Chapter 35

Back to the real life.

Orang tuaku telah kembali ke LA. Kehidupanku pun kembali seperti sediakala, tanpa sandiwara. Sikap Dave masih sama seperti kemarin, cukup perhatian. Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja.

Rey dan Nessa pun telah kembali dari bulan madu mereka. Binar bahagia tercetak jelas pada raut wajah mereka. Aku turut senang, kedua sahabatku telah menemukan kebahagiaannya. Semoga saja, kelemotan Nessa bisa sembuh total setelah menikah.

Satu lagi sahabatku, Jenny. Walaupun dia menyebalkan, tapi kasihan juga melihatnya uring-uringan karena ditinggal ke Inggris oleh kakakku. Kemarin, sewaktu perpisahan, Kak Ken juga tampak tak tega meninggalkan Jenny. Maklumlah, mereka sedang kasmaran.

Tapi aku sangat mengenal kakakku. Aku yakin jadwal kunjungannya yang semula hanya dua bulan sekali, akan berubah menjadi sebulan sekali, bahkan mungkin seminggu sekali. Pasalnya, Dad sudah memberikan otoritas untuk salah satu pesawat jet milik keluarga di bawah tanggung jawab Kak Ken.

Selamat!

Mereka begitu dengan mulus mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sedangkan aku? Jalanku penuh kerikil tajam yang membuatku sakit. Terutama, masalahku dengan Joe.

Aku tak tahu, bagaimana dan seperti apa nasib hubungan kami. Sampai saat ini, kami tak ada komunikasi. Aku pun sudah tidak meminta Nico untuk mencari tahu. Percuma.

Entah prahara apa yang pernah terjadi antara keluargaku dengan keluarga Liems, Dad sama sekali bungkam tentang itu. Hanya satu ketegasannya, menjauh sejauh-jauhnya dari Joe.

Pertanyaanku cuma satu, kenapa harus menjauh?

Ponselku bergetar, memunculkan nama orang yang sedang aku pikirkan saat ini, Jonathan. Sejak dia mengakui perbuatannya, aku langsung mengganti nama kontaknya yang semula aku tulis My Joe menjadi namanya saja.

"Hallo?" sapaku.

"Key, kamu ke mana aja? Aku mencarimu." Alisku langsung mengkerut, mencoba menelaah ucapannya.

Apa aku tidak salah dengar? Joe mencariku? Untuk apa? Biasanya dia tak akan pernah repot mencari ataupun bertanya tentang keberadaanku.

"Aku berlibur bersama keluargaku." Memang kenyatannya seperti itu.

"Aku ingin ketemu."

"Tapi aku nggak bisa sekarang."

Tepatnya, aku belum siap bertemu lagi dengannya.

"Besok gimana?"

"Hhmm ... oke! Di mana?"

"Kafe langganan, jam 7 malam."

"Oke!" Jawabku singkat.

"See you tommorow, baby." Lalu sambungan telpon terputus.

Mataku menatap nanar layar ponsel yang telah redup. Mendengarnya menyebutku 'baby', rasanya sakit. Jika dulu aku begitu senang jika dia menyebutku seperti itu, tapi sekarang tidak.

Mungkinkah perasaanku padanya sudah terkikis? Atau hanya kekecewaanku yang terlalu dalam padanya sehingga membuatku enggan lagi padanya? Aku tak mengerti.

Kenyataan yang terjadi sekarang adalah jantungku selalu berdebar saat dekat dengan Dave. Mengingat namanya saja membuatku panas dingin. Ada apa denganku? Kenapa efek Dave membuatku merasa aneh? Mungkinkah aku mulai menyukainya?

Ketika dulu Joe menembakku untuk menjadi kekasihnya, aku tidak merasakan perasaan seperti ini. Hanya merasa senang, tapi tak segelisah atau segugup seperti saat dekat dengan Dave.

Ya Tuhan, apa yang terjadi? Jika benar aku mulai menyukai Dave, apa itu salah? Bagaimana dengan Bianca? Bagaimana dengan kesepakatan itu? Aku bingung.

Jujur, aku merasa telah kehilangan Joe. Jika memang perasaanku mulai muncul untuk Dave, egoku tidak siap untuk kehilangan lagi. Tapi aku tak boleh berharap. Setidaknya sampai aku bisa membuktikan bahwa perasaan ini adalah nyata.

