Chapter 19
[ Keyra ]
•••
Dua minggu telah berlalu. Perasaanku semakin tak menentu. Entah bagaimana lagi aku harus bersikap, nyatanya Joe kini semakin sulit untuk dihubungi. Cerita Jenny sering berkelebat di kepalaku. Apa aku masih pantas percaya pada Joe?
Entah sudah berapa kali aku menghubunginya, mengirim pesan padanya, namun baru semalam dia meresponku. Alasan sibuk dan kelelahan menjadi penyebabnya dia sulit dihubungi.
Untuk sekarang ini, bisa dibilang hubungan kami kembali normal. Tapi tetap saja, kami belum bertemu kembali sejak terakhir kali di restoran sebelum aku pergi ke Maldive.
Selain Joe, Dave juga cukup membuatku pusing. Walaupun aku tak ingin memikirkannya, tapi tetap saja segala sesuatu tentangnya selalu dikaitkan padaku oleh keluarganya.
Dave jarang di rumah, pun sepertinya tak pernah tidur di kamarnya. Entahlah, aku tidak tahu dan tak pernah memerhatikan.
Kebetulan, hari ini adalah Sabtu. Aku berencana bertemu dengan Joe. Seperti manusia lainnya, aku ingin merasakan kencan yang tak pernah aku dapatkan selama ini.
Sebenarnya, sudah sejak minggu lalu aku ingin menemuinya, tetapi kakak tercintaku begitu manis memberikan segudang tanggung jawab padaku karena dia harus kembali ke Inggris. Kalau sudah begitu, kapan aku memiliki waktu luang? Aku merindukan pacarku.
Lamunanku terusik oleh getaran ponsel yang aku letakan di meja. Saat ini aku bersantai di ruang tengah rumah besar Dave, hanya sendiri karena aku tidak tahu Dave di mana sekarang.
"Hallo?"
"Key, lo di mana?" Neta terdengar kesal.
"Di rumah. Kenapa?"
"Oke! Bentar lagi gue ke sana. Abang di rumah juga, kan?"
Kenapa Neta menelponku hanya untuk menanyakan kakaknya? Kenapa tidak menelpon Dave saja langsung jika dia punya perlu dengan kakaknya? Aku harus menjawab apa sekarang?
"Eng ... iya, tapi barusan keluar, mungkin sebentar lagi pulang. Lo ada perlu sama Dave?" tanyaku waspada.
Neta bisa menjadi pengusik dan perusuh super jika dia merasa di antara kami ada yang aneh. Kadang, aku pusing karenanya.
"Nggak, sih. Ya udah, gue mau on the way nih. Bye!"
"Hati-hati!" Aku lantas menutup sambungan telepon.
Aku merosotkan tubuhku, kedatangan Neta sudah pasti menjadi perusak rencana malam mingguanku kali ini. Tapi, jika benar dia ke sini, aku harus menelpon Dave segera.
Kadang aku sangat kesal, Dave begitu leluasa melakukan apapun yang dia inginkan. Sedangkan aku, banyak sekali halangan. Ternyata menikah bukan solusi menjadi lepas dari keluarga.
To: Dave
Buruan pulang. Neta mau ke sini.
Setelah mengirim pesan pada Dave, tak lama balasannya pun tiba.
From: Dave
Ngapain dia datang?
To: Dave
Mana gue tahu! Buruan pulang. Tadi gue bilang lo cuma keluar sebentar. Jangan sampe dia curiga.
From: Dave
Oke! Otw
Kenapa hidupku justru terasa semakin rumit? Ini semua karena Dad yang ingin menjodohkanku dan menentang hubunganku dengan Joe. Lihatlah sekarang, hubunganku dengan Dave pun tak akan berkembang walau Dad telah merestui.
Sebenarnya aku tak mengerti kenapa Dad menyetujui pernikahan ini? Padahal Dad tahu jika aku dan Dave tidak saling dekat. Ada apa dengan keluarga Liems, sampai Dad begitu keras menentang aku dan Joe?
"Haaaahh!!"
Rasanya frustrasi. Semakin aku memikirkannya, rasanya semakin tak menemukan jawaban apapun. Kepalaku mendadak berdenyut. Aku sungguh merasa lelah.
***
Ada apa dengan dua orang ini? Ingin kuhantam mereka satu per satu. Kepalaku begitu pening, tapi mereka justru perang mulut dengan begitu sengitnya di hadapanku.
