Chapter 30

Aku menggeliat nyaman. Entah kapan terakhir kali aku merasa tidur senyaman dan sehangat ini. Guling ini begitu pas dalam pelukanku.

Eh? Sebentar.

Sejak kapan di kamar hotel ada guling? Perlahan aku membuka mata, namun yang aku lihat bukanlah guling, tapi tubuh seorang pria.

"Eh?" Mataku melotot.

Spontan, aku langsung menggeser posisi, menjauh dari tubuh yang aku peluk. Aku merutuki diriku sendiri yang begitu bodohnya telah memeluk Dave dalam tidurnya. Untung saja dia masih lelap, jadi rasa maluku tak kentara.

Lebih baik aku mandi. Sial! Kenapa jantungku kembali bertalu? Dengan gerakan pelan dan nyaris tanpa goyangan, aku langsung turun dari ranjang, setelahnya berlari cepat masuk ke kamar mandi.

"Apa itu tadi?" gumamku yang tak percaya dengan apa yang telah aku lakukan.

Ku sandarkan punggung di pintu kamar mandi. Jantungku masih berdegup tak terkendali. Aku merasa seperti maling yang dikejar warga, dan sekarang bersembunyi takut ketahuan.

Tentu saja aku takut sekaligus malu jika Dave tahu bahwa aku telah memeluknya saat tidur. Jika pasangan normal, mungkin itu tak akan masalah. Tapi kami kan pasangan abnormal.

Tok... Tok... Tok...

Aku hampir menjerit karena terkejut. Kakiku mendadak lemas dan hampir terpeleset. Bagaimana sekarang?

"Key! Lo di dalam? Lo nggak apa-apa?" teriakan Dave membuatku panik.

"I-iya ... Gu-gue lagi pup!" sahutku asal  padahal kini aku berdiri dengan gemetaran di depan wastafel.

Tak ada lagi suara Dave terdengar, mungkin dia sudah tak berdiri di depan pintu kamar mandi. Aku tak bisa berhenti meruntuki kebodohanku. Bayangan lenganku memeluk tubuhnya saat itu membuatku gila.

Lupakan saja. Lebih baik aku mandi supaya otakku lebih waras. Segera saja aku melepas semua pakaian, lalu berdiri di bawah shower. Ini lebih baik.

Usai mandi, dengan tenang aku mengeringkan tubuh dengan handuk. Isi kepalaku sudah cukup waras sekarang. Tapi, rasanya ada yang aneh.

Sial!

Aku tak membawa pakaian ganti ke dalam kamar mandi. Tak mungkin aku keluar hanya dengan belitan handuk jika Dave masih berada di sana. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Aku berpikir, memutar otak mencari solusi. Tak mungkin aku berlama-lama di dalam kamar mandi, siapa tahu nanti Dave kebelet buang hajat, aku tak bisa membuka pintu kamar mandi begitu saja.

Perlahan aku membuka pintu kamar mandi. Kepalaku menyembul sedikit untuk mengintip keberadaan Dave. Ternyata dia tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi.

"Dave?" panggilku.

"Ya?" Dave menatapku dengan pandangan keheranan. "Lo ngapain di sana, Key?"

"Dave, tolong gue dong," Dave langsung berdiri dan melangkah cepat menghampiriku. "Eits! Jangan ke sini!" Seketika langkahnya terhenti. "Ambilin gue pakaian, tuh ... di dalam lemari. Satu set, ya?" Sebenarnya aku malu, tapi keadaan memaksa.

Dave cekikikan, dia pasti meledekku. Tak apa, yang penting aku mendapatkan pakaian gantiku tanpa harus muncul dengan belitan handuk di depannya.

Tak lama, Dave membawakan satu set pakaian. Aku langsung menerimanya, tak lupa mengucapkan terima kasih, lalu kembali menutup pintu kamar mandi dengan keras. Sumpah! Aku sangat malu.

