Chapter 27

[ David ]

•••

"WAAAAHHH ... Keren!"

Aku tersenyum lebar pada seseorang yang duduk di sampingku. Seseorang yang seminggu ini mendiamkan aku dengan begitu teganya. Namun kini, melihatnya yang begitu ceria, sungguh jauh berbeda dengan dia yang penuh emosi beberapa waktu yang lalu.

"Lo senang, Key?" tanyaku.

Keyra mengangguk dengan senyum yang tak pudar dari wajahnya. Dia sangat cantik. Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan suasana hari ini.

Setelah ketegangan di antara kami memudar, aku mencoba meredam egoisku. Apa yang dikatakan oleh Keyra memang benar, aku egois dan memanfaatkan kelemahannya untuk kepentinganku sendiri.

Mungkin, yang dikatakan oleh Keyra adalah sebuah kenyataan yang telah membutakanku selama ini. Hubunganku dengan Bianca memang sudah terjalin lama, pun aku yang selalu mengklaim cinta padanya. Namun yang terjadi adalah hubungan kami hanyalah tentang sentuhan fisik dan kepuasan batin.

Obsesi.

Itulah yang Keyra lontarkan tentang hubunganku dengan Bianca. Mungkin benar, karena nyatanya aku selalu mengejarnya hanya untuk menyalurkan hasrat. Bagaimana dengan perasaanku? Aku sayang pada Bianca, tapi jujur, dia tak pernah menyentuh hatiku yang terdalam.

Namun berbeda dengan apa yang aku rasakan pada Keyra. Aku nyaman, walau kami sering berselisih. Aku puas berada di dekatnya, walau tak terjadi kontak fisik. Apa salah jika aku mengakui hal itu? Apa ini yang namanya hubungan sehat?

Selama seminggu ini, aku terus berpikir mengenai masalah yang membuat ayah mertuaku tak menyukai Joe, pacar Keyra. Awalnya aku tak peduli, tapi ketika Joe bersikeras ingin melamar Keyra, saat itu aku panas.

Aku ingin marah dan mengatakan pada pria itu bahwa Keyra telah menikah, dan akulah suaminya. Tapi Keyra lebih dulu murka dan berefek pada hubungan kami setelahnya. Selama seminggu, kami benar-benar seperti orang asing.

Namun sekarang kami kembali dekat, berbincang, pun ketika mendengar tawanya saja dadaku rasanya berdesir hangat. Apa yang dilakukan Keyra berdampak pada ekspresiku. Seperti saat ini, saat dia tersenyum, justru senyumku tak kalah lebar darinya. Apa aku bahagia? Iya, aku bahagia.

"Thanks ya, Dave," ucapnya menoleh ke arahku. "Lo udah ngajak gue ke sini. Gue senang banget." Aku membalasnya dengan senyuman.

Setelah mengajaknya berkeliling kota Jakarta selama satu jam, aku memutuskan membawanya ke hotel milikku. Bukan untuk menginap, karena nyatanya aku hanya membawanya ke rooftop, bukan kamar. Memang hotelku tak sebanding dengan hotel milik kakaknya, namun layak untuk membawanya ke sini. Setidaknya aku bisa menghiburnya.

Sebelumnya, aku diam-diam menghubungi staf hotel untuk menyiapkan kembang api. Maka di sinilah kami sekarang, duduk berdua memandang langit pekat yang dihiasi oleh percikan kembang api.

"Sama-sama, Key. Sekali-kali nyenengin istri, nggak masalah." Godaku dengan mengerlingkan mata genit.

"Gombal lo!" cibirnya cekikikan.

Sungguh menyenangkan mendengar suara tawanya. Bagaikan sebuah melodi yang mengalun memeriahkan gendang telingaku. Sumpah! Aku seperti terhipnotis olehnya.

Seandainya kesepakatan itu tidak aku cetuskan, sudah pasti aku akan menjadikannya istri yang sebenarnya. Bodoh! Kenapa aku harus mengajaknya membuat kesepakatan sialan itu? Kali ini, aku merasakan yang namanya sebuah penyesalan.

