Chapter 28
[ Keyra ]
•••
Aku tidak menyangka jika hubunganku dengan Dave mampu menjadi teman dan tanpa pertengkaran yang berarti dalam sebulan ini. Semakin lama, aku semakin nyaman berada di rumah ini. Rumah di mana seharusnya hidup sepasang manusia yang berstatus suami istri secara normal.
Tapi tidak dengan kami.
Bahkan, atau hanya perasaanku saja, Dave terkesan terbuka dengan kedekatan kami di depan publik, terutama di depan sahabat-sahabatku. Jenny memang sudah tahu, namun sekarang Rey mulai curiga karena Dave lumayan sering datang ke restoran.
Ngomong-ngomong soal Rey, ada kabar gembira darinya. Akhirnya Nessa peka, walau masih lemot. Nessa menerima lamaran dari Rey dan bulan depan mereka akan menikah.
Jenny dengan senang hati merancangkan gaun pengantin. Aku juga sudah bicara dengan Dave akan menggunakan hotel Kak Ken, maksudku bekas hotel Kak Ken, karena Dave sudah membelinya. Dave tidak masalah, justru dengan senang hati akan menggratiskan untuk sewa gedung.
Saat tengah memeriksa anggaran dapur restoran, tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang belum aku kenal. Segera saja aku buka dan membacanya.
Mataku langsung membelalak membaca pesan itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung membereskan meja kerja dan bergegas pergi. Jantungku berdegup kencang. Semoga yang aku pikirkan selama ini adalah salah.
Mobilku melaju membelah kemacetan ibukota. Hampir saja aku melupakan sesuatu. Aku harus memberitahu Dave, karena kemungkinan aku akan pulang cukup malam.
Dia pernah memintaku untuk memberinya kabar ke mana atau dengan siapa aku pergi. Walau sering aku mengabarinya tanpa detail, tapi Dave cukup menghormatinya. Aku juga butuh privasi.
To: Dave
Dave... gue pulang mungkin agak larut. Lagi ada urusan penting. Kalau lo udah capek, tidur aja duluan. See u tomorrow morning.
Sebulan ini, pasca berbaikan untuk kesekian kalinya, sudah menjadi kebiasaan kami berbincang sebelum tidur. Setelah mengirim pesan kepada Dave, aku kembali fokus pada jalanan Tak lama ponselku bergetar dan masuk pesan balasan dari Dave.
From: Dave
Ok. Lo hati-hati ya? Gue juga lagi ketemu sama Bianca
Spontan aku menghela napas setelah membaca balasannya. Sudah sewajarnya sekarang dia bersama kekasihnya. Sebulan ini Dave memang tidak lagi mengacaukan pertemuanku bersama Joe, walaupun intensitas kencanku bisa dihitung dengan jari. Joe juga tidak pernah membahas lagi tentang lamaran. Sepertinya kecurigaannya terhadap Dave sudah hilang.
Akhirnya, aku pun tiba di sebuah gedung apartemen. Langsung saja aku menekan angka 11 ketika masuk ke dalam lift. Jantungku semakin bertalu, tak sabar ingin segera tahu.
Lift berhenti di lantai 11. Begitu pintunya terbuka, aku langsung keluar dan menuju flat apartemen yang menjadi tujuanku. Dengan mudah aku menemukannya, walau belum pernah mengunjunginya.
Aku berdiri di depan pintu flat apartemen bernomor 1122. Dengan tenang, aku menekan bel. Cukup lama tak ada yang membuka pintu. Setelah menekan bel untuk yang kedua kalinya, pintu pun terbuka. Seseorang menyambut dengan senyum mengembang. Tanpa canggung, aku pun memeluknya dengan akrab.
"Masuk, Key," ujarnya mempersilakan. "Tuh, Neta lagi belajar masak di dapur," lanjutnya menunjuk ke arah dapur.
