Chapter 10

Kami memulai sesi curahan masalah, atau mungkin lebih tepat disebut sesi pengenalan. Aku memilih kembali duduk bersila, pun dengan Dave yang bangkit dari rebahannya. Kami duduk saling berhadapan seperti sebelumnya. Dave mengambil napas dan mulai menceritakan tentang dirinya.

"Nama gue---"

"Gue udah tahu!" potongku cepat. "Langsung ke intinya."

"Oke! Sebenarnya gue punya pacar. Dan ... seharusnya hari ini dialah yang jadi istri gue."

Ya aku tahu itu. Karena raibnya wanita itu, maka akulah yang sekarang berada di sini.

"Namanya Bianca. Dia pacar pertama dan satu-satunya yang gue cinta. Kami pacaran udah cukup lama, pastinya ... gue lupa."

Mungkin Dave saking cinta sama pacarnya sampai lupa segalanya. Benar-benar ajaib.

"Setahun lalu gue ngelamar dia di depan keluarga, dan lo tahu? Dia nolak gue mentah-mentah. Sakit hati? Tentu. Tapi gue nggak terlalu ambil pusing, karena gue yakin ada alasan di balik penolakannya. Tapi ... ternyata keluarga gue udah nge-blacklist dia jadi pasangan gue " Aku hanya manggut-manggut mendengarnya.

"Tapi dia cinta kan sama lo?" tanyaku penasaran.

"Gue yakin dia cinta sama gue."

Percaya diri sekali pria ini. Kalau dia tidak sepercaya diri begitu, aku yakin dia tidak bakal membuat rencana pernikahan seperti ini.

"Setelah penolakan itu gue nggak nyerah. Kami bertemu dan dia menjelaskan kenapa dia nolak gue."

"Kenapa?"

"Karena dia ingin fokus menyelesaikan kuliahnya."

Oh ... begitu ternyata. Alasan klasik menurutku. Tapi itu urusannya.

"Ya udah ... kami balikan lagi, tapi orang tua gue sedikit nggak setuju. Gue cuek aja, toh ... yang ngejalanin gue."

"Terus?"

"Terus ... setelah dia lulus enam bulan lalu, gue kembali ngelamar dia. Awalnya dia bilang mau dan keluarga gue mencoba menerima walau dengan berat hati. Tapi saat acara pertunangan, dia pergi tanpa alasan. Waktu itu gue malu banget sama keluarga, apalagi adik gue. Dia udah menyatakan bendera perang pada Bianca."

"Oh! Lo punya adik?" Aku tak menyangka.

"Iya, namanya Arneta. Sebelumnya Neta dan Bianca sahabatan, tapi karena kejadian itu, Neta marah dan memutuskan pergi ke Australia."

"Kok tadi adik lo nggak ada?"

"Dia nggak mau datang."

"Kenapa?"

"Neta pasti tahu kalau gue bakal nikahin bianca. Salah gue sih, bilang nyerah tapi nyatanya gue balikan lagi sama Bianca. Neta nggak percaya lagi sama gue."

"Kenapa kalian balikan kalau dia terus nolak?"

"Bianca berlasan pergi saat acara pertunangan karena dia ketemu lagi dengan kakaknya setelah berpisah lama. Dia ingin fokus dengan kakaknya."

"Lo percaya dengan alasannya?"

"Percaya dong!" Dave berseru keras. "Bianca itu yatim piatu, Key. Dulu dia pernah cerita kalau punya kakak laki-laki, tapi pisah saat mereka masih SMA karena kakaknya nggak kuat nerima kepergian orang tua mereka."

"Oh ... terus? Selanjutnya gimana?"

"Keluarga gue semakin berang saat tahu Bianca bersama gue lagi. Gue cinta tulus sama dia," aku menepuk bahunya karena dia terlihat frustasi.

Aku pikir dia lelaki buaya karena kegenitan dan kepedeannya tadi. Tapi ternyata punya kesetiaan juga.

"Sampai akhirnya, tiga bulan terakhir ini gue ngajak dia tinggal bareng di apartemen gue. Keluarga gue nggak ada yang tahu, cuma Hans dan Nico doang yang tahu."