"Key, lo nggak serius kan dengan ucapan lo tadi?" Dia menatapku bingung. "Tentang lo ingin menikah dengan Joe." Aku harap dia hanya bergurau.

"Hhmm, ya Dave," hatiku tercubit. "Gue pengen nikah sama dia. Tapi gue juga bingung gimana caranya bilang sama keluarga. Gue nggak tahu kenapa mereka nggak setuju sama Joe, padahal Joe nggak pernah kasar sama gue. Dia nggak pernah ngekang hidup gue."

Sakit, dadaku rasanya sesak mendengar penuturannya. Aku merasa disindir karena berbuat tak adil padanya.

"Kalo gue nggak mau cerai, apa lo akan tetap pergi sama Joe?" dia mengendikkan bahu.

"Gue nggak tau, Dave. Lo gimana sama Bianca?"

"Ah? Dia baik-baik aja kok." Sepertinya, karena aku tak pernah lagi bertemu dengannya.

"Lo udah tahu alasan dia kabur kali ini?" Aku mengangguk. "Terus, lo mau ngajak dia nikah lagi?" Giliranku yang mengendikkan bahu.

"Gue nggak yakin, Key. Dia tipe orang yang nggak bisa dipaksa. Tapi gue bakal coba lagi." Walau sebenarnya aku sendiri sudah tak yakin dengan hubungan itu.

"Lo cinta ya sama Bianca?" Ingin sekali aku berteriak tidak, tapi aku memilih diam. "Tiga kali loh dia nolak lo, tapi lo masih mau memperjuangkan dia. Salut gue." Aku terkekeh menanggapai.

Entah itu pujian atau cibiran, tapi aku benar-benar tak ingin mempedulikannya lagi. Ada sebuah alasan yang kini membuatku ingin berubah.

"Gue memperjuangkan dia, karena dia satu-satunya wanita yang dulu ngertiin gue di saat gue sendirian, Key. Mungkin, gue jadi tergantung sama dia. Kalau gue udah nemu wanita lain, mungkin aja gue nggak akan memperjuangkan dia lagi." Aku menatapnya dengan penuh arti.

"Tapi lo kan nggak suka melepaskan, Dave. Apa lo yakin bisa melepas Bianca?"

"Mungkin, mulai sekarang gue harus hidup dengan realita. Nggak selamanya kita bisa mengurung orang yang sudah nggak ada di hati kita. Kalau suatu hari Bianca sudah nggak di hati gue, ya gue harus rela melepas dia. Dia juga berhak bahagia."

"Gue kan nggak ada di hati lo, kenapa lo nggak mau melepas gue? Apa gue nggak berhak bahagia, Dave?"

Aku menunduk, menggeleng frustasi, kemudian kembali menatapnya lekat. Aku ingin dia bahagia, tapi rasanya berat jika yang membuatnya bahagia adalah orang lain.

"Maaf, Key. Seandainya gue cuma ngejebak lo jadi pacar, mungkin gue gampang ngelepas lo. Tapi gue salah udah jebak lo dalam pernikahan. Ada dua keluarga yang akan kecewa. Lo ngerti kan maksud gue?"

"Tapi gue juga pengen bahagia, Dave." lirihnya.

Rasanya hatiku tercabik, tersayat mendengar lirihannya karena kesalahanku. Ada luka tak berdarah yang kubuat sendiri di dalam hatiku. Memang, aku suka main perempuan, tapi aku tak suka membuatnya tersakiti. Apalagi orang yang aku sayang.

Aku merasa mulai menyayangi Keyra. Entah sejak kapan, namun sejak kekasihnya itu menyatakan hal konyol, dan Keyra mengatakan aku egois, sejak itu aku merasakan ada sebuah dorongan yang mewajibkanku untuk melindunginya. Bukan karena orang lain, tapi dari diriku sendiri.

Apa mungkin aku jatuh cinta padanya? Mungkin saja. Namun, instingku sebagai seorang pria yang berstatus suaminya begitu kuat ingin melindunginya, ingin membahagiakannya, ingin selalu membuatnya tersenyum. Aku sungguh ingin melakukannya.

