Chapter 8
[ Keyra ]
●●●
Jika kalian dalam posisiku dengan pernikahan mendadak yang tak pernah diharapkan terjadi, apa yang akan kalian lakukan? Pingsan? Kabur? Atau mendadak histeris seperti orang gila supaya semua orang menganggapmu benar-benar gila?
Sungguh aku ingin melakukan ketiga hal itu, tapi tak bisa. Tubuh dan otakku berlawanan arah. Otakku sudah berpikir jauh dan membuat rencana busuk. Tapi tubuhku justru memilih setia mengikuti setiap prosesi.
Argh!
"Rara, ayo ikut Dad sebentar." Aku hanya bisa mengangguk patuh, kemudian memeluk lengan Dad dan mengikuti langkahnya.
Kami sudah tiba di hotel di mana acara resepsi akan diadakan sebentar lagi. Aku dan Dave belum berbicara apapun. Ketika di mobil pun kami duduk dengan jarak yang cukup lebar. Jenny sempat muncul di hadapanku ketika semua rombongan keluar dari gereja. Dia sangat terkejut, tentu saja. Modelnya berubah menjadi pengantin sungguhan.
Dad membawaku ke sebuah kamar yang aku tak salah tebak adalah kamar menginap untuk orang tuaku. Mom yang ada dalam kamar langsung menyambutku dengan sumringah. Ada apa dengan orang tuaku? Mereka bahagia di atas penderitaan anaknya.
"Rara, apa kamu bahagia?" tanya Dad tenang.
Kami bertiga duduk di sofa dengan Mom dan Dad mengapitku.
"Dad, gimana Rara bisa bahagia? Apa Dad tahu kalau a---"
"Dad sudah tahu," aku menganga tak percaya. "Kamu pasti kesal sekaligus heran, kenapa Dad percaya kalau kamu adalah calon istri Dave, kan?" Aku mengangguk lemas.
Jelas saja aku heran. Dad orangnya tak mungkin mudah percaya dengan orang asing. Dulu saja, orang yang ingin berteman dengan kami---anak-anaknya---saja harus melewati proses seleksi. Lah ini? Iklhas begitu saja putrinya dinikahi orang lain tanpa proses apapun.
"Dad tahu kalian tidak pernah ada hubungan apa-apa. Tapi melihat Dave yang kalut karena calon istrinya tidak muncul, Dad merasa kasihan."
Tapi Dad nggak kasihan padaku. Hiks!
"Kamu tahu kalau Dave meminta Dad untuk menjadi pendamping calon istrinya?" Aku menggeleng karena tentu saja aku tidak tahu.
Aku tak mau tahu, karena memang bukan urusanku. Tapi aku malah terjebak dalam urusan tak jelas ini.
Seandainya tahu orang tuaku menghadiri pernikahan anak sahabatnya di gereja itu, mungkin aku akan menolak atau minta pindah tempat pada Jenny. Nyatanya, tak ada yang sesuai harapan.
Aku ingin teriak! Sungguh.
"Dad sebagai pendamping mempelai wanitanya tidak tahu siapa pengantinnya, jadi apa salahnya kalau Dad merestui kalian?"
Santai sekali jawabannya.
"Lagian, Dave anak yang baik, mapan, dan pastinya Dad lebih rela kamu bersama Dave daripada si Liems itu."
Sekali lagi, Dad membuatku hanya bisa menganga tak percaya. Ayahku ini pasti tengah kesurupan jin.
"Dad! Harusnya Dad dengar penjelasan Rara dulu. Kak Ken gimana? Argh! Rara benci kalian."
Karena geram, aku pun membanting punggung bersadar pada sofa.
"Sayang, tujuan Dad itu baik. Memang terkesan memaksa, karena memang keadaannya sudah mendesak, kan?" Mom membela Dad.
"Itu kan keadaanya si Dave, bukan Rara. Rara cuma jadi model gaun pengantin, tapi malah terjebak jadi pengantin. Apa kalian menjualku pada pria itu?" tuduhku dan mata Dad seketika memancarkan amarah.
"Jaga bicaramu, Keyra! Tanpa menjualmu, Dad bisa menghidupi keluarga kita sampai 7 turunan." Dad tak terima dengan pertanyaanku.
"Mom, Rara pengin ketemu Kak Ken ...." rengekku memeluk Mom.
Aku tak ingin memeluk Dad. Dia jahat padaku.
"Iya .... Mom sudah menelpon Ken. Sebentar lagi dia datang." Mom mengusap lembut lenganku.
