Chapter 20

[ David ]

•••

Aku pasti sudah kehilangan kewarasan. Aku melanggar kesepakatan karena sudah melakukan kontak fisik yang masuk dalam kategori intim. Aku tak bisa mengendalikan diriku.

Tindakan Keyra yang membelaku di depan adikku sendiri yang jelas-jelas telah merendahkan harga diriku sebagai laki-laki, itu di luar dugaan. Aku masih tak percaya jika Keyra melakukannya, walau dia telah memberikan sebuah alasan yang pas menurutku.

Kalian tahu? Ada getar tak biasa yang aku rasakan. Selama hidupku dalam mengarungi asmara liarku, tak sekalipun ada wanita yang pernah membelaku, pun Bianca, sama sekali tidak pernah.

Tapi Keyra, wanita yang telah aku jebak, wanita yang tak pernah aku harapkan menikah denganku, justru menyerukan pembelaannya dengan begitu lantang demi mempertegas posisiku sebagai seorang suami.

Kenapa dia melakukannya? Kenapa aku menjadi begitu terpengaruh? Kenapa aku menjadi pusing karenanya? Kenapa aku menjadi kebingungan begini? Dan ... kenapa aku menciumnya?

Argh! Aku frustrasi.

Bahkan, ini sudah seminggu berlalu, namun kami belum saling bertegur sapa. Aku malu menyapanya lebih dulu, aku merasa bersalah. Selain itu, Keyra sepertinya marah padaku.

Sejak kejadian itu, dia selalu bangun subuh, lalu langsung pergi tanpa kata. Mungkin dia pikir aku tidur pulas, nyatanya aku hanya pura-pura terpejam. Entah ke mana perginya, aku tak pernah tahu.

Rasa bersalahku pun membuatku merasa gelisah. Sejak kejadian itupun, aku selalu pulang ke rumah, sekalipun waktu sudah sangat larut. Bahkan, aku selalu melihat Keyra ke kamarnya, namun dia sudah sangat lelap.

Aku ingin bicara padanya, tapi tak tega membangunkannya. Aku berpikir di pagi hari kami bisa bertemu, atau sekadar sarapan bersama, nyatanya dia sudah hilang sebelum mentari muncul.

Apa dia marah padaku? Pastinya begitu. Bagus! Neta mengamuk padaku, dan sekarang Keyra juga mendiamiku. Serasa kembali dimusuhi oleh keluarga sendiri.

Kalian tahu?

Sejak kejadian itu, dalam seminggu ini tak sekalipun aku menginjakkan kaki di apartemen. Bertemu dengan Bianca saja tidak. Seharian aku menyibukkan diri di kantor, benar-benar bekerja supaya kegundahanku teralihkan. Nyatanya, aku merasa semakin galau.

Apartemenku tampak tak menarik lagi bagiku. Hanya rumah yang ingin aku tuju. Aku seperti mendapat karma. Aku pernah membiarkan Keyra sendiri di rumah, dan sekarang terjadi padaku. Dia begitu betah di luar rumah, dan saat aku pulang dia sudah lelap dalam lelahnya.

Aku merasa tak tenang dengan sikap diam dan cueknya. Mungkin karena kami telah terbiasa berdebat dan membuat gaduh, lalu kejadian itu membuat hubungan mereka benar-benar seperti orang asing sekarang.

Aku sudah mencoba menelponnya, namun tak pernah dijawab olehnya. Pesanku pun tak pernah dibalas olehnya. Aku menyampaikan permintaan maaf, namun belum mendapat respon, yang artinya aku belum termaafkan.

Keyra membuatku hampir gila. Dia menghindariku. Apa begitu dosanya karena telah mencium istri sah? Jika tak ada kesepakatan itu, mungkin tidak dosa.

Argh!! Aku stres.

"Woi!!"

Nico sialan! Dia muncul dengan gebrakan yang membuatku hampir jantungan. Ada apa dia tiba-tiba muncul dengan senyum konyol begitu? Dia sangat mencurigakan.

"Kenapa lo ngelamun aja, bro?" Dia duduk santai, masih dengan senyum bodohnya.

"Ngapain ke sini?" Aku sedang malas diganggu olehnya.

"Lo sensi amat, nggak dikasih jatah sama Keyra, ya?" Dan dia tertawa dengan bahagianya.