Aku bisa mendengar tawanya yang begitu keras. Sedikit kesal karena dia menertawaiku, tapi rasa malu lebih mendominasi. Abaikan saja pria itu. Aku harus cepat berpakaian.

Setelah rapi, aku pun siap keluar dan memasang tampang jutek. Namun kandas, Dave kembali membuatku terkejut karena dia berdiri tegak di depan pintu kamar mandi. Sontak aku tertegun.

"Lama amat sih lo dikamar mandi? Minggir! Giliran gue."

Dengan sadisnya dia menggeser tubuhku yang berdiri kaku, lantas menyerobot masuk ke dalam kamar mandi. Begitu pintu kamar mandi ditutup, tubuhku mendadak lemas.

Langkahku linglung menuju ranjang. Aku langsung meraih sebotol air mineral, lalu meneguknya hingga tandas setengah. Kegugupan sungguh membuatku haus.

Sambil menunggu Dave selesai, aku memilih mengobrol via chat dengan Jenny. Setidaknya pikiranku teralihkan dari segala kekacauan pagi ini.

Tak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Dave keluar dengan santai hanya memakai handuk yang membelit dari pinggulnya ke bawah. Kenapa dia shirtless?

"Kenapa lo nggak pakai baju?" omelku karena dia begitu pongah memperlihatkan keindahan tubuhnya di depanku.

Sial! Apa yang aku pikirkan? Aku langsung menutup mata, walau terlambat karena mataku sudah dengan kurang ajarnya memandang tubuhnya dengan lapar.

"Ini mau ambil baju di lemari," sahut Dave enteng. "Nggak usah nutup mata, lagian juga lo udah meluk gue pas tidur."

Double shit!

Jadi Dave tahu kalau aku telah memeluknya waktu tidur? Tidak! Aku semakin malu, sangat teramat malu. Aku butuh sembunyi, lantas aku langsung ngacir keluar kamar meninggalkannya.

"Hah! Tobat ... tobat ...." gumamku bersadar di dinding sambil mengelus dada. Konser jantungku semakin kencang.

"Key?"

"Kyaaa!!!" jeritku melompat ketika ada yang menepuk bahuku.

"Lo kenapa, Key?" Ternyata Neta.

"Eng ... nggak apa kok, cuma kaget aja lo tiba-tiba di sini." Neta menatapku bingung.

"Gue mau ke restoran. Abang mana?"

"Itu ... masih siap-siap. Ya udah, bareng gue aja ke restoran."

Aku langsung menariknya menjauh. Neta mengoceh tak jelas karena aku menyeretnya dengan langkah cepat, tapi aku tak mempedulikannya. Yang penting sekarang aku ingin menjauh dari posisi Dave berada.

"Morning!" seruku kepada seluruh keluarga yang telah berkumpul.

Semua membalas sapaan hangatku. Aku menyeret satu kursi dan duduk di antara Kak Ken dan Jenny. Maaf memisahkan mereka berdua pagi ini, tapi aku sedang tidak dalam keadaan baik sekarang. Otakku sedikit kacau, jadi otomatis akan mengacau.

"Loh, Sayang? Kok duduknya di sana?" mama mertuaku bersuara. "Sini sama Mama."

Cobaan apa lagi ini?

"I-iya, Ma."

Dengan malas, aku terpaksa berpindah tempat duduk. Jenny terdengar memekik girang karena kembali bisa menempel dengan kakakku.

"Dave mana, Sayang?" tanya papa mertuaku.

"Bentar lagi juga turun, Pa. Tadi masih nerima telpon." Sahutku dusta.

"Pagi semua!"

Baru saja dibahas, dia sudah muncul. Dudukku semakin tak nyaman, pun ketika kursi di sebelahku tiba-tiba ditarik olehnya. Kenapa aku harus duduk berdampingan dengannya?