"Wew!!" cibirku.

Jadi mereka kumpul sapi? Eh kumpul kebo maksudku. Cinta itu memang butuh kenekatan yang hakiki.

"Lo jangan pernah berpikir gue cowok baik-baik." Alisku naik sebelah, lalu menatapnya dengan sinis "Emang sih gue cuma pacaran sama Bianca, tapi gue mau jujur sama lo. Gue rada suka main perempuan. Ya ... biar lo nggak kaget aja nanti kalau misal lo lihat ada cewek di kamar gue."

"Ish!! Najis lo!" Aku memukul lengannya. "Berarti lo selingkuh di belakang Bianca dong?" semburku.

Baru juga tadi aku memujinya, berpikir dia adalah lelaki setia pada pasangan. Ternyata dugaan awalku jika dia mata keranjang adalah sebuah kebenaran yang tak terbantah.

"Nggak juga. Walaupun kami tinggal bareng, kami berdua terbuka dengan apa yang dilakuin. Gue ngomong kalau bakal bawa cewek pulang, dan dia juga gitu."

"What!!! Lo berdua gila, ya?"

Sumpah!

Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran gila mereka. Sebebas-bebasnya hidupku di luar negeri, tak pernah sekalipun berpikir untuk melakukan hal nista seperti mereka. Bisa-bisa aku direbus hidup-hidup oleh Mom dan Dad. Budaya ketimuran Mom selalu diterapkan di keluargaku.

"Kan gue bilang ... gue cinta Bianca tulus tanpa mandang dia siapa dan bagaimana. Yang penting kita berdua bisa saling memuaskan."

Mual rasanya aku mendengar jawaban menjijikan dari Dave.

"Dasar mesum!!"

Bantal pun kulayangkan padanya. Kalau ada bata,mungkin lebih mantap supaya otaknya tidak berpasir alias ngeres.

"Terus, kenapa akhirnya pernikahan kalian jadi penjebakan buat gue?"

Ini adalah pertanyaan yang sangat penting karena dengan kurang ajarnya dia telah mengubah seluruh jalan hidupku.

"Jadi ceritanya tuh ... sebulan lalu Bianca dilabrak orang, dikatain ngerebut suaminya. Gue sebagai pacarnya nggak terima, dong! Gue tahu dia salah, tapi gue tetap harus ngelindungin dia."

Lelaki macam apa dia ini? Pacarnya selingkuh dia masih bela. Tapi dia juga sama saja. Pusing, ah!

"Akhirnya ... gue ngerencanain pernikahan ini dan nggak umumin siapa mempelai wanitanya. Alasannya, ya supaya keluarga gue nggak mengacaukan dan Bianca nggak kabur lagi. Gue harus ikat dia dalam pernikahan. Gue cuma bilang sama keluarga kalau mau nikah, tapi bukan sama Bianca, biar mereka mau datang. Masalah ngerestuin atau nggak, itu urusan belakangan, yang penting gue nikahin dia. Untung ada bokap lo yang netral dan mau bantui gue buat jadi pendamping Bianca. Tapi keadaannya nggak sesuai rencana gue. Ya lo tahu apa yang terjadi setelahnya."

"Ya gue tahu," lemas juga dengar alasannya. "Tapi ... apa alasan lo ngomong ke bokap kalau gue itu calon istri lo?"

"Gue panik, Key."

Alasan macam apa itu?

"Lihat bokap lo yang kaget gitu, jadi serem."

Dalam situasi apapun Dad memang tampak menyeramkan, tapi kadang menghangatkan bagi gue.

"Karena sadar kalau Bianca pergi lagi dan kali ini gue nggak tahu alasannya, so ... gue bingung. Gue udah dua kali kecewain keluarga, dan kalau sekarang gue batalin lagi, pasti mereka tahu siapa wanitanya. Dipastikan gue dicoret dari kartu keluarga, gue nggak maulah. Ya udah, otak gue langsung nyamber bilang kalau lo calon istri gue. Lagian nggak ada salahnya kan bokap lo beneran jadi pendamping putrinya."

"Picik lo!"