Pulpen pun ku layangkan padanya, namun sial, dia bisa menghindar. Berani-benarinya dia mencibirku, mentang-mentang dia sudah mendapat akses untuk menjamah adikku.

"Jaga mulut lo!" Aku melotot padanya.

"Terus, lo kurang puas sama Bianca?"

"Udah seminggu gue nggak ketemu Bianca."

Tawa jahilnya seketika bungkam. Kini giliran matanya yang melotot tajam padaku. Bukan karena marah, tapi sepertinya dia syok.

"Wuih!! Rekor nih .... Kuat juga lo seminggu nggak ketemu Bianca. Dulu saja, belum sejam udah galau."

Ingin rasanya aku melempar laptop ke wajahnya.

"Itu dulu!!" sungutku membela diri. "Gue nggak fokus aja kalau ketemu dia. Lagi kepikiran Keyra."

"Whattt!!!"

Aku langsung berdiri, lalu menjitak kepala Nico dengan keras.

"Aaww! Sakit bego!" Dia meringis sembari mengusap kepalanya.

"Nggak usah teriak."

Teriakannya membuat congek di telingaku loncat keluar dengan sukarela.

"Gue kan syok. Sejak kapan lo mikirin Keyra? Biasanya juga kalian jalan sendiri-sendiri."

Nico tahu bagaimana aku, bagaimana kebutuhanku sebagai seorang lelaki normal. Dia pun tahu kalau aku lebih membutuhkan Bianca daripada Keyra.

"Sejak gue nyium dia."

Mulut sialan! Kenapa aku keceplosan? Mataku melirik Nico yang kini termenung dengan dahi mengernyit dan mulut menganga.

"Lah? Emang kalian udah berapa kali ciuman? Kenapa lo jadi kepikiran sekarang?"

Aku lupa. Walaupun dia tahu bagaimana diriku, tapi dia tak tahu bagaimana kehidupan rumah tanggaku yang sebenarnya.

"Eng ... lo percaya nggak kalau gue bilang belum pernah nyentuh Keyra?"

Ini pasti terdengar konyol karena predikatku sebagai lelaki liar, dan pastinya Nico tidak akan percaya. Lihatlah, tampangnya cengo seperti kambing boker.

Nico belum merespon apapun, aku jadi was-was padanya. Namun tiba-tiba ....

"HAHAHAAA ...." tawanya meledak.

Harusnya aku tak mengatakan itu padanya. Sekarang aku pasti menjadi bahan bulan-bulanan olehnya. Reputasiku akan merosot tajam.

"Lo bercanda, kan?" Dia tertawa sampai ngos-ngosan. "Mana mungkin lo nggak ngapa-ngapain dia, itu kamar sampai berantakan, ngapain coba?"

Jelas saja dia tak percaya mengingat bagaimana bejatnya diriku yang tak pernah sanggup menahan nafsu. Apalagi terhadap Keyra yang memiliki postur model, Nico pasti berpikir jika aku gila telah melewatkan kenikmatan bersama istriku.

"Gue serius," ucapku sedikit geram.

"Lo jangan bercanda, bro ...." Aku menggeleng cepat.

"Itu kali pertama gue cium dia. Nggak tau kenapa waktu itu gue ... gue lost control."

Nico semakin melongo mendengar pengakuanku. Aku tak pernah merahasiakan apapun, kecuali tentang kesepakatan itu. Dan sekarang kejujuranku telah membuatnya tak percaya. Sesulit itukah menerima jika aku benar-benar tak pernah menyentuh Keyra?

"Bentar ..." Nico menegakkan posisi duduknya dan memasang ekspresi serius. "Gue mau tanya sesuatu sama lo. Sejak lo nikah, sampai detik ini, lo belum belah duren sama Keyra?" Aku menggeleng, karena kenyataannya kami tidak berbuat sejauh itu. "Waktu kalian bulan madu, nggak grepe-grepe?" Aku menggeleng lagi. "Dan ... lo baru sekali nyium dia?" Aku mengangguk lemah. "Waktu nikah kan lo juga nyium dia, dah dua kali dong?"

"Waktu nikah gue cuma ngecup dikit." Jawabanku membuat napasnya berhenti. Mungkin saking kagetnya.

