-t r e i z e。

terkejut aaabang terheran-heeeran
sebab Alpha ternyata si park woojin

.
.
.

「 ✦ ᴛ ʀ ᴀ ᴘ ᴘ ᴇ ᴅ。 」

.
.
.

Hyunbin berulang kali mengerang, geram ketika harus melihat foto Minhyun terus menerus demi memastikan dimana lokasi Minhyun berada. Pria itu duduk di sisi Daniel sebagai pengemudi, dan Jaehwan di kursi belakang. Letak duduk yang disengaja, sebagai antisipasi kalau saja Hyunbin mendadak melompat keluar dari mobil ketika melihat sesuatu yang janggal. Manik Jaehwan terus melekat pada Hyunbin, mengawasi yang lebih tua dalam diam.

"Apa tidak ada tulisan atau semacamnya?," tanya Daniel tanpa melepas pandangnya dari jalanan Seoul yang dibasahi hujan. Mengingat waktu telah menunjukkan pukul 12 malam dimana jalanan begitu lengang, tak heran ketiga sahabat itu sudah kembali dari Busan tanpa memakan banyak masa.

Hyunbin mengerang sebagai jawaban. Kepalanya terlalu malas untuk sekedar menggeleng. "Tidak, murni sebuah foto dengan latar belakang yang aneh."

"Entahlah," Jaehwan turut berdecak. Keningnya berkerut dalam. Lintas-lintas memori mengisi kepalanya secara acak. "Aku hanya merasa, ini sangat mirip dengan sesuatu."

"Sesuatu?"

Hyunbin memutar tubuhnya dan menatap Jaehwan dalam, menuntut jawaban dari yang lebih muda. Lembar foto yang terselip di jarinya ia berikan pada Jaehwan agar pria itu dapat melihat dengan lebih jelas foto yang tercetak.

"Ya, sangat- entahlah, janggal sekali. Aku yakin aku pernah melihat pemandangan seperti ini."

"Explain it, Jae. Itu tidak membantu."

"Aku berusaha mengingat-," Jaehwan memilih untuk menyerahkan kembali foto Minhyun pada Hyunbin dan menunduk dalam, memperhatikan karpet mobil Hyunbin. Telapaknya sesekali meremat surainya sendiri, memaksa tubuhnya untuk meraih memori yang terasa samar di dalam otaknya.

"Sial, aku sama sekali tidak mengingat hal apa yang kau maksud," Hyunbin meletakkan foto Minhyun di atas pangkuannya. Pandangannya teralih, memperhatikan jalanan yang sepi.

Hyunbin muak. Ia tidak mau melihat foto Minhyun berulang kali. Mual selalu datang karena gelombang emosi yang berlebihan, menciptakan rasa tak nyaman pada tubuhnya. Hyunbin tak ingin melihat wajah Minhyun yang menangis dan dipenuhi sperma yang entah milik siapa.

Hyunbin marah, marah pada segala hal yang terjadi saat ini. Ia marah pada Woojin yang tidak pernah berubah. Woojin tetap menjadi Woojin yang selalu busuk.

Hyunbin marah sebab hal ini terjadi karena kesalahannya.

"Sial!," rutuk Jaehwan yang berhasil memecah lamunan Hyunbin. Pria itu menoleh, mendapati wajah temannya yang memerah dan mencengkram separuh kepalanya sendiri. Jaehwan menyeringai akibat menahan rasa sakit pada tubuhnya. "Sial, sial!"

"Jangan paksa dirimu, Kim Jaehwan!"

"Oh shit," Jaehwan segera menyambar kotak tissue di antara tubuh Daniel dan Hyunbin. Sontak keduanya menoleh, menatap Jaehwan dengan penuh keterkejutan. Daniel yang pertama menyadari keadaan, kembali memfokuskan dirinya di balik kemudi.

