Chapter 18

Aku baru saja menjemput Keyra di butik milik sahabatnya, Jenny. Saat ini kami tengah dalam perjalanan menuju hotel milik kakaknya, di mana orang tuanya menginap.

Keyra tak banyak bicara, pun tak memberitahuku di mana hotel kakaknya. Tapi tak sulit, karena sebenarnya Ken bukan orang asing bagiku. Kami  sempat bertemu dalam beberapa kesempatan bisnis sebelumnya. Aku tak menyangka jika Keyra ternyata adalah adiknya.

Akhirnya kami tiba di hotel. Aku dan Keyra langsung menuju ruang VIP yang telah disiapkan untuk makan malam kami. Ken menyambut kami saat hendak masuk ke dalam lift. Dia mengatakan jika kedua orang tuanya sudah menunggu.

Sekarang di sinilah kami. Duduk berlima memutari meja bundar yang telah tersaji hidangan lezat khas hotel berbintang. Basa-basi di antara kami terjalin, kadang tawa menyeruak saat ayah mertuaku mencoba melucu.

"Rara, kamu kenapa diam saja? Kamu sakit?" Sontak kepalaku menoleh sesaat ibu mertuaku bertanya pada Keyra.

Aku tidak tahu kenapa Keyra mendadak menjadi pendiam, padahal pagi tadi dia begitu vokal berdebat denganku. Ada apa dengannya?

"Rara sehat, Mom." Suara Keyra terdengar lesu.

"Sayang, kamu kenapa?" tanyaku seraya menggenggam tangannya.

Keyra hanya menggeleng, lalu tersenyum seakan mengisyaratkan jika dia dalam keadaan baik. Semua mata memandangnya, pun kepadaku. Apa keluarganya berpikir aku penyebab putrinya murung?

Jujur saja, aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Walaupun aku penasaran, tapi bukan ranahku bertanya padanya. Terakhir kami bertemu pagi tadi, seingatku dia masih sangat cerewet.

"Apa liburan kalian kurang?" Ayah mertuaku bertanya, namun Keyra menggeleng.

"Rara nggak apa-apa, Dad. Cuma capek saja rasanya."

Aku pikir Keyra tidak memiliki rasa lelah, buktinya dia tak pernah menyerah berdebat dan berperang denganku. Kali ini dia sungguh terlihat aneh.

"Dad, Mom, besok berangkat jam berapa?" Aku bertanya pada kedua mertuaku.

Setidaknya aku bisa mengalihkan pembicaraan. Sepertinya Keyra tak ingin diinterogasi untuk saat ini. Kasihan juga dia jika dicecar.

"Siang. Sebenarnya Mom masih ingin di sini, tapi perusahaan Dad nggak bisa ditinggal lama."

Tampak jelas pada ekspresi ibu mertuaku jika masih belum rela berpisah jauh dengan putrinya. Berbeda dengan ayah mertuaku, ekspresinya begitu tenang.

"Besok kami yang akan antar kalian ke bandara. Key juga kayaknya masih kangen sama kalian." Mungkin kemurungan Keyra karena orang tuanya akan pergi besok.

"Nggak usah. Mom ngerti kalian capek. Tuh lihat, wajah Rara pucat. Ngidam, ya?"

Keyra langsung melotot ke arah ibunya. Aku sendiri tersedak oleh salivaku sendiri hingga terbatuk-batuk mendengar pertanyaan ibu mertuaku. Bahaya ini.

"Mom, jangan goda mereka. Mana mungkin Rara hamil secepat itu, baru juga seminggu, kan?" Ken menjadi pembela kami di sini.

"Keyra cuma kelelahan, Mom, sering bergadang. Iya kan, Key?" Keyra mengangguk membenarkan ucapanku.

"Jangan sering-sering bikin adik gue bergadang, Dave, kasihan." Ken terkekeh setelah berhasil membuatku mati kutu.

Dia tak tahu saja bagaimana kegiatan bergadang kami. Bukan berupa aktivitas erotis seperti yang mereka bayangkan, tetapi adegan brutal yang berujung pada kerusakan, dan akhirnya tumbang tanpa pemenang.

Perbincangan pun berlanjut. Aku langsung mengalihkan topik dan bertanya mengenai bisnis kepada ayah mertuaku. Itu lebih mengesankan menurutku daripada membahas kondisi rumah tangga.

Aku terlalu bersemangat membicarakan bisnis dengan ayah mertua dan juga Ken, hingga ibu mertuaku kembali berseru dan memastikan putrinya dalam kondisi baik.

"Key?" Aku kembali menyentuh tangannya. "Kenapa?" tanyaku pelan.

"Aku nggak apa-apa." Keyra tersenyum, tapi aku tahu dia memaksakan senyumnya.

"Rara?" Giliran ayah mertuaku memanggilnya.

"Ya, Dad?"

"Kamu bahagia, Sayang?"

Mendengar pertanyaan ayah mertuaku, kami sontak saling memandang. Aku tahu Keyra tidak bahagia dengan pernikahan ini, tapi aku merasa pertanyaan itu sangat menjebak.

Jika aku berada di posisi Keyra, jelas mulutku tidak akan melontarkan jawaban apapun. Aku menggenggam tangan Keyra, bukan karena kasihan, tapi aku juga gelisah menerima tatapan datar nan tegas dari ayahnya.

