Chapter 17

[ David ]

•••

Pernikahanku dengan Keyra bukanlah hal yang aku harapkan, tapi keadaan telah berkata lain. Janji pernikahan telah diikrarkan, dan kesepakatan telah digaungkan.

Sebenarnya aku cukup stres dengan sikap Bianca. Aku tak tahu kali ini apa yang menjadi alasannya untuk kabur dariku. Aku percaya, kepergiannya bukan karena dia tidak mencintaiku.

Beruntung, Ken memberikan hadiah pernikahan untukku dan Keyra. Daripada aku di Jakarta dengan keluarga masih di sana, lebih baik aku membawa Keyra ke Maldive. Walaupun aku di belahan bumi lain, tapi aku terus mencari dan memantau keberadaan Bianca.

Hans, orang kepercayaanku terus memberikan informasi, apapun itu. Hingga posisi Bianca ditemukan, terpaksa aku membawa Keyra kembali lebih awal dari rencana bulan madu kamuflase kami.

Berhadapan dengan Keyra tidak mudah. Dia sangat keras kepala dan tidak mau mengalah. Tapi, kami memiliki tujuan yang sama, menghindari tekanan keluarga.

Setelah kami kembali, dan mendapat sambutan yang diluar dugaan, aku pun membawa Keyra menuju rumah yang telah aku siapkan sejak setahun yang lalu. Sebenarnya, ini adalah rumah masa depan yang aku impikan bersama Bianca, namun kenyataanya kini aku harus hidup sebagai suami istri bersama Keyra di rumah ini.

Tak masalah. Aku masih ada apartemen, atau nanti membeli rumah lainnya untuk tempat tinggalku bersama Bianca. Untuk saat ini, aku perlu fokus mendapatkan alasan Bianca yang telah kabur dari pernikahan kami.

Semua keluarga sempat berkumpul di rumah baruku. Sebenarnya, aku tak ingin mereka menginap, tapi mengingat aku memiliki mama dan adik yang berkuasa, aku harus menunjukkan kesopananku dan meminta mereka menginap.

Keyra protes, tentu saja. Dia berpikir aku akan mengambil kesempatan untuk bisa sekamar, bahkan seranjang dengannya. Tentu saja tidak. Aku adalah seorang good planner. Tak ada rencana yang tak bisa aku kendalikan. Semua sudah diatur.

Meskipun rencana pernikahan waktu lalu melenceng dari harapan, tapi masih terkendali walau harus menjebak Keyra.

Hari ini, rencananya aku akan menemui Bianca. Hans sudah menginformasikan di mana Bianca bersembunyi. Tapi pagiku sempat dikacaukan oleh mama dan adikku.

Dalam keadaan panik, pun Keyra sangat sulit dibangunkan, terpaksa aku memindahkannya ke kamarku dengan cara dibopong. Ternyata dia cukup berat, padahal tubuhnya terlihat cukup kurus.

Akibat kejadian itu, lagi, Keyra menuduhku ingin memanfaatkan situasi. Setelah keluargaku dan keluarganya pulang, perdebatan di antara kami dimulai. Dia ngotot, aku juga semakin ngotot. Harusnya dia berpikir dan mengakui jika sebenarnya aku ini adalah pahlawannya.

Tanpa penjebakan ini, yang tentu saja tidak disengaja, dia tidak akan bisa lepas bebas dari ayahnya yang ingin menjodohkannya. Karena aku, dia akan tetap bisa bertemu dengan kekasihnya. Tapi Keyra terus saja menyalakan api peperangan padaku.

Lupakan saja wanita yang berstatus sebagai istriku itu. Aku harus segera bertemu dengan Bianca dan bicara padanya. Aku sangat frustrasi karenanya.

***

Aku menatap lekat wanita yang tengah menunduk di depannya. Di dalam rumah modern minimalis ini, kami hanya berdua. Bisa dikatakan, jika wanita itu hanya tinggal sendiri di sini.