"Rara, dengarkan Dad," aku tak ingin menatapnya. "Dave sekarang adalah suami kamu. Jangan pernah berhubungan lagi dengan Liems atau Dad akan meminta Dave untuk mengajakmu tinggal di LA bersama kami. Mengerti?"
Aku masih bergeming dalam pelukan Mom. Tidak mengangguk ataupun menggeleng.
Masa bodo!!
Aku kesal, aku marah, aku sedih dan aku galau. Hakku sebagai manusia disunat begitu saja. Aku ingin protes, demo di depan kantor DPR dan berkoar meminta hak azasiku dikembalikan.
Aku gilaaaa!!
Suara pintu diketuk dan Dad langsung membukanya. Muncul sosok pria yang selama ini melindungiku, Kak Ken yang diikuti oleh Jenny, si setan modis yang membuatku terjebak di gereja itu.
"Kak Ken!"
"Sstt! Kakak di sini." Kak Ken langsung memelukku dengan sayang.
"Kak, tolongin Rara ...." Aku memelas padanya.
"Mom ... Dad ... Bisa tinggalin kami sebentar?" pinta Kak Ken kepada kedua orang tua kami.
"Tentu. Kamu tenangin adik kamu, ya?" Mom paling mengerti kami.
"Kami akan keluar bertemu dengan mertuamu. Ingat ucapan Dad baik-baik, Rara." Tegas Dad dengan suara beratnya.
Aku hanya mengganguk samar. Sungguh rasanya aku ingin mengamuk saat ini. Begitu kedua orangtuaku menghilang dari pandanganku, aku semakin mengetatkan pelukanku pada Kak Ken.
Jenny yang duduk di sampingku juga mengusap punggungku supaya aku tenang. Aku tidak menangis, aku hanya syok, marah, tak terima dengan semua keadaan ini. Aku galau maksimal. Intinya aku tidak tenang lahir batin.
"Gimana kejadiannya?" tanya Kak Ken membuka suara.
"Tanya tuh ... sama si setan modis!" gerutuku menunjuk ke arah Jenny.
Yang aku tunjuk langsung menunduk. Mungkin dia merasa bersalah atau juga kebingungan. Memang bukan Jenny penyebabnya, tapi dia juga harus bertanggung jawab karena telah membawaku ke gereja itu. Walau untuk tujuan yang berbeda, namun hasilnya pun kini beda.
"Maaf, Kak ...." Jenny tampak takut. "Kami cuma berencana pemotretan. Sewaktu nunggu Keyra di belakang gereja, kami juga panik karena dia nggak muncul-muncul. Waktu aku kembali ke ruang rias dia juga nggak ada, cuma ada ponselnya. Terus aku dengar suara speaker orang nikahan. Awalnya aku pikir salah dengar waktu namanya disebut. Aku coba ngintip, tapi pintu udah ditutup. Eh ... pas pintu kebuka dan semua orang keluar, baru aku sadar kalau yang nikah itu Keyra. Uncle James juga tampak bahagia. Kalian cocok kok, Key."
Seketika tanganku mengepal dan menjitak jidatnya. Dia sampai meringis. Syukurin!
"Kok kamu mau nerima dinikahin orang itu, Ra?" tanya Kak Ken padaku lagi.
"Rara nggak nerima, tapi Dad yang nerima. Dad nggak ngasih waktu buat Rara jelasin, malah Dad langsung nyeret Rara ke altar. Huaaaa!!! Kakak ... Rara nggak mau sama Dave. Rara mau sama Joe!!" rengekkku seperti anak kecil.
Masa bodolah!
"Kakak masih belum paham," Kak Ken menggeser duduknya. "Tapi kalau kamu masih berpikir ingin bersama Joe, lebih baik kakak setuju dengan Dad dan menerima Dave sebagai adik ipar. Walau kakak masih marah karena dia nikahin adik kesayangan kakak tanpa izin."
Kenapa kakakku jadi ikutan membelot? Apa semua keluargaku mulai kehilangan kewarasan?
"Kak Ken jahat!!"
Semua orang jahat padaku. Aku kesal!
"Udah!" Kak Ken menarikku ke dalam pelukannya. "Semua udah terjadi. Nanti kakak akan bicara dengan suamimu."
"Dia bukan suamiku!" protesku.
"Lo udah nikah sama dia, Key. Nih buktinya," dia menarik tanganku. "Cincinnya nangkring di jari lo. Kok bagus banget, sih?" pujinya meneliti cincin pernikahanku.
