Chapter 25

[ Keyra ]

•••

Akhirnya!

Aku berhasil kabur dan bertemu dengan Joe. Apa aku senang? Tentu saja. Walau ada rasa bersalah dan takut. Jelas, aku takut ketahuan oleh Dad. Resiko memang, tapi aku yakin Dave bisa menangani orang tuaku. Dia kan mantu kesayangan mereka.

Ponsel sengaja aku non-aktifkan supaya tak ada yang menganggu. Sekali-sekali menjadi egois, tak apalah. Aku sungguh merindukan Joe. Entah kapan terakhir kali kami bertemu.

"Kamu pucat, Beb. Sakit?" tanya Joe sembari mengelus pipiku lembut.

Setelah tadi Joe menjemputku di Dufan, kami berkeliling beberapa waktu. Kemudian, Joe mengajakku ke kafe ini. Kami duduk saling berhadapan. Aku hanya tersenyum menatapnya yang terlihat khawatir. Benarkah Joe khawatir padaku?

"Nggak apa-apa kok. Kurang istirahat aja. Jenny selalu merepotkanku." Dia terkekeh dan mengacak rambutku gemas.

Aku selalu merindukan perlakuan manisnya seperti ini, walau sederhana, tapi cukup membuatku nyaman.

"Kakakmu masih di sini?" Aku menggeleng sembari menyeruput teh hijau kesukaanku.

"Udah balik ke London." Dia hanya manggut-manggut. "Kerjaan kamu gimana, Joe?"

"Ya begitulah. Semakin hari semakin menumpuk."

Aku hanya bisa tersenyum, sedangkan dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Sekilas, ucapan Jenny waktu lalu membuatku ingin bertanya padanya. Tapi, sepertinya ini bukan momen yang pas.

Tiba-tiba, Joe menggenggam tanganku, menariknya mendekat pada bibirnya, lalu mencium tanganku. Aku tak ingat, kapan terakhir kali Joe bersikap semanis ini padaku. Entah pernah atau tidak, aku lupa.

"Aku sayang kamu, Key." Ucapnya dan kembali mengecup tanganku.

Aku menatap lekat matanya ketika mengatakan sayang padaku. Di sana tersirat sebuah rahasia, tatapannya sendu dan terkesan menyimpan kesedihan. Dia kenapa?

"Kapan aku bisa menemui orang tua kamu?" Mataku membelalak.

"Ma-mau ngapain?" Jantungku mulai deg-degan.

Menemui orang tuaku sama saja artinya cari mati. Ini di luar prasangkaku. Ternyata Joe bisa senekat ini.

"Key, sampai kapan kita sembunyi-sembunyi seperti ini? Sudah saatnya aku menghadapi mereka. Aku ingin kita serius."

"Ta-tapi Dad dan Kak Ken masih belum bisa menerima hubungan kita, Joe. Aku takut malah mereka memisahkan kita dengan paksa kalau kamu nekat."

Memang bukan alasan yang sebenarnya, tapi itu bisa menjadi kenyataan jika aku masih berstatus single. Dad begitu keras menentang hubungan kami.

"Key," suaranya terdengar sendu. "Kamu masih sayang kan sama aku?"

Pertanyaannya sukses membuatku bertanya pada diriku sendiri. Apa aku masih sayang padanya? Apa aku masih merasakan apa yang dulu aku rasakan padanya? Jujur, setelah mendengar laporan dari Jenny, aku selalu mempertanyakan nasib kisahku dengan Joe. Aku sendiri bingung.

"Joe, ak---"

"Key!!" Sebuah suara memanggil namaku dalam jarak yang sangat dekat.

Begitu aku menolehkan kepala ke arah asal suara, sungguh aku terkejut. Aku seperti melihat hantu yang selalu ingin aku hindari. Dave berdiri tepat di hadapanku.

"L-lo ... ngapain di sini?" Aku langsung menarik tanganku yang masih digenggam oleh Joe.

"Ya ampun! Gue keliling nyariin lo. Tuh, orang tua lo panik nyariin. Untung Ken nelpon gue suruh nyariin lo." Mataku langsung melotot geram.

Aku melirik gugup ke arah Joe yang memandangku dan Dave bergantian. Pasti dia curiga. Jelas dia curiga, aku mengatakan padanya Kak Ken sudah kembali ke London, dan pria menyebalkan ini mengatakan ditelepon oleh Kak Ken.

Mampus!

"Orang tua kamu di sini?" tanya Joe padaku. Aku cuma bisa mengangguk gugup. "Kok nggak bilang? Ayo, aku antar kamu balik. Nanti aku yang jelasin sama mereka."

Joe hendak berdiri, namun aku langsung mencegahnya. Joe menatapku bingung. Dia benar-benar ingin cari mati.

"Eh ... nggak usah, Joe. Aku pulang bareng Dave aja. Aku takut kamu kenapa-napa."

Bukan hanya dia yang celaka, aku juga bisa dicincang oleh Dad.

"Baby, tadi kan aku udah bilang, kali ini aku mau hadapin keluarga kamu. Aku mau ngelamar kamu."

Aku syok mendengar pernyataan dari Joe, hingga tanpa sadar melepas cengkraman tanganku di lengannya.

Sekilas aku melirik ke arah Dave yang menyipitkan matanya memandangku. Bukan, tapi ke arah tanganku yang terkulai lemas di atas meja. Jelas saja, jariku polos tanpa cincin melingkar di sana.