Daniel membanting setirnya, secepat mungkin menepikan mobil, kemudian menatap Jaehwan yang sudah menyumpalkan tissue di salah satu lubang hidungnya. Hyunbin tercekat, begitu pula Daniel yang memucat. Keduanya terdiam, menunggu hingga Jaehwan kembali bersumpah serapah.

"Shit shit, sialan-"

"I've told ya! Jangan paksakan dirimu!," Hyunbin mengerang. "Ingat batasan dirimu sendiri, Jae. Kau tau dengan jelas garis yang kumaksud."

Jaehwan berdecak. Telapaknya mengibas, menolak rentet nasihat Hyunbin yang dirasa memekakkan telinga. "Berhenti membahas luka lama, dan cepat selesaikan urusan ini. Lanjutkan perjalanannya, Daniel."

"Tidak!," kali ini, Daniel yang mengerang penuh amarah. "Kau harus pulang, sekarang juga. Aku tidak mau memperparah keadaanmu, tidak!"

"Daniel!," bentak Jaehwan yang telah menyandarkan kepalanya pada sisi belakang bangku kemudi. Kelopaknya terpejam erat. Tampak jelas bahwa ia tengah menahan rasa sakit. "Aku bilang, berhenti membahas luka lama sialan ini, dan lanjutkan perjalanan!"

"Woojin akan menertawakan keadaanmu, sadarlah!"

"I don't care!," Jaehwan melirik, memberikan tatapan terbaiknya pada kedua sahabat yang menatapnya penuh kekhawatiran. "Jika dia tertawa karena ini, maka dia tetap manusia gila yang aku kenal."

"Sialan-," Hyunbin kembali bersandar dan menyentak tubuhnya beberapa kali, hanya untuk meluapkan amarahnya. "Park Woojin sialan!"

Daniel memilih diam dan menyambar foto Minhyun dari pangkuan Hyunbin. Maniknya menatap lekat tiap detail yang tergambar, tanpa melewatkan satu pun. Tiap perabot yang rusak, tiap keramik lantai yang tampak berdebu, tiap sudut tembok yang terdiri dari bebatuan kelabu dan dipenuhi sarang laba-laba, juga daun jendela sempit yang berdempet dengan kaca berbentuk mozaik. Cukup lama pria itu menatap lembar foto, hingga akhirnya ia menyadari satu hal.

Daniel melempar kembali lembar foto Minhyun pada Hyunbin. Segera ia menyambar persneling dan kemudi, kemudian memutar arah kendaraan dengan wajah penuh amarah. Pergerakan Daniel yang mendadak mengakibatkan kepala Hyunbin terantuk keras pada jendela mobil. Pria itu mengumpat, memaki-maki Daniel yang tetap diam.

"Apa-apaan, Daniel?!"

"Kita ke Busan."

Hyunbin melebarkan kelopak matanya. Pandangannya teralih dan kembali memperhatikan foto Minhyun, mencoba menelaah tiap detail yang ada, dan berakhir sia-sia. Hyunbin menoleh pada Daniel, menuntut penjelasan dari sang sahabat.

"Rumah Woojin."

"Apa?"

"Ya!," Jaehwan menepuk pundak Hyunbin lemah. Kepalanya mengangguk beberapa kali dengan samar. "Rumah Woojin, aku ingat- rumah besar itu."

"Impossible!"

"Kau pasti mengingatnya, Hyunbin," ucap Daniel dengan pandangan lurus pada jalanan. "Kau pernah kesana, kita pernah kesana bersama. Kau pasti ingat!"

Hyunbin menyandarkan tubuhnya semakin dalam di bangku penumpang. Maniknya menatap kosong, sementara kepalanya berusaha memutar memori yang dapat ia ingat. Sekilas, bayangan akan rumah tudor yang cukup mencolok kala itu terputar. Semak belukar merambat naik di salah satu bagian rumah, satu hal yang Hyunbin sukai dari rumah Woojin.