Aku mengatakan hal sebenarnya. Waktu kami menikah aku hanya mengecup sedikit bibirnya. Bagaimana aku bisa menciumnya jika waktu itu dia mengancamku? Keyra begitu marah saat itu.

"Dave, ini penting gue tanya." Nico semakin serius.

"Apa?"

"Adek lo ngamuk sama gue karena lihat lo bareng sama Bianca lagi. Kalau gue nggak salah prediksi, lo beneran masih 'berhubungan' dengan Bianca?" Nico memberikan tanda kutip dengan kedua tangan pada saat menyebut kata berhubungan.

"Ya," jawabku sembari mengangguk samar.

"Apa karena lo nggak bisa nyentuh Keyra, makanya lo lampiasin ke Bianca?" Aku mengangguk, tapi kemudian menggeleng.

Alis Nico mengkerut ketika mengetahui jawabanku yang ambigu. Sebelum terjadi kesepakatan itu pun aku tidak berniat menyentuh Keyra. Fokusku masih pada Bianca saat itu. Tapi sekarang ... entahlah.

"Jujur sama gue, Dave." Aku tahu Nico akan menuntutku.

"Bianca udah tahu status gue, dan kami lakuinnya dengan sadar. Tapi seminggu ini gue nggak ketemu sama dia. Gue ngerasa ... males."

Tiba-tiba ....

"HAHAHHAHA...." Lagi, dia menertawakanku. "Fix! Lo suka sama Keyra. Lo mulai cinta sama dia, Dave." Aku langsung melotot padanya

"Nggak!" bantahku membentak.

Dia terlalu cepat menyimpulkan dan menuduh. Bagaimana bisa aku jatuh cinta secepat itu padanya? Ini tidak benar.

"Gue cuma kepikiran, seminggu ini dia ngehindar, padahal gue udah minta maaf. Lo bayangin aja, dia pergi jam lima subuh, pulangnya gue nggak tahu kapan karena waktu gue pulang dia udah tidur. Nggak ada waktu buat kami ngobrol."

Aku berceloteh panjang lebar dengan segala keluhanku, dia malah asik tertawa. Harusnya, sebagai sahabat dia memberiku solusi, bukan membuli seperti ini

"Lo nggak coba ke kantornya?"

"Seminggu ini dia pemotretan sama Jenny. Setau gue, dia udah jarang ke hotel karena Ken udah naruh orang kepercayaannya buat ngurus."

"Kalau gitu, lo harusnya cari dia ke lokasi pemotretan."

"Gue nggak tahu tempatnya."

Tiba-tiba Nico menepuk jidatnya sendiri. "Lo punya hape, kan?" Aku mengangguk. "Lo telpon, bego! Tanya dia di mana."

"Kalau dia nggak jawab?"

"Hape lo ada GPS, kan?" Aku mengangguk lagi. "Gunain, dodol!! Sial, Dave! Kenapa otak encer lo jadi beku gini? Ngelacak Bianca semua teknologi lo kerahin, tapi nyari bini sendiri kok jadi bego gini? Heran gue."

Seketika aku nyengir. "Pintar lo, ya?" Sungguh tak terpikirkan.

"Gue emang pintar. Serius deh, Dave. Lo jatuh cinta sama Keyra. Gue taruhan, mobil sport lo jadi milik gue."

"Ogah! Seenaknya lo mau nodong mobil gue." Tampang konyolnya kembali cengengesan.

Nico benar, kalau hanya menunggu waktu di rumah untuk bicara dengan Keyra itu akan sulit, mengingat Keyra sepertinya sangat menghindariku. Tak ada salahnya jika aku yang mencari dan menemuinya lebih dahulu. Anggap saja memberinya kejutan.

"Mau ke mana lo?" Seru Nico saat aku berdiri hendak keluar ruang kerja.

"Nyari Keyra!" balasku dan langsung melesat pergi.

Aku tak ingin membuang waktu. Tak bicara seminggu dengan Keyra rasanya aneh. Kami harus bicara, kami harus terlihat baik-baik saja. Keluargaku bisa kapan saja muncul, dan itu sangat membahayakan kami berdua.

Bergegas masuk ke mobil, lalu aku menarik napas panjang dan siap berangkat. Bermodalkan GPS dari ponsel, aku berhasil melacak keberadaannya. Beruntung, ternyata dia mengaktifkan ponselnya.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top