Kalian penasaran siapa orang itu? Akan aku beritahu. Dia adalah Nico, sahabat Dave. Kalian bingung? Akan aku ceritakan
Saat Jenny menceritakan kejadian di mana dia melihat Joe di kelab malam, dan juga dia mengatakan bahwa Nico sebagai saksi, pun kebetulan dulunya adalah kakak kelas dari Joe ketika SMA, maka aku pun bertanya pada Nico.
Memang Nico mengatakan tidak mengenal Joe, hanya sekedar tahu. Namun dia bersedia membantuku mencari informasi tentang Joe. Lalu Neta, yang sebentar lagi menjadi istri Nico, pun tahu dengan rencanaku.
Awalnya dia marah, karena menganggapku menghianati kakaknya. Tapi setelah aku ceritakan kebenaran di balik pernikahanku, akhirnya Neta juga ikut membantu. Dia juga kesal dengan kakaknya karena masih berhubungan dengan Bianca. Ya seperti itulah ceritanya.
"Hai, Key!" pekik Neta memelukku dengan tangan masih blepotan krim.
Dia lucu sekali memakai celemek dan tampangnya sangat berantakan. Beberapa hari belakangan ini Neta memang rajin belajar memasak. Katanya dia ingin menjadi istri yang baik nanti setelah mereka menikah.
"Lo masak apa, Ta?" tanyaku penasaran karena semua bahan berantakan di atas meja pantry.
"Gue pengin bikin kue muffin, Key. Susah juga ternyata." Aku terkikik melihat wajahnya yang belepotan tepung.
"Kapan-kapan gue ajarin. Minggu ini, datang ke rumah, ya? Kita bikin kue sama-sama." Dia mengangguk antusias.
"Oke!" Kedua jempolnya teracung. "Hah! Gue nyerah deh sekarang." Aku tertawa.
Tingkah Neta sangat lucu dengan ekspresi putus asanya. Sekilas, Neta mirip sekali dengan Dave jika sedang kesal. Apapun akan diabaikannya. Kenapa aku jadi memikirkan Dave?
"Lo mau ngomong sama Nico, ya?" Aku mengangguk. "Ya udah sana, nanti gue nyusul." Dia mengusirku dari wilayah jajahannya yang sudah berantakan.
Aku kembali terkikik, membayangkan bagaimana nasib dapurnya nanti jika mereka sudah menikah. Dengan santai, aku melenggang menuju ruang tengah di mana Nico sudah duduk sambil menonton televisi.
"Nic, lo dapet info apa lagi?" tanyaku seraya mendaratkan pantatku di sofa.
Nico menoleh padaku, dan lantas membenahi posisi duduknya yang tadi sedikit merosot menjadi lebih tegak.
"Key, gue pernah bilang kan kalau Joe itu player?" Aku mengangguk. "Tapi lo masih berniat menerima lamarannya?" Aku mengangguk.
"Emang kenapa? Apa Joe yang sekarang masih sama?" Dia mengendikkan bahunya.
"May be. Tapi masalah hubungan keluarga lo dengan keluarga Liems, gue punya sedikit informasi."
"Apa?" desakku penasaran.
"Dulunya, bokap Joe pernah bekerja pada perusahaan bokap lo. Kalau nggak salah, bokap Joe pernah menjabat kepala bagian di perusahaan bokap lo." Aku menajamkan pendengaran dan mencernanya dengan serius.
"Terus, kalau emang bokapnya pernah bekerja sama bokap gue, kenapa keluarga gue keras banget nolak Joe?" Pertanyaan inti yang tak pernah aku temukan jawabannya.
"Loe nggak pernah nanya sama bokap lo?" Aku mengangguk. "Terus bokap lo bilang apa?"
"Nggak pernah mau ngasih tahu. Kalau Kak Ken, kayaknya nggak tahu deh soal hubungan kerja mereka dulu. Tapi, kenapa Kak Ken juga nggak suka sama Joe, ya?" Kepalaku mendadak pusing.
