Chapter 2
Preman itu terus meringis menerima pukulan dari seseorang. Antara syok dan entahlah, aku masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Aku tak melihat, aku menutup mataku dengan tangan.
Lalu, tiba-tiba preman itu lari terbirit-birit sambil memegang wajahnya yang sudah babak belur. Seperti melihat setan, wajah preman itu pucat dan ketakutan. Apa mungkin setan yang memukulnya?
"Lo gak apa, kan?" Suara bariton yang terdengar sexy menyadarkanku.
"Eh? I-iya. Ma-makasih ...." sahutku tergagap, mataku mengerjap dan mulai menghirup udara yang sejak tadi terasa menyesakan.
"Jalanan di sini emang rawan. Lo mau ke mana?" danya orang itu sok akrab.
"Gue mau pulang. Nunggu taksi, tapi tumben nggak ada lewat."
"Emang rumah lo di mana?"
"Deket sini kok ...." Aku berbohong, padahal apartemenku masih lumayan jauh di seberang jalan.
"Ya udah. Gue anter, deh!" Aku langsung mengambil sikap waspada. "Lo nggak usah takut, gue orang baik-baik, kok ...." lanjutnya dengan begitu santai.
"Eh? Nggak usah. Gue jalan aja pelan, entar juga ada taksi lewat." Bukan maksud menolak tawaran orang, tapi jual mahal boleh dong.
"Yakin? Lo nggak lihat jalanan sepi gini? Kelihatan lo nggak pernah jalan lewat sini."
Emang, batinku.
Biasanya aku selalu membawa mobil atau nebeng dengan sahabatku. Tapi untuk kali ini mereka punya kesibukan masing-masing, dan kebetulan aku tak membawa mobil. Jadilah aku berniat naik taksi. Tapi apa dikata, malah hampir dijambret.
"Gue Dave. Lo?" Dia menjulurkan tangannya, dan aku menatapnya risih. "Gak usah takut, gue cuma pengen bersikap ramah aja." Dia terkekeh seolah meremehkan.
"Gue Keyra," sahutku dan membalas jabat tangannya kilat. "Eh, ada taksi. Thanks udah nolong gue, ya?" ucapku cepat, lalu buru-buru menghentikan taksi yang lewat.
Dia hanya melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku. Kalau diteliti, pria itu tampan juga. Dibandingkan dengan Joe, dia lebih tampan menurutku.
Aduh! Malah membandingkan pacar sendiri dengan orang lain.
***
Ngomong sama Jenny itu bikin budek. Tapi, ngomong sama Nessa itu bisa bikin panas hati jiwa raga lahir batin. Pokoknya panas api neraka menjalar di otakku.
Kenapa? Karena saking lemotnya, arah pembicaraan yang sudah berjalan panjang lebar, tapi ending-nya tidak ada yang nyambung sama sekali. Kok bisa sih Rey sabar nunggu dia? Memang cinta itu buta.
"Key, lo dijambret cowok ganteng gitu?" tanya Nessa masih lemot mencerna.
"Nes, gue hampir dijambret sama preman brewok. Terus ditolong sama cowok ganteng. Gitu!" Aku hanya bisa mengelus dada. Sabar ... sabar!
"Oh gitu," dia manggut-manggut. "Aku nggak suka sama cowok ganteng tapi brewokan. Sama aja kelihatannya serem." Celotehnya tanpa dosa dan masih tak nyambung dari topik. Aku hanya bisa tepuk jidat.
"Brewokan itu sexy loh, Nes ...." Jenny nyeletuk mengompori kelemotan Nessa. Pembicaraan ini semakin tak jelas.
"Kak Ken nggak brewokan, Jen." Aku terkikik menahan tawa.
Nessa, walaupun lemotnya mengalahkan lajunya keong, tapi dia sangat polos. Saking polosnya, hal yang harus dirahasiakan bisa terbongkar dengan sendirinya.
"Eh? Ya-yang bilang Kak Ken siapa?" Jenny gugup kalau membahas tentang kakakku.
Jenny itu suka, bahkan fans beratnya Kak Ken. Bisa dikatakan kalau Jenny punya hati kepada kakakku. Hanya saja Kak Ken lebih tenggelam dan menggalaukan wanita tak jelas itu.
"Jen, lo masih ngarepin kakak gue?" Kali ini aku serius.
"Gue nggak tahu," Jenny mendadak lesu. "Beneran dia udah putus sama medusa, Key?" Jenny selalu menyebut mantan Kak Ken dengan sebutan medusa. Dan aku setuju.
