Chapter 21

[ Keyra ]

•••


Setelah insiden ciuman itu, aku sedikit menyibukan diri membantu Jenny sebagai modelnya. Sebenarnya tidak terlalu sibuk, hanya saja memang sengaja menghindar dari Dave. Aku bingung harus bersikap bagaimana di depannya.

Anehnya, seminggu ini Dave selalu pulang dan tidur di rumah. Bukannya aku tak tahu, aku tahu dia masuk ke kamarku, mungkin dia pikir aku sudah tidur, tapi nyatanya aku susah tidur. Aku pura-pura tidur hanya untuk menghindarinya.

"Huft!" Rasanya lelah.

Di sinilah aku sekarang, menghabiskan waktu hanya dengan duduk, mengamati laptop, dan mengecek setiap angka dan huruf yang tampil di layar. Sekarang aku tak perlu repot lagi untuk datang ke hotel karena orang kepercayaan Kak Ken sudah membantu di sana. Aku tinggal memantau saja.

"Hai, Key!" Kepalaku langsung mendongak begitu mendengar suara yang memanggilku.

"Dave? Ngapain lo di sini?" Aku tak percaya jika dia benar-benar di sini, di hadapanku sekarang.

Mataku langsung berkeliaran mengamati sekitar. Mungkin saja dia ke butik ini untuk mengantar Bianca, tapi aku tak melihat siapa pun bersamanya. Lagipula, aku tak tahu bagaimana tampang Bianca. Percuma saja aku mengeceknya.

Namun Dave masih berdiri mematung di depanku. Dia tersenyum, entah kenapa dia tersenyum. Tubuhku mendadak tak nyaman dalam duduk karena kehadirannya.

"Itu ... tadi gue lewat, eh ... lihat lo di sini, jadi mampir. Nggak apa, kan?" Aku menggeleng pelan.

Apa aku berhalusinasi atau memang dia tengah gugup? Tidak. Ini pasti hanya perasaanku saja, karena nyatanya akulah yang tengah gugup saat ini.

"Nggak apa-apa. Duduk." Aku menunjuk kursi kosong di seberangku.

Dave duduk menghadapku. Mataku kembali terpaku pada layar laptop. Sebenarnya tak sibuk-sibuk banget, hanya saja, aku tak tahu harus membahas apa dengan Dave. Dia juga tiba-tiba muncul di butik ini. Untuk apa? Aneh rasanya jika dia muncul di sini.

"Lo lagi sibuk, ya?"

Pura-pura sibuk, batinku.

"Nggak juga, sih. Lagi monitoring data restoran dan hotel aja." Jawabku sekenanya.

"Loh? Bukannya hotel udah ada yang ngurusin?" Aku mengangguk samar.

"Iya, cuma belum di handover semuanya." Sekilas aku meliriknya yang cuma manggut-manggut.

Canggung sekali suasana di antara kami berdua. Kalau saja aku bisa kabur, sumpah aku ingin lenyap dari hadapannya. Urusanku dengan Joe saja masih ngambang, ditambah efek ciuman waktu itu yang membuatku malas berhadapan dengan Dave.

"Key?"

"Hhmm ...." Aku hanya berdeham dan mataku sengaja sibuk menatap layar laptop.

"Makan malam bareng, yuk?" Spontan kepalaku terangkat dan menatapnya melongo

"Ah?" Mungkin aku salah dengar.

"Makan malam. Ini udah hampir jam tujuh."

Ternyata pendengaranku tidak salah. Tapi kok tumben? Ada yang tidak beres ini.

"Gue nggak bisa. Gue lagi nunggu Jenny balik." Aku tak sepenuhnya bohong.

"Emang dia ke mana?"

"Nggak tahu, tapi dia bawa mobil gue."

Itu alasan yang membuatku menolak. Ya, walau alasan utamanya adalah aku waspada dengan ajakannya.

"Kalau gitu, lo pulang bareng gue aja. Besok gue anter lo ke sini lagi. Gimana?"

Dia kenapa? Apa mungkin siang tadi dia salah makan, atau mungkin sempat terbentur kepalanya? Dia terlihat tak seperti Dave yang aku kenal selama ini.

"Lo lagi kesambet apa, Dave?" selidikku dengan menyipitkan mata curiga.

"Kalau gue kesambet, mana mungkin gue di sini? Udah dirukyah kali gue." Dia terkekeh dengan candaan garingnya sendiri.

Aku memang sudah lapar, tapi Jenny entah kabur ke mana, aku tak tahu. Menunggu dia kembali, bisa-bisa aku sudah jadi mayat di sini. Tak ada salahnya juga menolak tawaran Dave.

"Ya udah," jawabku. "Gue juga udah lapar." Senyum Dave lebar banget begitu aku menyatakan setuju.

Sumpah!

Dave aneh banget. Semoga saja aku tak diracun olehnya nanti. Aku tak boleh percaya begitu saja dengan segala ucapan dan tindakannya. Kejadian waktu itu saja masih begitu membekas.

Setelah merapikan laptop dan barang bawaanku yang lainnya, aku dan Dave bergegas menuju mobilnya. Namun tiba-tiba dia menggandeng tanganku. Rasanya ada sengatan kehangatan yang tak biasa.

Aku tak menolaknya. Bukan, tapi rasanya tanganku lemas untuk menepis tangannya. Ada apa denganku?

***

Sudah seminggu berlalu, hubunganku dengan Dave lumayan membaik. Bukan berarti benar-benar menjadi suami istri, karena nyatanya kamar kami tetap terpisah. Hanya saja, sekarang kami lebih akrab dan terlihat seperti teman.

Ya.

Sekarang kami berteman. Setidaknya kami tinggal dalam satu atap dan tidak merasa seperti orang asing, seperti sebelumnya.