"Iya loh ... bagus. Pasti ini dibuat khusus, deh ...." Aku suka banget dengan cincinnnya.
"Beruntung banget sih lo ... Dia buat di mana cincinnya?" Jenny penasaran.
"Nggak tahu. Nanti gue tanya, deh!" Aku juga penasaran. Tapi rasa penasaranku tiba-tiba terusik oleh kekehan Kak Ken. "Kenapa, Kak?" tanyaku sinis.
"Kamu ini aneh," dahiku mengkerut bingung. "Tadi aja mencak-mencak nolak Dave, giliran cincinnya aja langsung lupa. Malah dipuja-puja gitu. Hahahaha ...."
Bener juga, ya?
"Eh? Nggak!" Aku malu. "Cincinnya nanti Rara balikin." Walau dalam hati sungguh tak rela melepas cincin ini.
Bagus banget.
Mereka berdua masih menertawakanku yang sekarang menahan malu karena jatuh cinta dengan cincin pernikahan konyol ini. Pikiranku sangat kalut. Aku memilih mengabaikan ledekan mereka.
Satu sisi keluargaku begitu mendukung pernikahan ini, dan tentu saja alasan mereka menerimanya supaya aku menjauh dari Joe. Apa bedanya kalau begitu dengan niatan Dad yang menjodohkanku dengan pria lain? Dave juga pria lain yang aku tidak kenal dengan baik.
***
Akhirnya kelar juga acara resepsi yang tak pernah aku harapkan. Bagiku itu tidak cocok disebut resepsi tetapi gala dinner antar pebisnis.
Hello ... Aku dan dia masih sama-sama muda, tetapi yang hadir tua bangka semua.
Saat ini kami berdua---aku dan Dave---berada di dalam kamar pengantin. Oh Tuhan! Seandainya aku menikah dengan pria yang aku cintai, pasti kamar ini akan terlihat sangat romantis.
Hah!
Saat aku keluar dari kamar mandi, Dave terlihat duduk bersadar di atas ranjang. Sejenak aku berpikir, tak mungkin kami tidur seranjang. Aku tak mau.
Aku pun memintanya tidur di sofa, tapi dia tak terima dan mengungkit perihal semua tetek bengek acara pernikahan ini adalah dari uangnya. Aku tahu itu, dan aku tak pernah ingin ada di dalam situasi ini.
Aku mengabaikan Dave yang angkuh, lalu beranjak menuju lemari untuk mengambil pakaian ganti karena sekarang aku hanya mengenakan bathrobe. Namun betapa terkejutnya aku saat membuka lemarinya.
Kosong.
Ini benar-benar penjebakan tingkat dewa. Aku mendesaknya supaya mencarikan aku pakaian, tapi dengan songongnya dia menolak. Mana tanggung jawabnya?
Kesal, lebih baik aku menelpon siapa saja yang bisa aku mintai bantuan. Tapi ponselku mana? Dave sama sekali tak membantuku dan sungguh dia mengabaikanku.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk. Mom datang sebagai penyelamatku. Memang doa orang teraniaya pasti dijamah Tuhan. Tapi tak selalu tepat, karena Mom datang hanya membawakan pakaian untuk kami, bukan berniat membawaku kabur dari kamar sialan ini.
Oh! Jangan lupakan jika Mom sekarang begitu pro dan menyayangi Dave sebagai mantunya. Tak lupa, kakak tersayangku juga sudah membelot. Bayangkan saja, Kak Ken memberikan voucher berbulan madu di resort miliknya di Maldive.
Aku ingin protes dengan hadiah yang diberikan Kak Ken. Ini namanya penjebakan lanjutan dan kali ini justru keluargaku yang ikut ambil andil. Tapi saat ingin membuka mulut, Dave sudah menyambar lebih dulu.
Dengan manis dan sopannya dia berucap penuh janji kepada Mom. Ini bencana. Mom pasti mengira Dave benar-benar akan membahagiakanku. Siapa yang bisa menyelamatkanku sekarang?
Setelah Mom pergi, dia menarikku kembali ke dalam kamar. Tentu saja aku meronta dan tidak sudi untuk disentuh olehnya. Dia pikir dia itu siapa?
"Key! Let's make a deal!" ucapnya dengan tampang serius.
Aku menaikkan satu alisku, menatapnya dengan sinis.
Oh! You wanna play, boy? Ok!
~ o0o ~
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top