"Udah. Cuma si medusa masih ngejar-ngejar Kak Ken." Menyebalkan sekali wanita itu. "Lo tahu nggak? Masa waktu gue ultah si medusa nyogok gue dengan kado tas Gucci. Ngarep banget gue mau bantu dia buat balikan sama kakak gue."
"Yang boneng lo, Key? Terus lo terima?" Jelas aku menggeleng.
"Males banget! Gue juga mampu beli sendiri keleuuss ... Lagian juga ngasihnya nggak niat," Jenny serius banget. "Masa tas Gucci keluaran tahun lalu yang dia kasih." Spontan Jenny tertawa keras diikuti Nessa yang tak kalah hebohnya sampai guling-gulingan.
Selain lemot, Nessa itu setia kawan banget. Dia akan tertawa dan bisa paling keras bin kencang di antara kami saat semua tertawa. Tapi juga bisa nangis paling pedih ketika kami ada yang sedih. Pokoknya Nessa itu unik.
"Bodoh ya si medusa," Aku dan Jenny langsung terdiam. "Masa ngasinya guci. Kan repot bawa ke mana-mana. Kalo pecah gimana, yah? Ha ha ha ...." Nessa semakin tertawa ngakak.
Aku dan Jenny menganga syok. Jadi dia tertawa bukan karena keluaran tas Gucci tahun lalu? Jadi dia pikir guci keramik? Oh Tuhan! Selamatkan Nessa dari kelemotan yang tiada tara ini.
Kami bertiga mengabiskan waktu di ruang tengah apartemenku. Walaupun obrolan kami agak memusingkan karena Nessa yang tidak nyambung, tapi kami menikmatinya.
"Key, Aunty Della tahu lo di Jakarta?" Jenny membuatku mendadak murung.
"Sepertinya tahu. Kak Ken nggak mungkin bisa bohong sama Mom. Tapi gue yakin, Mom nggak akan bilang sama Dad. Mom kan juga nggak setuju gue dijodohin, makanya Mom bantuin gue kabur ke Inggris dulu."
Aku merindukan Mom.
"Kok Uncle James nggak nyari lo ke Inggris, yah? Kan waktu itu si Joe ada di sana."
Kadang-kadang Nessa pikirannya agak lurus, tapi di waktu-waktu tertentu saja.
"Kak Ken juga nentang perjodohan gue, dan minta sama Dad buat ngasih gue waktu selama gue di Inggris. Gue dalam pengawasan dan perlindungannya. Dad setuju, makanya gue bisa di sana. Tapi sekarang di sini, karena kalian."
Alasanku yang lain kembali ke Jakarta karena para sahabatku, bukan karena Joe semata. Aku sudah mengatakan sebelumnya.
"Kok? Bukannya lo ke sini karena pacar lo?" ketus Jenny yang enggan menyebut nama Joe.
"Iya sih ... tapi kalau gue kabur ke sini dengan alasan dia, udah pasti gue dibalikin ke LA sama Kak Ken. Gue mohon sama Kak Ken, bilang kalau gue pengen mandiri dan biar deket sama lo semua. Ya udah ... Kak Ken setuju walau dengan syarat. Tapi lo seenak jidat manfaatin gue jadi model lo!" Ku toyor jidat Jenny.
Pekerjaanku menjadi bertambah karena si setan modis satu ini.
"Lo cinta nggak sih sama si Joe?" Aku menatap Nessa dengan wajah seriusnya yang langka terjadi.
"Gue sayang sama dia. Yah ... walaupun semenjak balik ke Jakarta hubungan kita jadi merenggang, tapi kita nggak pernah berantem. Gue tahu dia lagi sibuk, gue juga kan sibuk."
Alasan klasik untuk menutupi kebimbangan mengenai hubunganku dengan Joe. Namun, sejujurnya dalam hatiku kini hanya ada rasa ... hampa.
"Yah! Lo yang ngejalanin, kita cuma bisa komentarin. Lo tahu kan maksud gue?" Aku hanya mengangguk paham maksud dari sindiran Jenny
"Sejak kapan lo jadi komentator? Bola apa motogp, Jen? Kok gue nggak pernah lihat di tivi?" Mulai lagi deh lemotnya si Nessa.
"Sejak burung garuda terbang pake jet!!" geram Jenny membalas Nessa yang sekarang malah tertawa.
"Wuih!! Kalah Syahrini loh ... Garuda aja punya jet. Ha ha ha ..." Dia terbahak-bahak dan heboh sendiri.
