolak sentuhan dari Joe. Nah, bukankah sikap Joe begitu menghormatiku sebagai wanita? Tapi mengapa keluarga dan sahabatku tidak menyukainya? Aneh.

Kembali pada pria mesum di hadapanku ini. Wajahnya masih menyeringai nakal. Apa sih maunya?

"Dave!! Kalau lo macam-macam, gue kebiri lo!!"

Bukannya takut, Dave justru tertawa terbahak-bahak. Serius cari mati ini orang.

Tanpa ampun, aku kembali menghadiahinya timpukan bantal bertubi-tubi. Mulutku sudah menyemburkan sumpah serapah untuknya. Biar saja aku dicap sebagai istri durhaka. Aku tak peduli.

Bugh!

Sialan. Dave rupanya tak terima. Dia justru membalas dan memukul lenganku dengan bantal. Oh tidak bisa. Aku tidak mau kalah darinya. Rasakan jurus maut Keyra yang super ini.

Hiiiiiaaa!!!!

Bugh!

Bugh!

Bugh!

"Haaahh!!" Napasku terengah-engah kelelahan.

Aku tak kuat. Akhirnya tubuhku ambruk di kasur, terlentang tak berdaya. Pun dengan Dave yang ngos-ngosan. Dia juga terlentang di sampingku.

"Hahahaaa ..." kami tertawa.

Puas.

Entah mengapa rasanya begitu lega setelah perang bantal kami lewati. Ini adalah malam pertama, seharusnya dilakukan dengan cara yang romantis. Namun, yang terjadi adalah kekonyolan yang tak ada gunanya.

"Dave,"

"Hhm?"

"Sudah lima poin kesepakatan. Apa ada poin yang lain?" tanyaku ngos-ngosan.

Aku butuh udara segar.

"Bukan kesepakatan, tapi pertanyaan yang mau gue dengar jawabannya dari lo."

Aku langsung memiringkan kepala, menatap Dave yang masih tersengal-sengal.

"Apa?" tanyaku pelan.

"Sampai kapan kita harus bertahan dengan pernikahan ini?" Napasku tercekat.

Sampai kapan? Aku memandang Dave lekat. Karena tak jua mendengar suaraku, Dave pun menatapku penuh harap.

"Harusnya gue yang nanya, lo yang jebak gue, jadi lo yang harus bebasin gue, Dave."

"Tapi, Key ..." Dave memiringkan tubuhnya. "Dalam hidup, gue pantang untuk melepas. Gue tahu kalau gue salah, tapi gue anti perceraian."

Aku menganga mendengar jawabannya.

"Lo gila, ya!" pekikku seraya memiringkan tubuh dan menghadapnya dengan mata melotot. "Terus ... gue yang harus gugat cerai lo? Bisa-bisa gue dipasung bokap. Gue nggak bisa terus-terusan hidup sama lo, Dave. Gue nggak akan bisa punya perasaan sama lo, dan gue juga nggak mau ada perasaan di antara kita."

Sungguh aku ingin mengulang waktu dan tak pernah berada di gereja itu. Jika saja pemutar waktu ada di dunia ini, sungguh aku ingin meminjamnya.

"Apa ini poin yang keenam?" Dave terkekeh.

"Yes!!" tegasku.

"Oke! Gue juga nggak mungkin naruh perasaan sama lo."

Kenapa dia begitu santai? Otakku mulai panas dengan sikapnya. Dia memprotes seakan ingin menahanku, tapi juga menyetujui seakan kami tak ada ikatan. Memang, ikatan perasaan tidak ada sama sekali. Namun, faktanya kami terikat dalam pernikahan. Ini benar-benar gila.

"Dave?"

"Hhmm?"

"Gue punya poin ketujuh."

Mungkin ini sebagai penyelamatku dari penjebakan ini.

"Banyak banget poin lo?"

"Emang kenapa?" Dave sungguh menyebalkan.

"Nggak usah melotot. Emang poin ketujuh lo apa?"

Sebenarnya aku tak yakin tentang poin ketujuh. Bingung juga harus menyampaikannya seperti apa. Namun, harus aku utarakan.

"Eng ... gue pengen kita berdua, untuk pertama kali dan terakhir kalinya saling terbuka sebagai suami istri. Lo ceritain masalah lo, dan gue juga akan ceritain masalah gue. Hanya saat ini saja, dan selanjutnya kembali ke poin 2. Tidak mencampuri urusan masing-masing."

Dave tampak berpikir dengan poin ketujuh yang aku sampaikan. Dahinya sampai mengkerut dan alisnya hampir menyatu karena berpikir. Memangnya pernyataanku barusan begitu susah untuk dicerna, ya?

"Apa alasan lo nyatain poin ketujuh?" Bukannya menjawab, dia malah bertanya.

"Alasannya ... karena gue istri lo sekarang. Maksud gue ... setidaknya gue tahu alasan lo sampai tega ngejebak gue dalam pernikahan ini. Yah ... mungkin suatu hari gue ketemu orang yang ngaku cewek lo, dan gue setidaknya bisa antisipasi, untuk lo juga gitu. Anggap saja poin ketujuh sebagai awal pengenalan diri kita masing-masing supaya kita bisa sadar dengan poin keenam. No feeling."

Dave diam, mungkin dia sedang berpikir dan mempertimbangkan. Aku menatapnya lekat, hingga mulutmya mulai membuka, namun tertutup kembali. Aku melotot padanya, dan akhirnya dia bersuara.

"Oke! Gue setuju." Dave menyanggupinya.

"Good! Jadi ... ceritakan diri lo."

Dave menghela napas, kemudian kembali pada posisinya yang terlentang. Aku tak mengharapkan hal apapun dari pernikahan ini. Aku hanya ingin sebuah jawaban karena bagiku sangat tidak adil jika telah berada dalam penjebakan yang tak aku tahu alasan di baliknya. Aku yakin Dave bukan orang bodoh yang sengaja menjebakku ke dalam pernikahan.

Setidaknya, otakku sedikit menerima alasan yang sebenarnya.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top