"Gue tahu," ucapku mengusap kepalanya lembut. "Gue juga pengen lo bahagia. Gue janji akan bantu buat mencari kebahagiaan lo dengan cara gue. Kalau lo nggak bahagia juga, lo boleh cari kebahagiaan dengan cara lo sendiri. Yang penting lo bahagia, Key."

"Makasih...." Dia menghambur ke dalam pelukanku. "Janji ya?" bisiknya

Aku mengangguk di balik lekukan tengkuknya. Aku tak bisa lagi menjanjikan apapun, mungkin dengan melindungi perasaannya adalah satu-satunya cara supaya aku bisa mempertahankannya agar tak pergi.

Pelukannya semakin erat, aku pun membalas memeluknya semakin dalam. Sekilas aku mendengar suara nafasnya yang tercekat, mungkin dia menangis.

Entah karena dia senang atau sedih, aku tak ingin bertanya. Aku tak ingin melepas pelukan ini, bahkan aku berharap kami selalu bisa seperti ini. Saling berpegangan, saling merengkuh, dan saling menguatkan di saat terjatuh.

Bukankah suami istri memang seharusnya seperti ini?

***

Satu bulan telah berlalu. Hubunganku dengan Keyra semakin membaik. Walau kadang masih ada cekcok, tapi bukan karena masalah yang besar. Hanya cekcok kecil saat kami menonton televisi bersama, entah rebutan remote atau tak sepaham dengan tayangan yang ditonton. Menurutku itu justru menyenangkan.

Percaya atau tidak, hubungan ini berimbas pada pekerjaanku. Aku menjadi lebih bersemangat, sehingga lebih sering pulang tepat waktu. Keyra pun bekerja seperti biasa, mengurus restoran dan kadang menjadi model untuk Jenny. Bahkan setiap pagi kami selalu sarapan bersama.

Kadang, kami juga makan siang bersama di restorannya. Jika ada waktu luang, pada malam hari sebelum tidur, kami menyempatkan untuk berbincang, menceritakan kegiatan masing-masing.

Aku lebih banyak menceritakan tentang bisnisku yang sekarang bekerjasama dengan kakaknya, Ken. Dia menjual 70% saham hotelnya padaku, otomatis kini hotelnya adalah milikku. Ken hanya ikut sebagai pemegang saham sebesar 30%. Alasannya, tentu saja karena adiknya yang tak lain adalah istriku. Makanya, Keyra kini hanya fokus mengelola restoran saja, karena hotel itu sudah berada di bawah kendaliku.

Keyra juga menceritakan tentang kegiatannya, juga tentang sahabat-sahabatnya. Walau kadang dia menyelipkan cerita tentang pacarnya, tapi aku mencoba mendengarkan saja, padahal aku tidak peduli dengan pria itu.

Aku sungguh tak suka jika dia menyebut nama pria itu. Apa aku cemburu? Mungkin. Kenapa? Aku tak tahu. Aku sudah janji padanya untuk menjaga perasaannya, membantunya mencari kebahagiaan, walau ada sesak yang harus aku tahan.

Saat ini aku sedang berada di apartemen milikku. Siang tadi Bianca menelponku, dia ingin bertemu. Jangan berpikir kami akan melakukan hal yang mengenakan. Tidak.

Sudah lama aku tidak menyentuhnya, tepatnya sejak awal pertama aku berbaikan dengan Keyra. Rasanya hasratku sudah hilang untuk bermain dengan wanita lain.

"Dave!" Aku tersentak, saat merasakan sebuah tepukan di bahuku. Ternyata Bianca.

"Kapan kamu datang?" tanyaku dengan polos.

"Sejak tadi. Aku manggil-manggil kamu, tapi kamu melamun aja." Dia terdengar sedikit menyindirku.

Apa iya tadi aku melamun? Aku hanya tersenyum kikuk. Bianca langsung duduk di sampingku, seperti biasa dia merebahkan kepalanya di dadaku. Jika dulu aku begitu terpancing dengan sikapnya, tapi sekarang aku merasa biasa saja.