"Lo mau ngelamar Keyra?" sela Dave dengan nada sinis.

"Iya. Emang kenapa? Wajar gue ngelamar pacar gue sendiri." Joe menjawabnya dengan percaya diri.

"Oh ya?" Nada bicara Dave begitu sinis. "Apa lo nggak---"

"Udah, Dave!" pekikku menyela ucapannya.

Pandangan Dave begitu dingin padaku. Aku tak peduli. Joe melirikku, kemudian melirik ke arah Dave yang kini memasang wajah datar.

"Joe," panggilku. "Kamu tahu kan aku belum siap? Lagian, Dad juga masih belum melunak dengan hubungan kita. Kamu sabar aja, ya?"

Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Sumpah aku bingung. Keadaan sepertinya semakin keruh.

"Kamu nggak nyembunyiin sesuatu, kan?" Tubuhku langsung menegang.

Mata Joe menelitiku dengan tajam. Sudah pasti wajahku semakin memucat. Aku ingin minum, tapi tanganku rasanya kaku hanya untuk mengangkat cangkir teh.

"Joe, lo jangan buat Key takut gitu. Dia lagi ketakutan karena orang tuanya di sini. Untung Ken nelpon gue suruh nyari dia. Kalau Ken sendiri yang nyariin dia, gue jamin lo bakalan babak belur."

Aku menepuk jidat dengan ocehan Dave. Memang tujuannya membelaku, tapi bagi Joe pasti beda. Aku yakin.

"Lo apanya Keyra, sih?" Aku melotot dan menggeleng pada Dave supaya tak menjawab. "Kok gue nggak pernah tahu lo teman kakaknya di sini?"

Dave ingin bicara, tapi aku memberinya kode supaya diam saja. Aku tak yakin Dave bisa menahan diri dan tidak keceplosan, mengingat sikapnya yang suka menyebalkan.

"Keyra udah setahun di sini, dan gue baru lihat lo sebulan terakhir. Gue ngerasa aneh." Joe berujar lagi. Kali ini sangat terlihat dia mulai curiga.

"Gu---"

"Joe! Udah deh. Kalian berdua lebay!" sambarku cepat mencegah Dave yang ingin bicara.

Aku segera merapikan tas dan kemudian berdiri. Joe menatapku heran. Aku tak bisa berlama-lama berada di antara dua pria yang mungkin saja akan saling melontarkan kata-kata tak penting. Lebih baik aku ambil kendali.

"Dave, antar gue pulang." Dave mengangguk. "Dan kamu Joe," mataku beralih pada Joe. "Kalau kamu memang serius, redamin dulu emosi kamu sebelum bertemu dengan Dad," lanjutku menahan kesal.

"Tapi ak---"

Aku langsung menarik tangan Dave dan keluar dari kafe itu. Beberapa kali Joe memekik memanggil namaku, tapi tak aku hiraukan. Aku benar-benar ingin marah, jika perlu menonjok muka siapa pun yang berani mengusik mood-ku lagi.

Begitu Dave membuka kunci mobil, aku pun langsung masuk dan kemudian menutupnya dengan keras. Memangnya aku peduli jika mobilnya rusak? Masa bodo! Dia juga yang membuatku marah seperti ini.

"Lo harus bilang tadi istirahat di apartemen Jenny, karena gue bilang lo lagi sakit." Ucapnya dengan ketus.

Aku tak mengangguk, tak juga menatapnya. Aku malas menjawabnya. Tak lama, Dave melajukan mobilnya. Pandangan aku alihkan ke luar jendela. Memantau kemacetan ibukota terasa lebih bermanfaat daripada memandang wajah Dave yang menyebalkan.

Setelah ini aku tak tahu akan seperti apa hubunganku dengan Joe. Aku tahu dia mulai curiga, dan aku tak yakin sampai kapan bisa bertahan merahasiakan pernikahanku.

Apa yang membuat Dad begitu anti dengan Joe? Dan apa yang dikatakan oleh Jenny itu benar? Untuk kali ini, aku sungguh ingin mencari tahu. Selama ini aku seperti orang bodoh yang selalu mempercayai segala hal jika belum membuktikannya sendiri.

Aku lelah menjadi anak penurut. Aku akan menunjukkan, bagaimana menjadi anak penurut yang sebenarnya. Bukan dengan mengiyakan segala perintah, tapi aku akan melakukan apa yang selama ini tak pernah aku lakukan.

Akan aku tunjukkan siapa Keyra yang sebenarnya.

***

Di suatu tempat.

Mataku berkeliaran memandang ke sekitar, memastikan supaya tak ada orang yang mengenaliku. Setelah memastikan situasi aman, mataku beralih pada sosok yang berdiri di hadapanku.

"Ha? Lo yakin?" Baru saja orang itu membisikkan sesuatu padaku.

"Belum sepenuhnya yakin, tapi sepertinya memang begitu," sahutnya rada berbisik. "Cuma ini baru dugaan gue aja." Aku mengangguk.

"Kalau dugaan lo benar, nggak mungkin akan senekat itu. Iya, kan?"

"Ya juga, sih." Dia nampak ragu. "Tapi, lo tetap harus siap apapun yang akan terjadi nanti." Aku mengangguk menyanggupi.

Kemudian, aku pergi tanpa kata setelah memastikan keadaan sekitar aman. 

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top