"Mungkin kakak lo tahu kalau Joe itu player, makanya dia nggak mau lo terjebak sama player." Cetus Nico dan menurutku juga begitu.
"Tapi, kalau kakak lo tahu abang gue lebih bejat dari Joe, apa kakak lo nggak bakalan syok, Key?" sela Neta yang tiba-tiba muncul.
Aku mengikuti langkahnya yang kemudian duduk di sebelah Nico. Aku hanya mengendikan bahu. Sudah pasti Kak Ken akan syok, dan mungkin Dave akan berakhir di rumah sakit karena dihajar olehnya. Tapi aku tak tahu juga, mengingat sekarang Dave adalah mantu kesayangan di keluargaku.
"Entahlah!" Kata-kataku sudah habis.
Mereka berdua tertawa. Aku sudah bosan membahas tentang Dave yang begitu dielu-elukan oleh orang tuaku, terutama Mom. Walaupun mereka sudah kembali ke LA, namun Mom sering sekali menelponku ataupun Dave.
"Dave itu sebenarnya baik, Key," mataku beralih pada Nico. "Sejak muda, dia terbiasa hidup manja dengan harta melimpah. Dia berteman dengan berbagai jenis orang dan semua itu hanya karena uang. Dia nggak pernah punya teman yang benar-benar ada buat dia."
Cerita Nico mengingatkan aku saat Dave memelukku dan dia mengatakan senang berteman denganku dan dia tidak merasa kesepian.
"Tapi lo kan sahabatnya?" Dia mengangguk membenarkan.
"Iya, tapi di saat dia kesepian dulu, gue masih di Australia kuliah. Orang tuanya sering ke luar negeri buat bisnis, dan Neta sejak kecil sering dibawa. Baru waktu kuliah aja Neta tinggal di sini dan dia bertemu dengan Bianca."
Oh ... cerita baru nih. Aku harus mendengarnya.
"Dulu Bianca itu teman baik gue, Key. Terus abang gue suka sama dia. Emang sih ... Bianca selalu ada di saat abang gue butuh teman, itu yang buat abang gue buta dengan sosok iblisnya."
Terlihat sekali jika Neta begitu tak menyukai Bianca.
"Dave udah pernah cerita sama gue." Neta melotot tak percaya.
"Abang cerita sama lo?" Aku mengangguk. "Dia cerita juga kenapa keluarga gue nggak bisa nerima Bianca lagi?" Aku mengangguk lagi. "Tapi sekarang lo ngebiarin aja abang gue deket lagi sama mak lampir itu?"
"Ta, abang lo cintanya sama Bianca, masa gue larang. Lagian gue juga punya Joe."
Mereka menatapku lekat, bahkan Neta menggeleng sambil mencebik. Nico masih nampak tenang, tak seemosi Neta.
"Key, apa lo yakin sama perasaan lo pada Joe?" Nico bertanya, tapi aku mengendikkan bahu sebagai jawaban. "Apa lo nggak ada perasaan sama Dave?" Sebelah alisku menukik mendengar pertanyaan Nico.
"Maksud Nico, apa lo nggak ngerasain apa-apa gitu sama abang gue? Kan kalian tinggal serumah, tiap hari ketemu. Apalagi sekarang, hubungan kalian terbilang baik-baik aja." Neta melengkapi.
Perasaan seperti apa? Nyaman? Ya aku merasakan kenyaman belakangan ini saat bersama Dave. Kadang, memang ada rasa seperti tak suka jika tahu Dave sedang bersama Bianca. Entah itu termasuk kategori perasaan yang mana, aku tak tahu.
"Apa gue udah cerita mengenai kesepakatan antara gue sama Dave?" Mereka berdua cengo karena terkejut.
"Maksud lo kesepakatan apa? Lo nikah kontrak sama Dave?" Sembur Nico, lalu aku menggeleng cepat.
