Chapter 15

Rasanya menyenangkan bisa bertemu dan bercerita banyak dengan Kak Alex. Ini seperti mengulang masa kecilku sewaktu di LA, hanya saja tanpa Kak Ken dan Keyla.

Kami berdua menghabiskan malam di kamar Kak Alex dengan bermain ular tangga. Aku tak menyangka dia membawa permainan itu di dalam kopernya. Sungguh konyol.

Aku bersamanya sampai siang tadi, saat aku mengantarnya ke dermaga karena Kak Alex harus terbang ke Singapura terlebih dahulu sebelum kembali ke NYC.

Kak Alex berjanji akan sering menghubungiku, pun berjanji akan memperbaiki persahabatnnya dengan Kak Ken sesuai permintaanku. Sampai kapanpun aku akan selalu menganggapnya kakak.

Dengan perasaan yang tenang, akupun kembali ke kamar, tapi rasanya ada yang aneh. Perlahan aku membuka pintu dan masuk ke dalam kamar tidur.

Apa aku tidak salah lihat? Jam segini Dave ada di kamar? Biasanya juga kelayapan dan mungkin sedang bersama wanita lain di pulau ini.

Tapi ... tunggu!

Kenapa wajahnya terlihat panik? Dia sepertinya belum sadar jika aku sudah kembali karena dia duduk membelakangiku menghadap ke laut.

"Dave?" Seketika dia berbalik dan menatapku.

"Astaga!! Lo ke mana aja semalaman? Gila! Kalau kakak lo tahu, gue bisa dicincang!" semburnya dan berdiri dengan wajah garang di hadapanku.

"Masalah lo apa? Ngapain ngurusin gue? Inget po---"

"Iya, gue inget!" bentaknya. "Harusnya lo bisa ngasih tahu gue kalau mau pergi. Lo ke sini bareng gue." Matanya nyalang karena emosi.

"Gimana gue ngasih tahu lo? Nomor lo aja nggak punya. Lagian, bukannya lo sibuk sama ce---" Aku langsung menutup mulutku yang hampir keceplosan.

"Ce apa? Cebong?" Aku mengangguk asal.

Ya bagiku dia sedang sibuk dengan kecebong, karena saat aku melihat wanita itu duduk bak kecebong di atas perutnya.

"Lo pikir gue katak?!?" sungutnya tak terima.

"Iya!"

Aku melengos pergi mengabaikannya dan memilih merebahkan diri dengan santai di atas ranjang. Dia masih tak bergerak dari posisinya dan hanya menatapku dengan mata elangnya.

***

Usai makan malam, aku bersantai di beranda luar dan bermain air di kolam renang. Sambil mendengarkan musik dari ipod, rasanya begitu tenang memandangi langit yang begitu cerah malam ini.

"Key?" panggil Dave yang tiba-tiba muncul, lalu duduk di sampingku.

"Ada apa?"

"Kita balik besok, ya?" Aku menatapnya keheranan. "Hans menemukan Bianca, dan gue harus segera ketemu dia."

"Lo balik aja duluan. Gue masih pengen di sini."

Masa liburanku belum memuaskan. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktu bebas tanpa Dave di sini. Pasti akan menyenangkan.

"Nggak bisa gitu, Key. Apa kata keluarga nanti kalau kita pulangnya misah? Ingat, orang tua lo masih di Jakarta, bisa-bisa mereka nyusul lo ke sini, terus nyeret lo balik ke LA."

Aku bergidik ngeri mendengar ucapannya. Diseret kembali ke LA adalah hal yang paling aku hindari. Terpaksa, aku mengalah lagi untuk kali ini.

"Oke! Jam berapa?"

"Usai makan siang kita balik." Aku hanya mengangguk. "Key?" panggilnya.

"Apa?"

"Balik dari sini lo bakal tinggal sama gue."

Astaga! Aku lupa dengan hal yang satu ini.

"Nggak mau! Apartemen lo tempat maksiat. Gue nggak mau tinggal di sana. Lo aja yang pindah ke apartmen gue."

Sebagai wanita terhormat, aku menolak dengan tegas. Membayangkannya saja aku merasa mual. Terlebih, Bianca sudah ditemukan, apa mereka tidak akan berbuat mesum di saat aku berada di sana? Big no!

"Siapa yang ngajak lo tinggal di apartemen? Gue udah nyiapin rumah." Omongannya terdengar angkuh.

"Songong! Tapi lo harus inget kesepakatan kita." Dia mengangguk.

"Lo tenang aja. Semua udah gue atur."

"Oke!"

"Key?"

"Apa lagi?"

"Malam ini nggak usah perang bantal, ya?"

"Eh?"

Sepertinya dia salah makan.

"Semalam gue nggak tidur. Jadi, gue minta sama lo, malam ini kita berbagi ranjang dengan baik-baik." Wajahnya memang terlihat kelelahan.

"Ngapain lo nggak tidur? Lo nggak ONS sama cewek lain di kamar ini, kan?" Mataku menyipit menatap wajahnya yang bengong mendengar tuduhanku.