Kalau sudah begini, aku harus apa? Dave malah tertawa ngakak melihatku menderita karena penjebakannya. Pokoknya aku sangat kesal dan aku benci Dave.

Titik.

"Gue udah cerita. Sekarang giliran lo."  Tuntut Dave yang sudah tak tertawa lagi.

Aku harus cerita dari mana? Kutarik bantal, lalu kupangku dengan gelisah. Tarik napas, kemudian embuskan. Baiklah, waktunya bercerita.

"Hhmm ... Lo tahu kan gue anak bungsu?" Dave mengangguk. "Gue punya kakak yang udah lo temuin tadi," Dave mengangguk lagi. "Tapi gue bukan anak kedua, melainkan anak ketiga," alis Dave mengernyit bingung. "Gue lahir kembar, tapi kakak kembar gue udah meninggal waktu umur kami 18 tahun."

Aku menunduk, aku merindukan Keyla.

"Sorry."

"It's oke! Gue percaya Keyla udah bahagia di sana. Bersama dengan orang yang dipilihnya, bersama dengan cinta sejatinya."

Tidak sepertiku yang berakhir dengan pria asing seperti Dave. Aku sedikit iri pada Keyla.

"Maksudnya?" Dave penasaran.

"Keyla mengalami kecelakaan bersama kekasihnya saat kejar-kejaran dengan orang suruhan bokap. Mobil mereka terjun ke jurang."

"Kenapa gitu?"

"Bokap gue nentang hubungan mereka dan memintanya putus, tapi Keyla milih kabur dan pergi bersama Ramond, lalu musibah itu terjadi. Makanya Dad jadi lebih protektif sama gue."

"Sampai segitunya?" Aku mengangguk.

"Gue sih orangnya cuek, tapi Dad berpikir sifat gue sama dengan Keyla. Dad salah besar. Gue nggak akan main perasaan seperti Keyla sampai lost control dan mengabaikan logika."

Aku berhenti sejenak untuk bernapas. Dave masih lekat menatapku.

"Setelah gue lulus kuliah dua tahun lalu, Dad berencana jodohin gue, jelas gue nolak dong! Dad takut gue pacaran sama cowok yang nggak sesuai dengan keinginannya dan akan bertindak seperti Keyla. Dad nggak mengenal gue dengan baik."

Anggap saja sekarang aku mengeluh, karena memang kenyataannya aku kecewa dengan sikap Dad.

"Terus ... waktu lo nolak, nyokap lo dukung siapa?"

"Nyokap dan Kak Ken nggak setuju gue dijodohin. Gue kesal, terus milih liburan ke Inggris. Di sana gue ketemu cowok, namanya Jonathan. Setelah gue balik ke LA, status kami sudah pacaran, tapi LDR. Dad tahu dan nyuruh gue putus. Dad ngotot mau jodohin gue. Gue semakin nggak terima, lalu mutusin tinggal di Inggris dengan Kak Ken."

"Enak dong, lo bisa bebas dengan dia."

"Malah sebaliknya. Kak Ken juga nggak suka dengan Joe. Dia ngawasin terus. Kalaupun gue udah stress banget, palingan Joe yang disuruh main ke rumah, dan tetap saja kami ngobrol dalam pengawasan."

"Sampai segitunya?" Aku mengangguk lemah.

"Gue nggak ngerti, kenapa mereka segitunya nggak suka sama Joe, bahkan sahabat-sahabat gue juga nggak suka sama dia."

"Lo nggak cari tahu?" Aku hanya menggendikkan bahu.

"Satu setengah tahun lalu dia selesai kuliah dan balik ke Indonesia. Gue makin stress, dan akhirnya gue kabur ke sini. Gue tinggal sama sahabat gue, Jenny, yang lo lihat tadi siang," Dave manggut-manggut. "Tapi Kak Ken nyusul dan marah besar. Dengan berbagai alasan dan rayuan, akhirnya gue diizinin tinggal di Jakarta, tapi dengan syarat."

"Apa syaratnya?"

"Dia nyerahin hotelnya biar gue sibuk dan nggak fokus sama Joe. Kak Ken juga beli apartemen buat gue, dan setiap dua bulan sekali dia datang."