"Sialan, dia mempermainkan kita-"

Pandangan Hyunbin sekali lagi terarah pada lembar foto, dengan usaha mengabaikan potret menyedihkan Minhyun di dalamnya. Ia memperhatikan kembali detail yang sempat terlewat satu per satu.

"You got that right. Ini- rumahnya."

"I know it, aku masih mengingatnya dengan jelas."

"Baguslah," Jaehwan angkat suara dengan nada mengejek dan penuh canda. "Aku tidak bisa mengingatnya."

"Enough, Jaehwan!," Daniel mengeratkan cengkramannya pada kemudi. Laju kendaraan seketika terasa semakin cepat. Bahkan Jaehwan sempat limbung dan nyaris tersungkur, kalau saja Hyunbin tak mencekal lengannya. Jaehwan tersenyum tipis, berterima kasih pada Hyunbin tanpa suara.

"Kau meminta untuk tidak membahas ini," lanjut Daniel.

"Baik baik, tidak berbicara tentang ini," Jaehwan terkekeh sendu. "Tentu saja tidak perlu membahasnya. Ini menyakitkan."

.
.
.

* . · . ♥️ ˚ 🖤 . · . *

.
.
.

Minhyun mengerti, sudah dua hari ia terkurung di kamar berdebu ini. Semburat cahaya mentari masih mengintip malu malu, bersiap untuk menjemput pagi kedua. Minhyun menghitungnya, bagaimana malam berganti siang dan kembali malam melalui jendela kecil berdempet yang menjadi satu-satunya sumber informasi.

Minhyun tak dapat tertidur. Kepalanya dipenuhi tanda tanya dan rasa takut. Dimana tuannya? Bagaimana jika tuannya tidak dapat menemukan dirinya? Haruskah Minhyun memberikan isyarat keberadaannya, sehingga Hyunbin tidak ragu ketika menemukan lokasinya dikurung saat ini?

Punggung Minhyun menegak, bangkit dari kasur yang keras dan menyakiti tubuhnya. Ia ingin berjalan mendekati jendela untuk setidaknya melongok keluar barang sebentar saja, namun rasa sakit di tubuhnya yang yang kunjung hilang kembali menjatuhkan tubuh mungil itu di atas kasur. Minhyun menghela nafasnya dan kembali menyandar pada headboard kasur.

Brak!

Minhyun tersentak, mendapati pintu yang mendadak terbuka dengan kasar. Dari balik daun pintu lapuk, Alpha berjalan masuk dengan senyum khasnya. Ia mendudukkan diri di tepian kasur dan menatap dalam sosok Minhyun. Minhyun membalas menatapnya nyalang, mempertanyakan kedatangannya di pagi buta seperti ini.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau mau Harele?," Alpha mengendikkan bahunya. "Dia tidak akan bisa bertemu denganmu untuk beberapa saat ini, sayang sekali.

Tidak ada makanan.

Beruntung Minhyun menyimpan satu bungkus nasi kepal pemberian Harele sebagai cadangan kalau saja kejadian seperti ini terjadi. Ia harus bertahan, setidaknya sampai terdengar kabar tuannya akan datang dan menjemput dirinya.

Tanda tanya kemudian mencuat di dalam kepala Minhyun mengenai keberadaan Harele. Apa Alpha menyakitinya? Minhyun mulai menaruh rasa kasihan jika mengingat Harele yang begitu kurus dan tampak tak pernah terpapar sinar mentari secara langsung. Harele tampak seperti tawanan milik Alpha, sekalipun keduanya menikah.

"Kau bertanya-tanya tentang Harele, aku tau itu."

Minhyun bungkam, tak berniat membalas ucapan Alpha satu pun. Ia memilih untuk membuang muka dan memperhatikan pergerakan awan di balik cermin sempit kamar itu. Ia dapat merasakan tubuhnya memanas, terbakar oleh amarah terhadap sosok Alpha. Minhyun nyaris menancapkan potongan kayu di balik bantalnya, kalau saja ia tak mengingat ada banyak penjaga di luar kamarnya.