Astaga!
Boleh tidak lubang buaya dibuka buat nyekap nih bocah? Gemas juga kalau ngomong sama Nessa. Bikin api neraka semakin meluber.
Panas!
***
Bangun pagi dan melihat keadaan tempat tidur seperti usai diserang badai. Bantal di lantai, selimut entah di mana, boneka-boneka sudah hijrah dari posisinya. Itu artinya, di kamar ini ada dua perompak. Siapa lagi kalau bukan Jenny dan Nessa.
Yup!
Mereka menginap di apartemenku semalam. Apartemenku memang memiliki dua kamar tidur, tapi yang satunya adalah kamar Kak Ken. Ya jelas, karena dia sering mengunjungiku ke Jakarta.
Setelah membasuh wajah, aku pun keluar kamar dan seperti biasa berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Kalau kalian tanya apa aku bisa masak? Tentu saja. Kalau tidak, buat apa aku membuka restoran? Yah walaupun di sana ada Rey yang jadi chef, tapi memang aku bisa memasak.
Dulu waktu kecil kami selalu diajari memasak oleh Mom. Kami yang aku maksud bukanlah aku dan Kak Ken, tapi aku dan kembaranku, Keyla.
Ah! Aku merindukankan Lala.
Mom pernah mengajari kami membuat kue kering untuk persiapan hari raya natal. Kami berbagi tugas. Keyla menakar telur, dan aku menimbang tepung. Itu sangat menyenangkan.
Aku ingat bagaimana kesalnya Keyla hingga dia terbatuk-batuk saat tepung-tepung yang aku takar berterbangan. Itu bukan salahku, tapi kipas angin yang entah siapa yang menyalakannya.
Mom menengahi kami yang ribut, lalu mulai mengajari cara membuat adonan. Keyla begitu antusias, pun denganku. Sesekali kami saling memoles usil adonan yang basah ke wajah masing-masing. Mom sampai pusing melihat tingkah kami.
Kala itu Mom mengajari kami membuat kue nastar. Aku dan Keyla begitu senang ketika kue pertama buatan kami selesai. Keyla tipe pendiam, kalem, dan penurut. Sangat berbanding terbalik denganku yang cerewet, sedikit bandel, dan tak bisa diam.
Tapi melihat binar mata dan senyumnya kala itu, pun pekikan cerianya yang melengking, Keyla terlihat sangat sepertiku. Aku seperti bercermin.
Walaupun aku dan Keyla kadang suka berselisih, tapi kami memiliki ikatan batin yang kuat. Jika dia sakit, aku juga akan sakit. Keyla adalah kakak perempuan satu-satunya milikku. Karena kami lahir dari rahim dan plasenta yang sama.
"Woi!!" Aku hampir memukul kepala Nessa dengan spatula karena kaget. "Lamunin apa, sih?" tanya dia yang dengan santai duduk di kursi pantry.
"Nggak ada. Gue kangen Keyla aja," sahutku sedih.
"Gue juga ..." suaranya sendu. "Pengen jenguk dia deh, tapi kalau kita ke sana, lo bakal nggak bisa balik ke sini dong, Key?" Nessa tampak sedih dan aku tahu dia lebih sedih daripada aku.
Waktu kami kecil, Nessa memang lebih dekat dengan Keyla, karena hanya Keyla yang bisa mengartikan kelemotannya.
"Ya suatu hari kita akan jenguk dia sama-sama, yah?" Hiburku dan dia mengangguk pelan.
"Jenguk siapa?" Jenny datang dengan muka bantalnya dan menguap lebar.
Walaupun kesehariannya sangat fashionable dan anggun, tapi kalau bangun tidur... iyuuhh!!
"Keyla, Jen. Keyra kangen katanya. Gue juga." Nessa mengadu.
"Iya, gue juga kangen," ujar Jenny yang langsung duduk di samping Nessa. "Tapi lihat Keyra juga berasa lihat Keyla, kan? Jangan sedih, Ness." Jenny menepuk pundak sahabat kami.
Aku dan Keyla adalah kembar identik. Yang membedakan hanya dua hal, Keyla punya tanda lahir di pundak kirinya sedangkan aku tidak. Dan satu lagi, tingginya hanya beda 2cm lebih tinggi dari aku. Selebihnya sama.
Duh! Pagi-pagi jadi cengeng gini. Lebih baik aku menyediakan sarapan omelet untuk mereka berdua. Begitu sarapan tersaji, seketika wajah sumringah mereka langsung terpancar.
~ o0o ~
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top