Aku belum ingin bicara, hanya butuh waktu untuk memandangnya yang terduduk dengan kepala menunduk. Aku tahu dia takut, gugup, dan mungkin merasa bersalah. Karenanya, aku memilih diam sementara.

Aku berharap dia akan bicara lebih dulu. Namun, lama menunggu tak juga terdengar lontaran kata dari mulutnya. Hanya napas beratnya terdengar berbisik di telingaku.

"Bi, ngomong dong ...." Akhirnya aku bersuara.

Harusnya aku sadar, Bianca bukan wanita yang suka mengatakan apa yang dipikirkannya. Dia lebih banyak diam dan memendam. Jika tak ditanya, tak akan ada apapun yang disampaikannya.

"Maaf ...." lirih Bianca, nyaris tak terdengar.

Aku menghela napas. Aku butuh penjelasannya, bukan kata maaf semata. Aku tak boleh tersulut emosi. Menghadapi Bianca memang harus dengan cara halus.

"Bi, sini deh." Aku menepuk sofa di sebelahku, memintanya untuk duduk bersamaku.

Bianca mendongak ragu, wajahnya tampak sendu. Aku tahu dia takut, tapi aku terus memintanya untuk mendekat. Bianca berpindah dengan ragu, namun aku tak bisa menahan diri, aku langsung menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku merindukannya.

"Kenapa kamu mengecewakan aku lagi, Bi? Apa lagi masalahnya?"

Bukan jawaban yang aku dapatkan, tapi Bianca mulai terisak dalam pelukanku.

"Maafin aku, Dave ... maaf ...."

Aku semakin mengetatkan pelukanku padanya. Kuhirup aroma tubuhnya yang telah lama menjauh dariku. Perlahan aku melepas pelukan, kutangkup wajahnya, lalu kuseka linangan air matanya.

Bibirnya bergetar menahan tangis. Aku tak kuasa melihatnya, lalu kukecup lembut bibirnya yang selalu mampu membuatku bersemangat. Bibir yang selama ini selalu memanjakanku dengan cumbuannya.

"Kamu udah janji padaku bakal hadapin semuanya bersama, tapi kenapa di saat aku sudah siap, kamu malah pergi lagi?"

Bianca semakin terisak, dia tak mau menatap mataku. Aku tahu, dia menyesal, lebih menyesal daripada sebelumnya.

"Dave, aku nggak akan pernah siap berkomitmen. Menikah itu bukan melibatkan antara aku dan kamu aja, tapi juga keluargamu nggak akan bisa nerima aku lagi. Gimana nanti aku bisa hidup denganmu?"

Yang dikatakan Bianca benar. Keluargaku begitu keras menentang hubungan kami. Tapi begitu Keyra hadir, mereka melunak dan seakan melupakan segala kesalahanku.

"Lagipula ... kita berdua nggak bisa lepas dari kebiasaan buruk, Dave. Aku tahu kamu menikahiku karena ingin menyelamatkanku dari gosip itu, kan?"

Aku mengangguk membenarkan. Aku sayang padanya. Terlepas dari keburukan dan dosa-dosa kami, aku tak tega melihatnya tertekan oleh gosip yang beredar.

"Terus, mau kamu apa sekarang?"

Untuk mengembalikan kondisi seperti rencana, rasanya sudah tak mungkin.

"Dave, apa kamu marah sama aku?" Jelas aku mengangguk, tapi aku bisa meredamnya dan memberinya senyum.

"Aku marah, tapi aku nggak benci sama kamu. Kamu mau cerita?"

Aku tak bisa marah besar padanya. Aku tak berhak menghamikinya karena aku sendiri juga tak selalu benar. Bianca mengangguk lemah. Lalu dia memposisikan duduknya lebih nyaman, kemudian mulai bicara.

"Dave, maaf aku bohong satu hal sama kamu."

"Tentang apa?"