Aku semakin gelisah. Bayangan tubuh Dave yang kupeluk, pun ketika tengah shirtless terus berkelebat dengan kurang ajarnya di kepala. Tidak! Ini tidak benar

"Key, kamu kenapa geleng-geleng?" Sontak aku melongo.

Apa aku geleng-geleng tadi? Semua mata kini menatapku keheranan. Sialan! Lamunanku ternyata teraplikasikan dengan nyata.

"Em ... Itu ... tadi ada lalat lewat." Langsung saja aku kibaskan tangan seolah sedang mengusir serangga.

Rasanya aku ingin cepat-cepat bubar dari acara kumpul-kumpul ini. Sarapan pagi pun diisi dengan membahas pengantin baru yang belum muncul ke permukaan. Namun, semakin dibahas, justru ledekan berakhir padaku dan Dave.

Terlebih, Neta dan Kak Ken kini bersatu menggodaku dengan kata-kata frontal. Aku pikir Dave akan membelaku, nyatanya dia menanggapi dengan bersemangat. Alhasil, Neta semakin gencar menggodaku.

Tuhan ... tolong sembunyikan hamba dari serangan memalukan mereka. Aku tak sanggup menahan malu.

"Ta, lo jangan godain Keyra lagi. Kasihan, malu tahu ...."

Tiba-tiba Dave merangkulku, dan itu sukses membuat tubuhku menegang. Apa dia tak sadar, jika karena dialah Neta semakin menggodaku? Sekarang dengan pongahnya mengambil kesempatan supaya bisa merangkulku.

Seruan jahil tak terelakan. Sial! Wajahku terasa semakin memanas. Sudah kepalang malu, terpaksa aku menenggelamkan wajahku di dada Dave.

"Rara Sayang, kamu belum ada tanda-tanda isi?" Mom bertanya pada saat yang tak tepat.

Kepalaku mendongak menatap Mom.

"Isi apa, Mom?" tanyaku polos.

"Isi bayilah. Kamu belum ada tanda-tanda hamil?" Mom semakin menegaskan pertanyaannya.

"Ya belum dikasih aja, Mom." Dave yang menjawab. "Lagian, aku dan Key juga sama-sama sibuk. Kalian bersabar aja, ya?" Dave pintar meyakinkan para orang tua.

Tak lama kemudian, pengantin baru muncul dan bergabung dengan kami semua. Tak bisa dihindari, duo mesum, Neta dan Nico langsung melancarkan godaan mereka kepada Nessa dan Rey.

Nessa tampak tersipu, berbeda dengan Rey yang begitu santai. Tapi, semakin gencar godaan yang ditujukan kepada pengantin baru, tetap saja, perbandingannya berakhir padaku dan Dave.

Sepertinya menggoda kami adalah santapan favorit mereka. Menyebalkan.

***

Kondisi kembali seperti sediakala. Semua orang kembali menjalani aktivitasnya masing-masing. Setelah mengantar Nessa dan Rey ke bandara untuk berangkat berbulan madu, kami semua kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing.

Terutama aku dan Dave. Dia sibuk mengurus bisnisnya, sedangkan aku sibuk menyelesaikan apa yang ingin aku selesaikan.

Hari ini, aku akan bertemu dengan Joe. Sebelumnya kami sudah membuat janji, dan akan bertemu di kafe langganan kami.

Aku tiba lebih dulu. Menunggu Joe datang membuatku begitu gelisah. Entah kenapa perasaanku kali ini sangat tidak tenang. Mungkin karena rindu, pikirku.

Setelah menunggu hampir 15 menit, akhirnya Joe muncul. Dahiku sedikit mengkerut ketika melihat penampilan Joe yang berantakan seperti tak terurus. Mungkin dia terlalu sibuk dan kelelahan karena bekerja.

"Kamu udah lama?" tanya Joe seraya mengecup kilat pipiku.

