Chapter 1

[ Keyra ]

●●●

"Woi!!" Aku tersentak karena tepukan di bahuku.

"Apa sih, Jen? Lo ngagetin gue aja!" dengusku kesal. tapi si setan modis hanya nyengir tanpa dosa.

Aku selalu menyebutnya setan modis karena sesuka hati menyeretku sebagai model eksperimen karyanya. Untung dia sahabatku, kalau bukan ... beuh ... sudah aku rebus dia hidup-hidup.

"Kita udah sampai. Ayo turun." Aku memutar mata jengah, rasanya masih mengantuk.

Dengan gontai, aku pun turun dari mobil dan mengikuti langkahnya masuk ke dalam sebuah gedung. Dua kali kesadaranku dipaksa untuk bangkit dari alam mimpi. Ini lebih menyeramkan daripada terbangun karena mimpi buruk.

Hidupku sebenarnya tidak harus  semengenaskan ini, bangun dengan cara paksa dan bekerja menjadi model dadakan. Bisa dibilang aku terlahir di keluarga yang berlimpah harta, namun aku memilih kabur dan tinggal di Jakarta sendirian.

Nyatanya, aku tak sendirian. Ada tiga sahabatku, salah satunya Jenny, dan dua lainnya nanti saja aku ceritakan. Selain itu ada kakak kebanggaanku, namanya Kenzi Alexcio Carlos. Tapi dia tinggal di Inggris karena mengemban tugas untuk mengurus perusahaan Dad di sana. Biasanya Kak Ken---begitu aku memanggilnya---akan datang ke Jakarta setiap dua bulan sekali untuk memantauku.

Alasan aku kabur bukan karena lelah dengan harta Dad, tak munafik, aku masih butuh hidup dalam kubangan materi, namun aku tak menjadikannya faktor utama dalam hidupku. Aku kabur karena Dad berniat menjodohkan aku dengan anak dari teman masa kecilnya.

Helooowww!!

Ini jaman modern dan Dad tercintaku ingin menjual putri satu-satunya kepada pria yang tak aku cintai. Ini gila!

Sedekar informasi saja. Kedua orangtuaku kini menetap di Los Angeles, Amerika Serikat, tanah kelahiran Dad. Sebenarnya aku terlahir di Indonesia, hanya saja ketika usiaku 10 tahun, Dad memboyong kami sekeluarga untuk tinggal di LA karena pekerjaannya di sana.

Lalu, kenapa aku memilih kabur ke Jakarta? Alasannya karena ketiga sahabatku ada di sini. Namun alasan lain yang utama adalah kekasihku berasal dari Jakarta. Namanya Jonathan.

Selama ini kami berdua LDR, pacaran jarak jauh. Sebelumnya Joe---begitu aku memanggilnya---kuliah di Inggris. Di sanalah aku bertemu dan kenal dengannya. Aku sering ke Inggris menemui Kak Ken jika suntuk dengan tekanan Dad.

Aku dan Joe sudah menjalin kasih hampir 3 tahun lamanya. Setahun yang lalu dia lulus kuliah dan kembali ke Jakarta, makanya aku pun nekat kabur ke Jakarta. Memang tujuan utama bukan ingin mengejar Joe, hanya menghindar dari desakan Dad.

Entah mengapa Dad sangat tidak setuju aku dan Joe berhubungan. Kak Ken juga tidak suka, namun tak memperlihatkannya secara gamblang. Hanya saja sikapnya yang begitu protektif padaku jika tahu Joe tengah berada di dekatku.

Hanya Kak Ken yang tahu keberadaanku di Jakarta, karena orangtuaku hanya tahu jika aku berada di Inggris dan tinggal bersamanya. Jika Dad tahu, bisa saja aku dijemput oleh orang suruhnya dan diseret paksa kembali ke LA. Aku tak mau.