Neta begitu berapi-api mencecar Dave dengan nada tinggi. Padahal, awalnya Neta datang berkunjung dengan wajah sumringah dan sangat kalem. Namun begitu Dave datang, tiba-tiba dia berubah menjadi singa betina yang siap memakan Dave mentah-mentah.
Dave yang tak terima dengan sungutan adiknya itu, pun membalas dengan suara yang lebih menggelegar. Aku jengah pada keduanya, mungkin dahiku sudah memerah akibat aku tepuk berkali-kali.
"Bang! Lo tuh harusnya nyadar udah nikah, masih aja mau ditempelin sama mak lampir itu!" cecar Neta berapi-api.
"Lo bocah nggak usah ikut campur. Bini gue aja nggak protes, kenapa lo yang sewot?" Dave tak mau kalah.
"Laki macam apa lo? Tega banget selingkuhin bini. Nggak moral lo jadi abang gue!"
"Gue nggak selingkuh! Lo ngomong moral sama gue, apa lo udah ngaca? Lo emang adek gue, tapi gue tahu kelakuan lo sama Nico."
"Emang kenapa kalau gue sama Nico? Toh, gue cuma mesum sama satu orang. Nah lo? Udah punya bini, masih aja jajan di luar!"
Telingaku rasanya panas mendengar serangan mereka satu sama lain. Rambut lurusku mendadak mengkerut seakan kehilangan keratin saking panasnya, mungkin sebentar lagi berubah menjadi kriting.
Aku pikir Neta hanya memiliki bakat jahil, namun nyatanya dia memiliki gen mesum seperti kakaknya. Kini aku baru sadar jika telah masuk ke dalam keluarga berotak liar.
"Lo nggak usah ikut campur urusan rumah tangga gue!" Dave kembali membentak dengan garang.
"Gue nggak ikut campur, tapi gue peduli sama Keyra. Apa lo nggak cinta sama Keyra? Kenapa lo main di belakangnya?" Neta sudah terlampau jauh ikut campur.
"Lo nggak usah sok ngomong cinta depan gue. Emang lo cinta sama Nico sampai rela dijamah sama dia?"
Wow!
Nico seberani itu pada Neta yang garang ini? Aku pikir Neta begitu manis dan menjaga harga dirinya. Tapi itu urusannya, bukan urusanku.
"Ya! Gue emang cinta sama Nico. Sikap liar gue cuma sama Nico. Daripada lo? Penjahat kelamin!"
Ini sudah keterlaluan.
"NETAAA, STOPP!!" teriakku.
Mereka berdua langsung bungkam, bergeming di tempatnya masing-masing dengan mata mengerjap seperti orang bodoh. Aku muak mendengar perdebatan mereka yang tak ragu melontarkan kalimat frontal dan vulgar.
"Key, gue belain lo dari abang brengsek gue. Lo tahu? Dia selingkuh. Gue tahu kalau dia sering tidur di apartemen daripada di rumah. Gue nggak rela punya abang kayak dia!"
Seharusnya aku terharu mendengar kalimat emosional Neta karena membelaku dari pengkhianatan Dave, tapi apa peduliku? Neta tidak tahu mengenai kesepakatanku dengan Dave. Seandainya dia tahu, mungkin aku juga dihujat olehnya.
"Lo nggak berhak ngehina Dave kayak gitu, dia abang lo. Gue akui, dia jarang di rumah, gue nggak masalah, tapi gue nggak terima lo nuduh dia kayak gitu."
Jelas sekali Neta memerah karena marah, matanya melotot tak percaya dengan perkataanku yang membela kakaknya.
"Lo dikhianati, Key! Kenapa lo malah bela dia?"
"Karena Dave suami gue. Apapun yang dia lakuin, baik atau buruk, selama dia nggak nyakitin gue, gue akan percaya sama dia. Kalau dia bahagia, gue sebagai istrinya pasti juga akan bahagia."
Neta menganga. Pun aku yang baru menyadari rentetan kalimat yang tak pernah aku harapkan keluar dari mulutku. Sial! Kenapa aku berkata seperti itu?
Mataku melirik sekilas pada Dave yang tampak melongo manatapku. Abaikan saja, Neta belum Jinak saat ini, dia masih memasang bendera perang pada Dave.
"Bang, lo dengar? Sebejat-bejatnya lo berbuat, bini lo masih belain. Jangan sampai lo menyesal kalau suatu hari bini lo pergi. Gue jamin, lo bakal tersiksa lahir batin."