Seburuk-buruknya prilaku kami, aku merasa dia selalu jujur padaku. Tapi pernyataannya kini membuatku bingung.

"Aku nggak pernah punya kakak kandung."

"Apa?" Aku cukup terkejut. "Terus, pria yang kamu bilang kakak kamu itu siapa?"

"Dia ... dia ... dia pria yang aku cintai, Dave."

"Apa?!?"

Aku tak sadar jika suaraku meninggi. Dia mencintai pria lain? Aku pikir dia mencintaiku, seperti aku cinta kepadanya.

"Dulu, orang tuaku mengangkatnya sebagai anak saat usiaku masih lima tahun. Dia selalu jagain aku, tapi semakin kami tumbuh, aku justru memiliki perasaan padanya. Bukan perasaan seorang adik pada kakaknya, tapi perasaan wanita pada pria."

Untuk pertama kalinya, aku merasa emosi karena kejujurannya. Tapi aku akan menahannya hingga jawaban yang sebenarnya aku dapatkan.

"Ketika orang tuaku meninggal, dia pergi. Alasannya bukan karena kematian orang tuaku, tapi aku. Dengan bodohnya aku menyatakan perasaanku, tapi dia menolak karena telah berjanji pada orang tuaku bahwa dia akan menjagaku sebagai kakaknya. Aku marah, Dave. Lalu aku mengusirnya."

Tangisnya cukup memberiku penjelasan, betapa sakitnya dia kala itu. Tapi, apa harus dia mengecewakanku sebanyak 3 kali? Kenapa tidak dari dulu dia mengatakannya?

Jika saja dia mengatakannya sejak lama, mungkin aku tidak akan sebodoh ini menyiapkan pernikahan demi menyelamatkannya. Aku tak perlu menjebak Keyra dalam kekonyolan ini. Jadi, selama ini apa aku baginya?

"Di mana pria itu sekarang?"

Bianca menatapku takut. Aku tahu dia bisa melihat api amarahku, tapi aku masih waras untuk tidak melampiaskannya kepada wanita. Aku masih bisa menahannya.

"Dia ... dia ada di rumahnya, bersama keluarganya."

"Keluarga? Jadi ...."

"Ya, Dave. Dia adalah pria yang digosipkan denganku, dan yang melabrakku adalah istri sahnya."

Ini luar biasa.

"Kenapa kamu lakukan ini, Bi?"

"Dave, maafkan aku. Aku ... aku nggak pernah bisa melepas dia, Dave ...."

Segala spekulasi terjawab sudah. Aku merutuki diriku sendiri, kenapa bisa tak menyadari sikap dan alasan kaburnya selama ini? Mungkin karena aku terlalu percaya padanya.

"Bi, apa kamu pernah mencintaiku?" Aku ingin tahu.

"Aku menyayangimu, tapi bukan mencintaimu. Aku bertahan denganmu karena hanya kamu yang memperlakukan aku dengan layak, Dave, padahal aku sudah begitu kotor sebagai seorang wanita. Wajar, jika keluargamu nggak akan pernah bisa menerimaku."

Aku ingin mengabaikan persepsinya yang menjatuhkan harga dirinya. Aku bersamanya bukan karena tubuhnya semata, tapi dia selalu bisa membuatku menjadi diriku sendiri. Aku juga bukan manusia suci, terlepas bagaimana dirinya aku tak peduli.

"Dave, jika kamu ingin melepasku, lepaskan aja. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin mengejar dan mempertahankan dia, apapun resikonya, aku udah siap."

Aku tercengang mendengar ucapannya. Walaupun aku sudah kecewa padanya, tapi melepasnya bukan hal yang aku inginkan. Aku lalu menggeleng sebagai tanda bahwa aku tidak setuju dengan keputusannya.

"Bi, kamu tahu jika aku tak suka melepas yang telah aku genggam. Aku nggak peduli jika nantinya kamu akan berakhir dengan siapa, tapi aku masih membutuhkanmu."