"Ken protektif juga, ya?" Aku mengangguk membenarkan.

"Kak Ken gitu karena hanya gue satu-satunya adiknya yang masih tersisa. Kami sudah kehilangan Keyla, dan dia nggak mau kehilangan gue lagi."

"Jadi pacar lo gimana, nih? Gue jadi merasa bersalah." Sesal Dave dengan tampang memelas.

"Emang lo salah!"

Sepertinya dia baru sadar dari kesurupan. Bisa-bisanya santai begitu mengakui kesalahan.

"Gue juga nggak tahu gimana status dengannya sekarang. Sebenarnya, Dad nggak percaya kalau gue beneran calon istri lo, tapi Dad langsung menyetujui supaya gue bisa lepas dari Joe. Dad pikir lo orang yang tepat buat gue, tapi dengar cerita lo yang suka main perempuan, gue sangsi dengan insting protektifnya."

Dave justru tertawa ngakak. Benar-benar gila ini orang, bukan kesurupan lagi namanya.

"Gue harap, Joe nggak tahu status gue sekarang yang sudah jadi istri orang." Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya pacarku itu.

"Ya, lo nggak usah bilang. Kita udah sepakat nggak akan ikut campur urusan masing-masing. Lo masih tetap bisa jalan sama pacar lo." Aku mengangguk setuju.

Ya setidaknya ada aturan dari kami berdua yang membatasi urusan pribadi. Aku belum siap berpisah dengan Joe, karena nyatanya kami tak pernah ada konflik. Jadi, tak ada alasan yang tepat untuk mengakhiri hubungan.

Memang bisa saja alasannya karena aku sudah menikah, tapi itu akan membuatnya berpikir aku telah berselingkuh di belakangnya. Aku tak mau dicap sebagai wanita murahan.

"So ... kita udah sama-sama saling terbuka. Ini akan kita jadikan patokan untuk poin-poin yang sudah kita sepakati. Tapi masalahnya, sampai kapan kita seperti ini?"

Bagaimana pun juga, aku dan Dave tak ada perasaan sama sekali. Hidup bersama tanpa perasaan sungguh tak akan membuatku nyaman.

"Lo tahu gue pantang untuk melepas. Buktinya, gue nggak bisa melepas Bianca gitu aja. Gue berencana akan cari dia lagi. Dan tentang kita, gue nggak bisa lepas lo juga, karena dari awal gue salah dan nggak mau berbuat salah lagi dengan menceraikan lo."

"Gue juga nggak mungkin gugat cerai lo, karena gue tahu kodrat gue sebagai wanita, walau gue bukan istri impian lo, tapi gue bakal hargai keputusan lo sebagai suami."

Mom selalu memberiku nasehat bagaimana menjadi seorang wanita yang menjunjung tinggi harkat dan martabat, terutama jika sudah menjadi seorang istri. Kecuali mendapatkan kekerasan fisik dari suami, sebagai perempuan harus berani dan tegas melawan.

"Poin keenam, kita nggak boleh main perasaan. Jika salah satu dari kita mulai ada rasa, dengan kesadaran sendiri harus pergi. Lo setuju?" cetus Dave dengan serius.

Pergi? Tanpa ada embel-embel ketok palu di pengadilan? Bagaimana ya? Tapi itu adalah salah satu cara supaya aku bisa lepas darinya dengan alami. Maksudku, jika aku dan Dave memilih untuk saling menjauh, mungkin dari pihak keluarga yang akan meminta kami berpisah.

Jika sekarang, keluarga begitu ngotot kami hidup bersama. Mungkin dengan seperti itu, suatu hari mereka yang meminta, bahkan mengurus perceraian kami. Aku tak perlu repot lagi. Baiklah. Itu ide yang cukup manusiawi.

"Oke! Deal."

Aku mengulurkan tangan padanya.

"DEAALL!"

Semua telah beres. Kesepakatan sudah final. Jadi, selanjutnya kami hanya perlu bersandiwara. Urusan bagaimana nantinya, jalani saja sampai batas waktunya.

Pasrah saja.

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top