"Pernikahan kami sah. Tapi, kami buat kesepakatan saat malam pertama." Mereka sampai mencondongkan badannya ke arahku.
"Kesepakatan apa, Key?" Neta tak sabaran.
"Ada beberapa poin. Dalam kesepakatan itu kami sepakat tidak ada kontak fisik, tidak tinggal sekamar, tidak ikut campur urusan masing-masing, dan paling penting tidak boleh ada perasaan."
"APA??!?" pekik mereka bersamaan.
Bertambah sudah orang yang mengetahui perihal kesepakatan itu. Semoga Neta dan Nico bisa menjaga rahasia ini seperti Jenny, mengingat mereka berasal dari pihak Dave.
"Tunggu," Nico mengkerutkan dahinya. "Dave pernah bilang, kalau dia belum pernah nyentuh lo, jadi itu benaran?" Aku mengangguk.
"Lo berdua nggak sekamar?" Neta mendelik saat aku menggeleng. "Tapi kok---"
Akhirnya aku membuka rahasia yang ada di dalam rumah tanggaku. Mulai dari pintu penghubung kamar, hingga perihal tingkah konyol kami yang pura-pura jadi pasangan harmonis.
Nico terus saja menggeleng, mungkin dia merasa bodoh karena tak tahu menahu dengan ide busuk sahabatnya. Neta pun sama, dia menggeram kesal, bukan hanya kepada Dave, tapi padaku juga.
"Pantes aja abang gue nggak terima dibilang selingkuh, lo ngasih lampu ijo buat dia maksiat!" cebik Neta kesal.
Ya, aku harus apa? Mengikat Dave di rumah? Untuk apa? Bianca adalah urusan Dave, dan aku hanya orang luar yang tiba-tiba hadir karena jebakannya.
"Key, gimana kalau di antara kalian ternyata ada perasaan?" selidik Nico.
"Dave cintanya sama Bianca, nggak mungkin ada perasaan sama gue."
"Kalau lo yang ada perasaan sama Dave, gimana?" selidik Neta yang ditimpali anggukan oleh Nico.
"Gue kan punya Joe. Lagian, kalau misal gue ada perasaan sama Dave, gue akan pergi. Itu adalah kesepakatan kami." Mereka melongo tak percaya.
"Maksud lo cerai?" Aku menggeleng.
"Pergi. Menjauh. Menghilang. Dave nggak mau menceraikan gue dan gue nggak bisa mengajukan cerai. Jadi, pergi adalah jalan tengahnya."
"Kalau ternyata kalian sama-sama ada perasaan, gimana? Bukan salah satu, tapi keduanya. Gimana?" Neta melotot.
Aku harus jawab apa? Aku sendiri masih bingung dengan kehidupanku. Mengutarakan perasaan tak semudah membalikkan telapak tangan, aku tak ingin terjebak, aku harus memastikannya terlebih dahulu.
Kalaupun aku mempunyai perasaan kepada Dave, aku akan pergi dari hidupnya. Dave mencintai Bianca, dia berhak bahagia dengan pilihannya, tanpa aku yang akan menjadi duri di antara mereka.
"Udah! Nggak usah bahas tentang Dave. Tujuan gue ke sini cari info tentang Joe." Kataku mengalihkan pembicaraan.
"Apa lagi? Cuma itu yang gue dapat. Akses tentang bokapnya tertutup. Cuma Joe yang bisa ngasih tahu lo kebenarannya." Nico menjawab enteng sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
"Oke! Nanti gue atur pertemuan dengannya."
Hidupku tidak akan pernah tenang jika tidak bisa mengetahui misteri di balik penolakan keluargaku terhadap keluarga Liems. Aku sudah lelah dan jengah harus hidup di bawah perintah yang membatasi ruang gerakku.
Sungguh, aku ingin menjalani hidup sesuai pilihanku, sesuai dengan kata hatiku. Untuk saat ini, aku memilih Joe.
~ o0o ~
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top