"Ya, Dad. Rara bahagia."

Aku langsung memandang Keyra yang tersenyum lebar seakan mencerminkan jawabannya. Bahagia. Aku tidak tahu kenapa Keyra mengatakan jika dirinya bahagia. Mungkin saja supaya orang tuanya tenang, dan bisa segera mendapatkan kebebasannya.

Mungkin saja.

"Dave, Dad minta kamu jaga baik-baik putri kami. Dad percaya kamu bisa lebih membahagiakan Keyra daripada kami. Hanya Keyra satu-satunya putri kami saat ini. Jika terjadi sesuatu dengannya, Dad nggak sanggup kehilangan lagi."

Permintaan seorang ayah yang pastinya cukup berat untuk aku lakukan, mengingat hubunganku dengan Keyra jauh dari kata akur. Bagaimana aku bisa membahagiakannya?

"Bisa kan, Dave?" tuntut ayah mertuaku

"Iya, Dad. Dave akan jaga Keyra dan janji membuatnya bahagia."

Aku merutuki mulutku yang asal berjanji. Kepada Bianca saja aku tak pernah melontarkan janji apapun. Sekarang akulah yang terjebak oleh kata-kataku sendiri.

Entah bagaimana caraku untuk membahagiakan Keyra, nanti saja aku pikirkan. Setidaknya untuk sementara, baik aku ataupun Keyra memiliki kesempatan untuk menjalani urusan masing-masing tanpa ikut campur keluarga.

"Dad pegang kata-katamu. Mulai sekarang, tanggung jawab terhadap Keyra semua Dad serahkan padamu, Dave."

Aku hanya mampu mengangguk menerima titah ayah mertua. Aku melirik Keyra yang ternyata tengah menatapku dengan dahi mengerut. Dia pasti bingung, akupun sama. Aku bingung dengan diriku yang mudah menyanggupi permintaan ayahnya.

Aku sadar, jika kesepakatan kami tak sesuai dengan janjiku pada ayahnya. Aku tak berniat mengingkari janji, tapi nyatanya aku telah berjanji.

Makan malam telah usai. Aku dan Keyra berpamitan kepada keluarganya. Ibu mertuaku memeluk Keyra, dan berbisik menyatakan harapannya ingin segera memiliki cucu. Aku mendengarnya dengan jelas.

Kami hanya menanggapinya dengan senyum. Setelahnya, kami langsung pulang. Seperti saat kami berangkat, dalam perjalanan pulang ini pun Keyra tetap bungkam.

"Lo kenapa, Key?" tanyaku.

"Nggak apa-apa!" ketusnya.

"Gue antar lo pulang, setelah itu gue ada urusan keluar. Nggak apa kan, lo di rumah sendirian?"

"Sejak kapan lo peduli sama gue? Pergi, ya pergi aja. Terserah lo!"

Bicaranya ketus sekali. Memang aku sudah berbuat salah apa padanya? Apa karena janjiku pada ayahnya?

"Lo kenapa, sih? Aneh banget."

"Bukan urusan lo!" Dia malah bersungut dengan garangnya.

Menghadapinya butuh tenaga ekstra. Saat ini aku tak ingin membalas emosinya. Entah apa yang tengah terjadi padanya, aku tak ingin terlalu ikut campur.

Tak lama kemudian kami tiba di rumah. Keyra langsung keluar mobil tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Setelah memastikan dia masuk ke dalam rumah, akupun kembali melajukan mobil.

Aku butuh semangat dan pelampiasan. Aku melajukan mobil menuju apartemen, tentu saja Bianca sudah menunggu di sana. Saat di lift hotel, aku sempat mengirim pesan padanya.

Katakanlah aku brengsek, gila, egois, tapi aku juga pria dewasa normal yang memiliki kebutuhan biologis. Aku tak bisa melakukannya dengan Keyra, walaupun dia adalah istri sahku.

Hanya Bianca yang bisa membantuku mencapai kepuasan. Aku tahu permainannya, dan aku tak pernah kecewa. Aku memang pria bejat, tapi aku sangat memilih dalam mencari pelampiasan.

"Kenapa lama?" Bianca berdiri saat aku masuk ke dalam apartemen.

"Kenapa? Rindu?" Dia tertawa.

Bianca langsung merentangkan tangannya, bersiap menyambut rengkuhanku. Kucium dia dengan gairah memuncak. Segala penat belakangan ini membuatku gila.

"Bi, aku butuh kamu." Bianca mengangguk, dan aku tak membuang waktu lagi.

Aku mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Secepat kilat, aku menelanjanginya, pun diriku sendiri. Kini, tak ada sehelai benangpun menghalangi. Gairahku siap untuk dilepaskan.

Hubungan yang gila dan rumit. Tapi siapa yang peduli? Aku butuh kenikmatan, pelampiasan, dan kepuasan. Hanya itu.

Hingga akhirnya aku tumbang setelah berkali-kali melepas dengan lega. Pun Bianca yang sudah tak bergerak di bawah tindihanku. Lelah gairah yang aku suka, bukan lelah berdebat dengan Keyra.

Aku membaringkan tubuhku di samping Bianca dan menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku tak sanggup untuk membuka mata lagi. Malam ini aku akan tidur di sini.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top