Sumpah serapah Neta berhasil membuatku merinding. Mulut Neta ternyata sangat pedas. Tanpa mengatakan apapun, permisi pun tidak, Neta melenggang dengan segudang amarahnya pergi dari rumah ini.
"Kenapa lo lihat gue kayak gitu?" cibirku pada Dave.
Dave bergeming di tempatnya, matanya menatap tajam padaku. Sial! Dia membuatku gugup. Lebih baik aku kembali ke kamar saja.
Namun, saat aku hendak berbalik badan, tanganku dicekal oleh Dave sehingga membuat kakiku urung untuk melangkah.
"Kenapa lo belain gue?" tanya Dave dengan nada dingin.
Kuhela napas jengah, lalu berbalik menggadapnya. Sebenarnya aku bosan berdebat dengannya. Aku tak paham, saat aku protes, dia tak terima, saat sudah aku bela, tetap saja tak terima. Intinya, kami tak akan pernah bisa kompak.
"Gue belain karena gue pusing dengar debat lo berdua. Kalian itu saudara sedarah, nggak baik berantem, apalagi di depan gue yang notabene orang lain di hidup lo."
"Lo bohong!" Dia malah menuduhku.
Kenyataan memang aku pusing mendengar peperangan mereka yang tak berarti apa-apa bagiku. Mereka hanya membuat situasi semakin kusut.
"Lo belain gue biar gue sering di rumah karena lo kesepian, kan? Lo nggak main perasaan, kan?"
Tawaku langsung menyembur.
"Pede amat sih lo ... Gue nggak pernah kesepian. Waktu lo pergi, gue juga pergi. Kalau gue main perasaan, udah kemarin-kemarin gue angkat kaki dari sini."
Mungkin kata-kataku sudah jelas. Cekalan tangannya di tanganku langsung ku hempas. Dia kira cengkramannya nggak bikin sakit?
"Key, Jujur. Kenapa lo belain gue?"
Kutatap dia dengan sinis. "Gue udah bilang alasannya, mau gimana lagi?"
Kenapa dia begitu mendesak dan seakan tak percaya? Aku sungguh bosan melihat pertikaian mereka. Selain itu, karena mereka juga moodku menjadi kacau. Rencana malam mingguanku berantakan sudah.
Alisku menungkik sinis saat menatap Dave yang berdiri seperti patung. Dia kenapa?
"Lo kenapa?" Aku hanya ingin memastikan jika dia tak berubah menjadi manekin.
"Gu-gue ... gue ... argh!!"
Tiba-tiba Dave menangkup pipiku dan ... cup. Dia mencium bibirku.
Aku mematung, tak mampu mengantisipasi apapun. Aku terkejut, dan dia berhasil membuat seluruh sarafku membeku.
Bibirnya masih menempel di bibirku, perlahan, bibirnya bergerak melumat, lembut, hingga mataku terpejam menikmati. Sungguh, aku merasa dibuai.
Semakin lama, semakin dalam. Deru napas, pun lenguhan lolos dari kerongkongan kami. Ini seperti kebutuhan yang telah lama tak ku rengkuh.
Lalu, ciuman kami sudahi. Rasanya tak terima, tapi ini pun telah salah. Dahi kami menempel, mencoba mengambil udara sebanyak mungkin. Menyadari kontak fisik yang sangat intim, aku memutuskan menarik diri.
Kondisi pun mendadak kikuk. Aku tak merasa pernah mengalungkan lengan di lehernya, tapi itu terjadi. Tangan Dave pun ternyata memeluk tubuhku dengan begitu eratnya.
Aku menarik tanganku kembali, mundur satu langkah, lalu berdeham untuk menormalkan kondisiku sendiri. Dia pun melakukan hal yang sama. Jujur, jantungku berdegup tak biasa.
Entah kenapa aku merasa ciuman ini bukanlah karena terpaksa, berbeda seperti saat pernikahan kami. Ini terasa benar, atau karena aku tak pernah merasakan ciuman seperti ini dengan Joe.
"Sorry ...." Dave bersuara.
Aku hanya mengangguk gugup, suaraku seperti menguap tak mampu menjawab. Aku semakin memundurkan langkah. Malu, tentu saja. Tanpa berkata apapun, aku langsung berbalik dan lari sekencang mungkin menjauh.
Kamar adalah tempat terbaik untukku bersembunyi untuk saat ini. Sungguh, aku merasa aneh.
~ o0o ~
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top