"Dave, mau cerita?" Aku masih diam. "Aku tahu, pria yang aku peluk sekarang bukan lagi Dave-ku yang dulu." Dia melepas pelukannya dan menatapku dalam. "Apa kamu jatuh cinta padanya?" Pertanyaannya membuatku mematung.

Sekian lama aku bersamanya, dia sangat mengenal sifat dan segala perubahan tingkahku. Aku mengakui itu. Karena itu pula yang selalu membuatku yakin bahwa hanya dia wanita yang mampu memahamiku.

"Apa kamu marah?" Bukannya menjawab, Bianca justru terkekeh.

"Buat apa aku marah?" Aku menunduk sekejap, dan kembali membalas tatapannya. "Akhirnya kamu jatuh cinta juga, Dave." Dia mengelus lembut rahangku.

"Aku juga pernah cinta sama kamu." Godaku menoel dagunya.

"Nggak, Dave. Kamu nggak pernah cinta sama aku. Maksudku, cinta yang sebenarnya. Kamu hanya membutuhkan aku. Benar. kan?"

Aku kembali menunduk, cukup lama untuk merenungkan ucapan Bianca. Mungkin benar apa yang dikatakannya, kadang aku menyadari hal itu. Hanya lebih sering aku abaikan dan berpikir bahwa hanya dia wanita yang aku inginkan. Namun kenyataannya, memang aku membutuhkan Bianca, bukan menginginkannya.

"Dave, aku senang kamu jatuh cinta pada wanita yang tepat. Apa kamu udah ungkapin perasaanmu? Aku harap kamu bisa mempertahankannya." Aku menggeleng frustrasi.

"Aku nggak bisa mengatakannya, Bi. Tapi aku akan mempertahankannya, walau aku harus memendamnya sendiri."

"Kenapa?"

"Karena kesepakatan itu, Bi. Aku pernah menceritakannya, kan?" Dia mengangguk. "Sepertinya aku telah melanggarnya. Aku nggak siap ninggalin dia. Mungkin hanya dengan cara memendam perasaan, aku bisa terus dekat dengannya."

Ternyata rasanya sakit bertepuk sebelah tangan.

"Cinta nggak harus memiliki, Dave. Sama seperti aku. Cintaku terlarang, tapi aku tetap berada di dekatnya hanya sekadar memberinya perhatian. Hanya itu yang bisa aku lakukan." Aku rasa dia benar.

"Bi, kamu nggak akan menjauh kan jika aku mencintai wanita lain?" Dia tertawa.

"Bodoh! Buat apa aku ninggalin kamu hanya karena wanita lain? Jujur aja, aku juga udah nggak punya perasaan apa-apa sama kamu, tapi aku sayang sama kamu sebagai sahabat. Kita akan tetap seperti ini, sebagai sahabat."

"Thanks ya, Bi." Aku memeluknya. Pelukan persahabatan.

Rasanya satu beban terangkat dari pundakku. Hanya tersisa sebuah perasaan yang terhambat oleh kesepakatan sialan itu. Ingin rasanya aku mengutuk diriku sendiri karena mengajukan kesepakatan itu.

Aku akui jika aku telah kalah. Namun sekarang aku ingin mengakui sesuatu. Aku sudah jatuh ke dalam pesona seorang wanita yang telah aku jebak. Aku yakin, bahwa aku telah jatuh cinta pada istriku.

Keyra Alexandria Harold.

Seandainya Keyra bisa membalas perasaanku, sudah pasti aku akan menjadi suami yang paling bahagia di dunia ini. Sungguh aku ingin menghapus, bahkan membumihanguskan kesepakatan sialan itu.

"Dave, mau membuktikan sesuatu?" Bianca melepas pelukan kami dan menatapku dengan jahil. Aku tahu arti tatapan itu.

"Sepertinya akan menarik." Sahutku menyeringai licik.

Kami berdua tertawa. Bukan lagi sebagai partner, tapi sepasang sahabat yang terjebak dalam cinta yang terabaikan. Mungkin cinta Bianca berbalas, hanya tak bisa bersatu. Tapi aku, sudah bersatu tapi tak berbalas.

Mengenaskan sekali kisah kami.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top