"Ngaco lo! Kalau gue pengen juga nggak di kamar ini." Aku mencebik sinis. "Jadi, mau ya sharing ranjang? Ini malam terakhir kita di sini."

Aku diam, berpikir. Bagaimana kalau dia berniat kurang ajar? Walaupun dia mengatakan tidak selera dengan bodyku ini, tapi Dave itu pria mesum. Jadi aku harus waspada padanya.

"Dibatasin bantal, deh. Lo mau batasnya sampai berapa tumpuk? Nggak masalah. Lagian tuh ranjang lebar, kan?"

Aku menimbang-nimbang. Mungkin lebih baik begitu. Aku juga lelah perang bantal terus dengannya. Aku juga tidak mau tidur di sofa, paling tidak aku bisa tidur tenang di malam terakhir di sini. Lagipula, semalaman bergadang dengan Kak Alex membuatku tak ada tenaga untuk perang bantal.

"Oke!" jawabku singkat.

Angin laut mulai menusuk ke dalam kulit. Aku dan Dave kembali masuk ke dalam kamar dan menata bantal di tengah-tengah ranjang sebagai pembatas tidur kami. Ternyata, Dave juga bisa kalem.

***

Akhirnya, pesawat jet milik Dave mendarat di bandara Halim. Aku sempat tidak percaya jika Dave punya pesawat jet pribadi, tapi nyatanya kami sudah mendarat mulus kembali di Jakarta.


Keluargaku dan keluarganya dengan beberapa orang yang entah mereka siapa, menyambut kami dengan menggelar karpet merah dari pintu keluar jalur khusus hingga ke tempat di mana keluarga kami menunggu.

Tarian jaipong mengiringi langkah kami, dua orang wanita tersenyum saat mengalungkan bunga, pun ada yang menaburi bunga sepanjang karpet terbentang.

Berasa kuburan baru pakai ditabur-taburin segala.

"Oh, Rara Sayang ... Selamat datang kembali," sambut Mom girang dan langsung memelukku. "Mantu Mom yang paling ganteng ...." Seketika Mom melepasku dan beralih pada Dave.

Kepalaku mendadak pening melihat kelakuan Mom. Tapi belum selesai keluhan dalam batin, selanjutnya mama mertuaku tak mau kalah dari Mom.

"Mantu Mama yang paling cantik!! Sini peluk Mama, Sayang ..." pekiknya dan langsung menarikku ke dalam pelukannya.

Astaga!!

Ada apa dengan mereka? Semua heboh memberi pelukan selamat datang kepada kami. Aku merasa seperti anak hilang yang baru saja ditemukan kembali setelah 20 tahun.

Hello ... Aku cuma pergi kurang dari 6 hari, loh!

Setelah ritual tali kasih dari seluruh keluarga, akhirnya kami semua beranjak meninggalkan bandara dan menuju rumah. Aku masih belum tahu akan pulang ke rumah siapa, rumah orang tua Dave atau rumah yang dimaksud olehnya .

Kejutan ternyata belum habis. Mulutku kembali menganga saat melihat deretan mobil yang telah menunggu kami. Bukan karena mobilnya, tapi rombongan mobil-mobil itu sudah standby diapit oleh mobil polisi pengawal. Ini sungguh berlebihan.

Aku berada satu mobil dengan Dave, dan Hans sebagai sopirnya. Dave sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku hanya bengong. Ponselku mati, jadi tidak ada yang aku mainkan.

"Dave, kita pulang ke rumah siapa?"

"Rumah kita," jawabnya singkat tanpa mengalihkan mata dari ponselnya.

Aku kembali diam dan memilih menatap keluar jendela mobil. Jalanan Jakarta memang paling top macetnya. Setelah satu jam lebih menempuh perjalanan dari bandara, akhirnya kami tiba disebuah rumah besar yang lebih tepat disebut mansion.

"Key?" panggil Dave saat aku hendak turun dari mobil.

"Apa?"

"Lo inget kesepakatan poin keempat?" Aku mengangguk. "Lo harus ikut semua apa kata gue, jangan ngebantah."

"Oke!" Aku malas berdebat.

Hans membantuku membuka pintu dan keluar dari mobil. Dave segera menggenggam tanganku sebelum kami masuk ke dalam rumah. Agak risih, tapi ini bagian dari kesepakatan, mau tak mau harus tetap bersandiwara.

Kami semua berkumpul di ruang tengah yang ternyata cukup luas. Aku tidak yakin akan tinggal di rumah sebesar ini hanya berdua dengan Dave. Memang, di rumah ini ada asisten rumah tangga, tapi tetap saja bakal terasa hampa.

"Abang, enak nggak bulan madunya?" Neta mulai mengulik.

"Mau coba?" Neta langsung melotot. "Tuh, terima dulu si Nico, kasihan nungguin lo sampai bulukan." Dave menyindir sahabatnya, Nico.

"Sekate-kate lo bilang gue bulukan!" protes Nico tak terima.

Kami tertawa mendengar perdebatan tidak penting mereka. Aku terlalu jengah berada di sekitar mereka, karena saat ini aku merindukan Joe dan juga para sahabatku.