Ponselku bergetar menampilkan satu pesan masuk dari Dave. Seperti mendapatkan durian runtuh, hatiku membuncah girang. Tanpa basa-basi langsung membukanya.

From: Dave
Key, lo di mana?

To: Dave
Di restoran. Kenapa?

From: Dave
Ok! Gue ke sana, ya? Kita lunch bareng. See u!

To: Dave
Ok!

Hanya saling berbalas pesan singkat dengan Dave saja tak hanya membuatku gugup, tapi juga kegirangan, padahal setiap hari kami bertemu.

Ya Tuhan! Aku harus apa sekarang?

***

Anggap saja sekarang aku sedang kesurupan. Gelisah sampai guling-gulingan di tempat tidur, duduk di sana salah, jongkok di sini tak nyaman, hingga senyum-senyum tak jelas.

Ini semua efek dari ucapan Dave tadi siang, sewaktu kami makan siang berdua. Setiap huruf dari setiap katanya masih terngiang di kepalaku. Nyatakah ini?

Kalian tahu? Dave ingin aku ikut ke Bali lusa nanti. Di sana dia memiliki condotel yang baru saja selesai dikerjakan. Karenanya, dia harus ke sana untuk rapat dengan para pemegang saham, juga menghadiri acara pembukaannya.

Awalnya aku sengaja jaim, padahal aku begitu degdegan karena ajakannya. Selain karena dia memelas, pun karena dia mengatakan bahwa statusnya sudah menikah dan para pemegang saham ingin tahu bagaimana istrinya, akhirnya aku luluh dan bersedia ikut dengannya.

Selain itu, dia juga menjanjikan akan mengajakku jalan-jalan. Anggap saja ini liburan kami untuk kesekian kalinya, hingga tiba waktunya nanti saat kenyataan bahwa kami harus berpisah.

Aku tak ingin memikirkannya. Yang terpenting sekarang bagaimana aku memanfaatkan waktu yang masih ada. Jika memang kenyamananku bersamanya adalah tanda bahwa aku mulai menaruh hati padanya, biarkan saja.

Aku akan memilih diam dan menikmati kebersamaan dengannya. Apalagi yang aku harapkan?

***

Seperti biasa, setiap pagi kami menikmati sarapan bersama. Hari ini Dave terlihat sangat tampan, tapi memang setiap hari seperti itu dan menggairahkan. Aku tidak bohong, hanya memang aku sering mengabaikan fakta itu.

"Key, nanti gue pulang agak larut. Gue harus beresin kerjaan sebelum berangkat besok. Gue boleh minta tolong nggak?" ucapnya sambil menguyah makanan.

"Apaan?"

"Kemasin pakaian gue, ya?" Dia memelas dengan cengirannya yang khas.

"Gala dinner ada dress code, nggak?" Aku harus memastikan supaya tidak salah mengemas pakaiannya.

"Nggak sih. Paling black and white. Terserah lo nanti pilih yang mana, gue bakal pakai nanti." Santai sekali ucapannya.

Apa dia sedang mengujiku sebagai seorang istri yang harus mengurus keperluan suami? Ini bukan mimpi, kan? Astaga! Jantungku...

"Hhmm ... oke!" Dia tersenyum padaku.

Kalau saja kami adalah sepasang suami istri yang normal, sudah pasti aku akan menariknya kembali ke kamar. Ya ampun... otakku jadi mesum.

Usai sarapan, kami sama-sama berangkat bekerja. Tentu saja mengendarai dua mobil yang berbeda. Petang nanti, aku ada janji dengan Joe. Aku harus siap untuk berhadapan dengannya lagi.

***

Pekerjaanku hari terganggu oleh kehadiran dua setan modis yang sudah menghantui hidupku selama ini. Mereka datang dengan kepentingan yang berbeda. Kalau Nessa, sudah pasti datang karena suaminya mengajak makan siang bersama. Tapi Jenny, dia galau karena merindukan kakakku.

"Jadi, besok lo ke Bali sama Dave?" tanya Jenny dengan wajah cemberut.

"Iya. Lo kan tahu, sebagai istri CEO gue harus ada di sampingnya. Mau nggak mau, gue ikut."

Sebenarnya bukan karena alasan itu saja, tapi aku masih ingin liburan bersama Dave. Rasanya resfreshing-ku selalu kurang.

"Nes, lo kok diem aja sih?" Jenny menatap heran pada Nessa.