"Dave ...."

"Bi, aku tahu ini sangat konyol, tapi aku ingin kamu tetap menjadi partnerku. Mau, kan?"

"Tapi kenapa?"

Aku menatapnya dalam. Aku sungguh belum siap untuk melepasnya. Aku lelaki normal, dan hanya dia yang bisa memuaskanku. Anggap saja aku pria brengsek, kenyataannya memang begitu.

"Kamu tahu, Bi? Kepergianmu pada hari pernikahan membuatku bertindak bodoh. Aku telah menjebak seseorang dan menikahinya."

Bianca sontak melotot, tangannya seketika terangkat lalu menutup mulutnya. Dia benar-benar terkejut. Aku tak bisa merahasiakan apa-apa darinya.

"Ah? Kamu nikah? Aku pikir pernikahan itu dibatalkan." Bianca tampak tak percaya.

"Nggak, Bi. Aku melihat seseorang dengan gaun pengantin, aku pikir itu kamu. Aku sudah terlalu bingung dan panik, tanpa melihat dan aku langsung menyeretnya."

"Gila! Terus?"

"Kamu tahu siapa wanita itu?" Dia menggeleng. "Dia adalah putri Om James, orang yang seharusnya jadi pendampingmu. Aku juga baru tahu saat itu, dan semua terjadi begitu aja."

Jangankan Bianca, aku sendiri masih belum percaya jika telah menikahi seorang wanita lain yang belum aku kenal dengan jelas. Aku menatap Bianca yang kini terlihat sudah tidak terkejut lagi.

"Kalau kamu udah nikah, kenapa minta aku jadi partner-mu lagi? Kamu punya istri, Dave."

"Aku nggak bisa, Bi. Kami punya kesepakatan, salah satunya nggak ada kontak fisik. Aku sudah menjebaknya dan membuatnya merasa bersalah pada pacarnya. Aku emang pria brengsek, tapi aku juga nggak mau jadi tambah brengsek dengan menidurinya. Lagian, aku cuma pengennya kamu."

"Tapi istrimu?"

"Dia nggak masalah. Kami emang terikat pernikahan, tapi urusan pribadi adalah urusan masing-masing. Lagian, kami juga nggak tinggal sekamar."

Aku yakin Bianca mengerti dengan kondisiku seperti biasanya. Dia masih bergeming, menatapku dengan pandangan datar, namun aku tahu, dia juga belum benar-benar bisa lepas dariku walaupun dia memintaku untuk melepasnya.

"Ok! Asal kamu juga nggak mencampuri urusanku dengan .... ya kamu taulah."

Aku terkekeh dan tak ragu mengangguk setuju dengannya. Tanpa malu, aku mencium bibirnya dengan rindu. Rasanya begitu lama dia telah pergi.

"Apartemenku kosong. Kapan pun aku butuh kamu, dan kamu butuh aku, datang saja ke sana. Oke?" Bianca mengangguk, lalu memelukku dengan erat.

Aku tak peduli dengan rumornya saat ini. Yang aku inginkan dan butuhkan hanyalah dia tidak kabur lagi. Dengan adanya Keyra, aku yakin keluargaku tidak lagi mengingat keberadaan Bianca.

Cukup aku saja yang tahu, mungkin Keyra juga sadar, tapi dia tak punya kapasitas untuk melarangku, karena aku juga begitu padanya. Entah hubungan seperti apa yang kini aku jalani bersama Bianca, yang jelas ini sangat penting bagi kebutuhanku.

Aku masih sedikit marah dan kecewa pada Bianca, tapi kejujuran kami berdua cukup untuk menutupi itu semua. Aku melepas pelukannya dan melirik jam di tanganku.

Hari sudah sore, aku harus menjemput Keyra karena sandiwara kami belum berakhir. Kami harus menghadiri makan malam bersama keluarganya. Sungguh, hari ini penuh kejutan dan menguras emosi.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top