Bagaimana hubunganku dengan Joe? Entahlah. Dia selalu beralasan sibuk, dan aku juga sibuk, tapi sebenarnya tak terlalu sibuk. Ah, bingung.

Lalu bagaimana hubungan Dave dengan Bianca? Jawabannya adalah aku tak tahu. Kenapa? Karena aku memang tak tahu dan tak mau tahu. Yang jelas, Dave selalu pulang ke rumah tepat waktu belakangan ini.

Saat ini aku sedang meeting bersama dengan Jenny dan kru dari majalah fashion ternama di ibukota. Mereka mendesak mengadakan pemotretan di Bandung besok. Itu artinya hari ini juga kami harus berangkat.

Apa aku marah? Tentu saja tidak. Justru aku senang dan excited banget. Jarang sekali aku ke Bandung, mengingat kesibukanku yang tak pernah ada habisnya. Hitung-hitung, sekalian aku berlibur.

Sebuah getaran mengintrupsi fokusku. Ponselku bergetar dan di layar muncul nama dan foto Mom. Segera saja aku menjawabnya.

"Yes, Mom?"

"Rara Sayang, apa kabarmu?" Suara Mom terdengar sangat lembut.

"I'm oke, Mom. Ada apa, Mom?"

"Gimana cucu Mom, udah ada tanda-tanda? Suami kamu gimana?" Aku langsung memutar mata jengah.

Baik ibuku atau ibu mertuaku, selalu saja menelpon hanya untuk menanyakan perkembangan calon cucu mereka yang tak mungkin akan pernah lahir ke dunia. Bagaimana bisa lahir? Prosesnya saja tidak terjadi.

"Belum, Mom. Sabar aja. Dave sehat dan lagi sibuk kerja." Sahutku bosan.

"Sayang, bentar lagi Mom akan berangkat ke sana. Kira-kira besok kami akan sampai. Yah mungkin malam, kami naik jet pribadi."

Ya Tuhan! Cobaan apalagi ini? Dahi kutepuk keras, entah alasan apa yang harus aku berikan kali ini.

Menolak kedatangan mereka, sama saja dengan mencari perkara. Kalau aku iyakan, ini adalah bencana. Tak ada solusi yang menguntungkanku.

"Hhmm ... oke!" Aku pasrah saja.

Ini akan menjadi hari kiamat bagiku karena harus bersandiwara dengan Dave di hadapan orang tuaku. Walaupun kami sudah menjadi teman, bukan berarti kami berdua bisa menjadi pasangan yang sebenarnya.

Setelah menutup telepon dari Mom, aku bergegas mengirim pesan pada Dave supaya bisa menjemput orang tuaku besok. Aku takut jika tidak cukup waktu saat kembali ke Jakarta.

Setidaknya ada yang akan menjemput mereka. Toh, Dave adalah menantu kesayangan Mom dan Dad.

To: Dave
Dave. Mom dan Dad besok datang. Lo bisa jemput mereka?

Semenit kemudian, ponselku bergetar dan menerima balasan dari Dave.

From: Dave
Kok gue? Lo nggak ikut jemput?

To: Dave
Gue nggak bisa. Nanti malem gue berangkat ke Bandung, ada pemotretan besok di sana

Lima detik kemudian ponselku bergetar hebat. Bukan balasan pesan, tapi Dave menelponku.

"Ya, Dave?"

"Lo kok dadakan sih ke Bandung?"

Aku sampai menatap layar ponsel bingung. Kenapa dia protes?

"Tanya tuh si Jenny. Dia dikejar majalah fashion harus pemotretan dengan tema alam. Di Jakarta mana ada alam, sih?"

Sejak kapan dia suka bertanya ke mana aku pergi? Aneh.

"Jam berapa lo berangkat?"

"Jam delapan, mungkin. Setelah makan malam. Lo bisa kan jemput mereka besok?"

Intinya aku cuma mau jawaban bisa atau tidak. Kenapa dia bertele-tele?

"Emang mereka sampai jam berapa?"

"Katanya sih malem gitu, sekitar jam sembilan atau sepuluh mungkin. Naik jet pribadi."

"Emang lo mau berapa hari di Bandung?"

"Semalem aja sih, tapi gue takut besok nggak keburu, makanya minta lo yang jemput."

Aku tak tahu berapa lama proses pemotretan akan berlangsung.

"Gue ikut lo ke Bandung," aku langsung melongo. "Biar besok kita balik cepat. Masa gue doang yang jemput, gue nggak mau."

Dave kenapa, sih? Ini sungguh mencurigakan.

"Eh, ngapain? Lo nyari kesempatan ya biar bisa deket-deket gue?"

Aku tak berharap, tapi gelagatnya mengarah seperti itu. Apa aku salah?

"Lo lupa, ya?" Dahiku mengernyit bingung. "Gue dapat amanah buat jagain lo. Nih, ya! Kalau besok gue jemput sendirian, terus mereka nanya lo di mana, masa gue jujur bilang lo ke Bandung tanpa gue? Gue bisa digorok sama bokap lo."

Dave memang benar. Dad bisa curiga, walaupun aku perginya bersama Jenny. Dad saja ke mana-mana dipepet terus sama Mom, masa anaknya pisah-pisahan sama suaminya? Lebih baik aku cari aman.

"Ya udah. Lo jemput gue jam enam di butik Jenny. Nggak pakai ngaret!"

"Oke!" Jawabnya cepat dan aku langsung memutuskan sambungan telepon.

Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Jenny mungkin akan santai karena dia tahu aku dan Dave sudah menikah. Tapi kru yang lain bagaimana? Aku belum siap pernikahanku diketahui banyak orang.

Huft! Dilema.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top