Kak Ken tak tega denganku yang tertekan, akhirnya memberikan izin tinggal di Jakarta. Namun tak serta merta dia memberikan kebebasan mutlak. Kak Ken selalu memperingatkan dan memintaku waspada kepada Joe.

Karena itu, Kak Ken melimpahkan urusan hotelnya di Jakarta kepadaku. Bukan karena Kak Ken meragukan kemandirianku, hanya supaya aku tak mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan Joe.

"Key, lo coba gaun ini ya?" Jenny memberiku sebuah gaun yang wajib aku kenakan untuk pemotretan.

Aku hanya mengangguk lemah menerima gaunnya dan langsung masuk ke ruang ganti. Jenny memang desainer muda berbakat, tapi merepotkan. Setiap akan launching desain baru, aku pasti diseretnya sebagai model. Kalau dia bukan sahabatku, aku pasti sudah meminta bayaran mahal karena sudah menyita waktu santaiku.

Aku pun keluar dari ruang ganti dan duduk tenang di depan meja rias. Aku memasrahkan wajahku dipoles oleh para penata rias yang sudah memainkan jari-jarinya.

Jujur saja, aku sedang tidak ada mood untuk berpose saat ini. Alasannya? Aku galau. Bagaimana tidak? Sudah seminggu Joe belum memberiku kabar. Ke mana pria itu?

Setelah hampir dua jam aku didandani bak seorang ratu, kini waktunya aku berpose mengenakan gaun rancangan Jenny. Photografer mengarahkanku dengan berbagai pose. Bagaikan seorang model profesional, aku pun mengeksplor bakat photogenikku.

"Jen, gue laper. Lo harus tanggung jawab." Mataku merem melek bersandar di jok mobil, antara lelah, mengantuk, dan lapar.

Setelah hampir tiga jam berkutat dengan dunia permodelan, tenagaku rasanya mau habis karena belum menerima asupan semenjak bangun tidur.

"Iya. Lo tenang aja," ucapnya sambil fokus menyetir.

"Lo bangunin gue ya, kalau udah sampai. Ngantuk banget gue." Dia mengangguk dan aku mulai memejamkan mataku lagi.

Sungguh melelahkan. Sumpah.

***

Huft!

Rasanya tubuhku sebentar lagi akan remuk. Setelah pagi buta menjadi model---yang benar adalah dipaksa menjadi model, kini aku harus berkutat dengan pekerjaan asliku. Kalian pasti penasaran dengan pekerjaanku, kan?

Selain membantu Kak Ken mengurus hotelnya, aku sendiri memiliki bisnis kuliner hasil join bersama dengan sahabatku yang lain. Sebuah restoran berbintang dan sahabatku sebagai chef di sana. Namanya Rey dan kami sudah bersahabat sejak kecil, sama seperti Jenny.

"Key, kok muka lo pucat gitu?" Suara berat Rey mengejutkanku.

Aku memang sedikit merasa pusing, mungkin efek bangun pagiku yang kurang sehat. Sejak tadi aku menopang dagu dengan mata terpejam. Sungguh tubuhku rasanya lemas.

"Biasa ... pagi buta Jenny nyeret gue jadi modelnya. Gue kurang tidur, Rey. Semalam gue begadang, telponan dengan Kak Ken," keluhku sembari memijit pelipis yang rasanya berdenyut.

"Lo pulang, gih! Lagian ini juga udah jam 6 sore." Rey khawatir.

"Entar aja, deh! Di apartemen juga gue kesepian." Jelas, itu karena aku tinggal sendiri.

"Joe kok jarang kelihatan, sih? Ke mana tuh bocah?" Aku hanya menghela nafas karena aku pun tidak tahu pria itu ada di mana sekarang.

Sama seperti Kak Ken, Rey juga tidak terlalu menyukai Joe. Jenny yang memang cuek dengan sekitarnya juga pernah mengatakan kalau dia juga tidak terlalu suka dengan Joe.