Memang, setelah menikah, Nessa terlihat lebih pendiam. Biasanya dia suka nyeroscos, balapan dengan Jenny. Walaupun ujung-ujungnya bakal membuat kami kesal karena kelemotannya.

"Kata Rey, gue harus bisa kontrol diri agar gue nggak lemot terus. Kata Rey, gue nggak boleh asal ngomong, nanti nggak baik buat bayi kami." Aku dan Jenny sama-sama terkejut.

"Lo hamil, Nes?" pekikku antusias.

Hebat benar si Rey bisa goal dalam semingguan.

"Belum. Maksudnya nanti, kalau emang gue udah hamil. Belajar dari sekarang, biar nanti gue siap lahir batin." Jawabannya membuatku melengos kecewa.

"Yaahh ... Gue pikir bakal cepat jadi tante." Jenny juga terlihat kecewa.

"Harusnya Kekey yang duluan ngasih kita keponakan." Celetukan Nessa begitu menusuk.

Aku juga inginnya seperti itu, tapi sangat mustahil. Rey dan Nessa memang sudah tahu aku menikah dengan Dave, tapi mereka tidak tahu tentang kesepakatan dalam pernikahanku. Jadi wajar dia berpikir kalau aku memang sudah seharusnya mempunyai anak.

Obrolan kami terus berlanjut. Lebih banyak kami menginvestigasi Nessa tentang kegiatan bulan madunya. Tapi dia malah mesam-mesem dan benar-benar mengontrol diri untuk tidak banyak bicara.

Gila! Hanya seorang Rey yang mampu merubah cewek lemot menjadi kalem seperti ini.

Amazing!

***

Aku duduk gelisah, berkali-kali melirik pintu masuk pada sebuah kafe, antara siap dan tak siap untuk bertemu kembali dengan Joe. Namun, tak lama dia muncul, lalu duduk santai menghadapku.

"Key, aku minta maaf." Ujarnya membuka perbincangan kami.

"Untuk apa?"

"Untuk ucapanku waktu lalu. Aku menyesal harus mengatakannya padamu." Aku tersenyum tipis.

Aku sendiri bingung akan status hubungan kami saat ini. Apakah masih menjadi pacar atau sudah mantan pacar? Namun, belum ada yang menyatakan putus di antara kami.

"It's oke! Aku sadar diri, karena nggak bisa menjadi pacar yang baik buat kamu."

Memang sikapku selama ini jarang memperhatikannya, itu karena aku percaya padanya. Tapi nyatanya, dia menganggap lain.

"Tapi aku jujur, aku sayang kamu, Key. Aku ingin menikahimu bukan karena paksaan. Tapi ... sepertinya aku udah terlambat." Aku menaikan sebelah alisku, menatapnya penuh selidik.

"Apa maksud kamu?" Aku mulai waspada.

"Apa kamu pernah bertanya-tanya, kenapa ayahmu begitu menentang hubungan kita?"

Aku mengangguk karena memang itu tujuanku bertemu dengannya sekarang, ingin mengungkap misteri.

"Kalau Ken menolakku, itu karena dia tahu aku seorang player. Sewaktu di Inggris, dia sering melihatku di kelab malam bersama wanita yang berbeda-beda. Tapi, ayahmu menolakku karena papaku."

"Apa mereka ada hubungan?" Dia mengangguk.

"Dulu ... papaku bekerja pada ayahmu sebagai kepala bagian operasional. Sampai suatu hari, salah satu staf di bawah tanggung jawab papaku melakukan korupsi besar, dan itu mengatasnamakan papaku. Ayahmu memecat papaku dengan tidak hormat." Mataku membelalak mendengar ceritanya.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Papaku nggak terima, karena dia nggak salah. Karena khilaf, papa pernah menculikmu dan kembaranmu untuk beberapa hari, sampai tuntutan papaku di penuhi, tapi ayahmu terlalu berkuasa. Memang, ayahmu nggak lapor ke polisi, tapi membalas dengan menghancurkan semua usaha keluargaku yang telah dirintis papa di luar pekerjaannya sebagai kepala bagian di perusahaan kalian."

Aku syok. Benarkah aku dan Keyla pernah diculik? Kenapa aku tidak ingat? Apa yang dikatakan Joe itu benar?