Mereka belum tahu aku kembali lebih awal. Kak Ken juga tidak ada karena sedang pergi ke Bandung. Dia sempat mengirim pesan padaku.

"Sayang, kamu capek?" Dave merangkulku yang sontak membuatku sedikit tegang.

"Hhmm, lumayan." Rasanya canggung dan gugup.

"Ciiee ... ciiee ... pengantin baru pengennya langsung ngedekem di kamar aja, nih!"

Sungguh, aku ingin memarut wajah jahil Neta. Dia ternyata lebih menyebalkan dari Dave.

"Biar saja, biar Mama cepet dapat cucu."

Sedih rasanya mendengar harapan para orang tua, karena kami tidak bisa memberi apa yang mereka nantikan.

"Dave, ajak istri kamu ke kamar. Kasihan dia kecape'an." Mom mengerling genit.

"Nanti aja deh, Mom ...." tolakku halus.

Bukan karena apa, tapi karena aku tidak tahu kamarku dan pastinya mereka mengira kami akan sekamar. Dalam kesepakatan kami tidak akan ada yang namanya sekamar.

"Mom benar, Sayang. Ayo, aku anter ke kamar."

Aku menatapnya bingung, namun dia melotot seakan mengatakan, "ikut gue sekarang!" Lalu dengan polosnya akupun mengangguk.

"Maaf ya semuanya, Dave antar Key dulu. Kamar kalian juga udah disiapkan sama Dedeh."

Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Berarti semua keluarga akan menginap, dan aku akan terjebak dalam satu kamar dengan Dave.

Tidak!!!!

Dave langsung menarikku menaiki tangga melingkar. Aku menepis tangannya dengan paksa supaya terlepas dari genggaman Dave.

"Dave!! Lo apa-apaan, sih? Kenapa mereka menginap? Gue nggak mau sekamar sama lo!"

Aku yakin posisi kami jauh dari jangkauan pendengaran dan penglihatan keluarga. Aku tak bisa menahan emosiku lagi.

"Ngomongnya pelan, lo mau mereka dengar? Nanti di kamar gue jelasin."

"Tapi gue nggak mau sekamar sama lo!"

Dave hanya diam dengan rahang mengatup. Apa dia marah? Apa peduliku? Pokoknya aku harus berjuang supaya tidak terjebak lagi.

"Masuk!" perintah Dave yang sudah membuka pintu sebuah kamar.

"Nggak mau!"

Aku berdiri dengan melipat tangan tanda protes. Tiba-tiba tubuhku tertarik masuk ke dalam kamar, lalu pintu dibanting cukup keras. Sekilas aku melihat Dave dengan wajah memerah dan napas terengah-engah.

"Key! Gue tadi kan udah bilang, ikutin apa kata gue! Lo takut gue jebak lagi?" Aku mengangguk. "Nggak akan! Gue udah nyiapin semuanya, gue udah bilang, kan?" Aku mengangguk lagi. "Oke! Gue capek debat sama lo. Ternyata lo cewek keras kepala."

Kenapa dia menyalahkanku?

"Terus ini kamar gue?" Mataku memindai keliling kamar.

"Ini kamar gue. Kamar lo di sebelah. Tuh!" Dia menunjuk sebuah pintu.

"Eh?" Aku tidak paham.

"Gini ... kamar kita terhubung. Masing-masing kamar punya pintu keluar sendiri, tapi tujuan gue buat kamar terhubung ini adalah mengantisipasi serangan dari keluarga kita."

"Emang kenapa keluarga kita mau nyerang?"

Karena bentakannnya, otakku tiba-tiba bunti dan belum menerima alasan yang logik.

Pletak!

"Aww!!"

Aku meringis karena seenaknya saja dia menjitak kepalaku. Dasar suami durhaka!

"Lo kan tahu, Mama dan Neta itu usil dan rese, apalagi Mom masih di sini. Mereka bisa berbuat apapun, kalau mereka tahu kita berbeda kamar, pasti heboh."

Itu pasti akan terjadi, tapi aku harap tidak.

"Gue tahu, tapi ... apa hubungannya dengan pintu penghubung?" Dave menepuk dahinya sendiri.

"Gue kira lo paham," aku cuma bisa nyengir. "Begini. Seandainya ada yang datang, setidaknya mereka mengira kita satu kamar. Pintu kamar lo gue kunci, jadi lo keluar masuk lewat kamar gue. Mama dan Neta bisa aja mendadak ke sini dan melihat kita keluar dari pintu kamar yang sama. Sekarang paham?" Aku manggut-manggut paham.

"Otak lo encer juga, yah?" Dia tersenyum dengan bangganya.

"Udah, lo istirahat saja. Barang-barang lo juga udah siap di sana."

"Ok! Thanks, ya?" Dave mengangguk, sementara aku langsung beranjak masuk ke kamarku.

Cukup luas, tapi tidak seluas kamar Dave. Tapi tak apa, yang penting aku tidak sekamar dan tidak seranjang dengannya. Setelah membersihkan diri dengan air hangat, rasanya badanku cukup rileks dan mata mulai mengantuk.

Hah!!

Malam ini akan menjadi malam yang tenang, dan sekali lagi tidak akan ada perang bantal.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top