Aku tidak pernah mengerti kenapa semua orang terdekatku tidak menyukainya, termasuk kedua orang tuaku. Dad memang secara frontal menentang hubunganku dengan Joe, tapi Mom masih fleksibel. Walau Mom juga kurang setuju, tapi demi melihatku bahagia Mom malah membantuku kabur ke Inggris waktu dulu.

"Key!" Rey menoel pipiku, membuatku kembali ke alam sadar. "Lo ngelamun apaan sih?"

"Ah? Eng ... nggak apa kok," kilahku gugup. "Gue pulang aja, deh!" Lantas aku berdiri dan merapikan meja kerjaku. "Oh iya! Kalau Nessa datang, suruh ke apartemen gue aja, ya? Tadi dia nelpon bilang mau ke sini." Aku sampai lupa kalau sahabatku yang lain akan datang.

Aku sudah bilang, kan? Aku punya tiga sahabat. Pertama Jenny, kedua Rey, dan yang ketiga adalah Nessa. Kami bersahabat sejak kami kecil. Walaupun kami sempat terpisah benua, kami tetap berkomunikasi dan menjadi sahabat sampai sekarang.

"Nessa bilang ke sini?" Mata Rey berbinar dan aku hanya mengangguk lemah.

Rey itu menyukai Nessa, tapi efek otak lemot Nessa yang tidak peka dengan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Rey padanya, membuat mereka terlihat aneh.

Tapi bukan Rey namanya, jika cepat menyerah. Dia pria tersabar yang pernah aku kenal dan terus berusaha mengejar Nessa supaya peka terhadap perasaannya. Padahal banyak sekali wanita yang mengejar-ngejar Rey. Namun Rey hanya peduli dengan Nessa. Mereka sangat konyol.

"Rey, lo harusnya ngomong aja sama dia kalau lo tuh suka, jangan kode mulu. Udah tau dia lemot. Ck!" sindirku, dan seperti biasa dia hanya cengengesan.

"Gue tuh cuma takut kalau dia nolak dan persahabatan kita keganggu, Key. Gue nunggu dia peka aja, deh!" Aku hanya geleng kepala dengan kesabaran Rey.

"Serah lo, deh!" Aku langsung beranjak keluar ruang kerjaku.

Rey mungkin sedang berbunga-bunga membayangkan Nessa yang akan datang. Aku bisa saja mengirim pesan pada Nessa untuk langsung pergi ke apartemenku. Tapi aku ingin menjadi sahabat yang baik.

Mengerti kan maksudku? He he he....

***

Kenapa taksi tidak ada yang lewat, ya?

Sudah hampir 30 menit aku berdiri di bawah pohon dekat restoran. Aku tidak membawa mobil karena siang tadi diantar oleh Jenny. Ponselku juga mati karena kehabisan daya. Kalau balik ke restoran malas.

Perlahan aku melangkah menjauh, siapa tahu ada taksi yang lewat. Letak apartemenku sebenarnya tidak jauh dari restoran. Jika jalan kaki bisa saja, paling sekitar 20 menit. Hanya saja aku malas menyeberang jalan. Tahu sendiri bagaimana kondisi jalanan Jakarta dan jembatan penyebarangan jumlahnya tidak banyak.

Eh? Kenapa aku merasa diikuti, ya? Aku semakin mempercepat langkah, tapi  perasaanku semakin tidak karuan. Tiba-tiba seseorang menarik tasku. Spontan aku menahannya.

"SERAHIN TAS LO!!" Ancam pria yang berperawakan besar dan sangar.

"NGGAK!!! LEPASS!! TOLOOONG!!" teriakku panik

Tak biasanya jalanan ini sepi. Ke mana orang-orang? Kenapa tak ada yang lewat? Aku terus meronta dan berusaha mempertahankan tas milikku, sampai sesuatu yang membuatku tercengang terjadi.

Bugh!!

Aku menganga melihat preman itu terjengkang dan tersungkur meringis di bawah kakiku. Apa yang terjadi?

~ o0o ~

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top