"Mengetahui hal itu, penyakit jantung mamaku kambuh dan membuatnya koma. Akhirnya papa mengembalikan kalian dan meminta kembali bisnis keluarga yang telah dirintisnya, tapi ayahmu nggak semudah itu bisa memaafkan papaku," imbuhnya.

"Jadi karena itu Dad nggak menerimamu?" Dia mengangguk.

"Ayahmu takut kalau aku balas dendam dan memanfaatkanmu. Jujur saja, memang papaku memintaku untuk mendekatimu supaya bisa balas dendam karena dipermalukan oleh ayahmu," ungkapnya.

"Apa?!?" Suaraku naik satu oktaf saking kagetnya.

"Itu dulu. Tapi lama kelamaan, aku benaran sayang kamu."

Aku merinding mendengarnya. Apa semudah itu mempermainkanku?

"Niatku untuk menikahimu bukan karena paksaan papaku, tapi keinginanku. Aku sadar, selama ini aku menjijikkan karena suka bermain wanita. Tapi melihat ketulusanmu sampai harus kabur dari ayahmu, membuatku tulus ingin melamarmu. Tapi ... bodohnya aku yang nggak bisa mengontrol diriku untuk tidak menyentuh wanita sembarangan." Dia tampak sangat menyesal.

Semua ceritanya membuatku dilema. Antara kasihan dan juga tak menyangka. Tapi, keadaan sungguh sangat berbeda sekarang. Niat Joe menikahiku, rasanya sulit untuk tercapai. Ini semua karena Dave. Aku harus bagaimana sekarang?

"Tapi Joe, a---"

"Aku tahu kamu udah nikah, Key." Kali ini aku serius syok. "Aku tahu kamu nikah dengan Dave. Kamu bingung kenapa aku tahu?"

Aku mengangguk dengan wajah memucat. Aku merasa sudah sangat rapat merahasiakannya, bahkan merasa sudah apik bersandiwara dan menganggap semua masih seperti dulu.

"Perusahaanku sedang bekerja sama dengan perusahaannya. Desas-desus mengatakan jika dia udah nikah. Aku cukup penasaran, dan curiga dengan kedekatan kalian. Benar saja, istri Dave adalah kamu. Apa aku udah terlambat, Key?" Pertanyaannya semakin membuatku membeku.

"A-aku ... aku nggak tahu, Joe. A-aku ...."

"Kamu mencintai Dave?"

"Entahlah." Aku menunduk lesu. "Ada sesuatu dalam hubungan kami, Joe. Aku nggak bisa ngasi tahu kamu."

"Key, percayalah. Aku serius sayang kamu. Kalau kamu ingin memberiku kesempatan, aku janji akan berubah demi kamu." Dia menggenggam tanganku.

Tidak ada debaran seperti saat Dave menyentuhku. Ada apa ini?

"Tapi Joe, ak---" Rasanya sangat risih.

"Key, aku tahu kamu dilema dengan hatimu. Kamu ingin memastikan perasaanmu pada Dave?" Aku mengangguk gugup. "Lakukan, Key. Kamu berhak bahagia. Cari aku jika kamu sudah mendapatkan jawabannya. Apa pun itu, aku akan terima. Tapi ingat satu hal, aku serius sayang sama kamu." Dia mengelus pipiku.

Sungguh, rasanya aku ingin menangis. Apa artinya hubungan kami telah berakhir? Apa aku perlu memastikan perasaanku seperti yang dikatakan oleh Joe? Tapi, seandainya benar aku memiliki perasaan pada Dave, tetap saja aku tak bisa mengatakannya. Namun tetap harus aku pastikan, apakah ini cinta atau sekedar rasa kagum.

"Joe, maukah kamu memelukku?" pintaku dan Joe mengangguk.

Dia langsung berdiri dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku merasa lega, karena rasa penasaranku telah terungkap. Aku pikir Joe akan meledak mengetahui pernikahanku, tapi dia bersikap begitu dewasa dan aku sangat menghargainya.

Dia memang player, tapi dibalik sikap bejat, dia adalah sosok pria yang gentle karena berani mengakui perbuatannya di hadapanku yang notabene masih menjadi kekasihnya saat itu, tapi sekarang status kami mungkin telah menjadi mantan.

Tugasku sekarang adalah memastikan tujuan hatiku, perasaanku terhadap Dave. Aku tak ingin terkungkung dalam rasa penasaran lagi.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top