Aku tersenyum, lalu menggeleng padanya. Joe lantas duduk di kursi tepat di seberangku. Kami saling berhadapan. Sudah lama sekali rasanya aku tak melihat dirinya.

"Aku udah pesan green tea buat kamu. Kamu kelihatan capek banget." Joe hanya mengangguk lesu.

Obrolan kecil pun terjadi. Joe menanyakan jalannya pernikahan Rey kemarin, dan aku menjawabnya dengan ceria. Kebahagiaan mereka telah menular padaku. Aku terus berceloteh, sedangkan Joe hanya menanggapi dengan manggut-manggut.

"Key, apa kamu masih mau menikah denganku?" tanya Joe tiba-tiba.

"Apa kamu meragukanku?" Pertanyaanku membuat Joe terkekeh.

"Bukannya kamu yang meragukanku selama ini?" Seringai Joe jelas terkesan mencibir.

"Maksud kamu apa?"

"Aku tahu, kamu mencari tahu tentang diriku." Ucapannya sontak membuatku menegang. "Oke! To the point aja."

Joe menegakkan posisi duduknya, tubuhnya sedikit condong ke arahku dengan kedua sikunya bertumpu pada meja. Pria itu menarik napas panjang, kemudian siap untuk bicara.

"I'm a bad man. Selama kita pacaran, aku bermain di belakangmu, Key. Mereka benar, aku player. Aku pria normal, LDR membuatku tersiksa, Key. Jangankan menyentuhmu, bertemu denganmu saja susah. Itu berat bagiku, Key."

Pernyataannya sungguh di luar dugaan. Segala pikiran positifku padanya, kini mendadak luntur. Aku tak menyangka dia akan berterus terang seperti ini.

"A-apa kamu pu-punya wanita lain?" tanyaku hati-hati.

Dalam hati aku berharap dia menyangkal, namun kenyataan berkata lain. Joe mengangguk membenarkan. Menyakitkan juga rasanya.

"Joe, apa kamu masih menyayangiku?"

Separuh hatiku belum bisa menerima. Aku berharap dia berbohong dengan pernyataannya tadi.

"Tentu aja aku sayang kamu, Key." Dadaku berdesir senang. "Tapi kamu nggak bisa memenuhi kebutuhanku." Namun detik itu juga jantungku seperti diremas oleh tangan tak kasat mata.

Kini aku tahu, mengapa Kak Ken selalu menentang hubungan kami. Sekarang aku percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jenny dan Nico. Kini aku baru sadar, jika selama ini hanya sebagai boneka pajangan, disayang tapi hanya sebagai penghias ruangan.

"Tapi aku tetap akan melamarmu, Key. Aku menginginkanmu."

Aku menggeleng frustrasi. Apa maksudnya dia menginginkanku tapi telah berkhianat di belakangku? Aku tak suka dengan tatapan matanya kali ini, terkesan gelap.

Dengan segala perasan yang berkecamuk, aku langsung bangkit dan berlari keluar kafe. Antara takut, marah, kecewa, dan sedih, ku lajukan mobil tergesa-gesa, hingga tanpa sadar telah menabrak mobil lain yang hendak parkir.

Aku ingin menangis, tubuhku sudah bergetar hebat. Sesak ini membuatku susah bernapas. Seketika aku benci pada hidupku. Di saat aku ingin menerima, justru kenyataan buruk yang aku dapatkan.

Apa bedanya dia dengan Dave? Tapi, walapun Dave telah menjebakku dan mengakui perbuatan liarnya, setidaknya dia jujur dari awal. Pada kenyataannya, kondisi mereka jelas berbeda. Dave bukan siapa-siapaku, sedangkan Joe adalah kekasihku. Namun dia telah berkhianat, bahkan sebelum aku terjebak pada pernikahan.

Aku terus melajukan mobil menuju ke suatu tempat. Aku tak ingin pulang, aku hanya ingin sendiri. Ya, hanya sendiri.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top