Alpha terkekeh pelan. "Kenapa kau tidak bertanya soal kedatangan Hyunbin, tuanmu itu?," dengungnya dengan nada remeh.

Minhyun sontak menoleh saat mendengar nama tuannya disebut. Maniknya menggambarkan keterkejutan. Jadi, tuannya benar-benar akan kemari? Tapi, dari mana Alpha tau tentang hal itu? Apa keduanya sempat bertemu?

"Dia membawa dua pamanmu yang lain, dua sahabat lama yang juga kutunggu," Alpha berdiri, tampak hendak menyudahi diskusi singkat keduanya. "Jaehwan sang dr. Jekyll cengeng dan Daniel sang pengkhianat."

Telapak Alpha mengusap surai lengket Minhyun kasar beberapa saat, mengguncang kepala Minhyun yang sudah berdentam sejak awal kedatangannya kemari. Minhyun dengan berani menepis tangannya menjauh dan menatapnya tajam, mengundang tanya dari sang Alpha.

"Jika kau menyakiti ketiganya, aku benar-benar akan membencimu, Alpha."

"Damn, mengerikan!," Alpha tertawa sembari berlalu, bersiap untuk keluar dari kamar pengap itu. "Kau membuatku semakin bersemangat untuk menyakiti ketiganya sekaligus."

"Kenapa-," gumam Minhyun cukup keras. Cukup untuk menarik atensi Alpha yang sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa kau begitu ingin mencelakakan mereka? Kenapa?"

"Hm, kenapa-," Alpha bersandar pada daun pintu, menciptakan bunyi berderak yang mengganggu. Jemarinya mengetuk dagu beberapa kali, menampilkan kesan berpikir meski penuh kepura-puraan. "Mungkin karena aku menyukai ketiganya? Kami punya cerita yang menarik, jauh sebelum hari ini, atau juga kemarin."

"Tidurlah," lanjut Alpha. "Kau tidak mau tuanmu melihatmu dalam keadaan mengerikan, bukan? Tenang saja, kau sudah tampak seperti jalang saat ini. Not bad."

"Mati saja kau-"

"Aku jadi bertanya-tanya," Alpha kembali melangkah masuk, menanggapi sumpah serapa Minhyun dengan wajah geram. "Dimana Hyunbin menemukanmu? Kau tidak tampak layaknya anak buangan milik Daniel."

Senyum Alpha melebar, melihat Minhyun yang memiringkan kepalanya samar, tampak tak mengerti dengan apa yang ia sebutkan. Pria itu kembali berjalan dan duduk di tepian kasur. Kedua bahunya bergerak naik, mengendik dengan remeh.

"Kau tidak tau? Daniel juga memungut seorang anak kecil," ungkap Alpha. Pandangannya menyorotkan rasa jijik terhadap Minhyun. "Tapi dia anak yang berguna, pelayan yang baik, bukannya jalang sepertimu."

"Berhenti mengatakan hal yang tidak masuk akal!"

"Apa? Tapi aku bersungguh-sungguh," Alpha menjentikkan jemarinya, memanggil baris penjaga di luar kamar. "Jinyoung adalah pelayan yang baik, seorang butler yang patuh."

Alpha berdiri, bersiap pergi dengan seringai terhias di wajahnya. Ia tampak senang menangkap raut ketakutan yang memenuhi wajah mungil Minhyun. Ia mengerti, tatapan bocah itu terpaku pada para penjaga yang sudah masuk ke dalam kamarnya.

"Tapi sepertinya kau adalah pelayan yang baik pula," Alpha berlalu setelah mengisyaratkan pada para penjaga untuk kembali memakai Minhyun. "Seorang jalang tanpa identitas yang masuk dalam kehidupan Hyunbin. Interesting."

.
.
.

* . · . ♥️ ˚ 🖤 . · . *

.
.
.

Hyunbin meneliti kawasan perumahan yang ditelantarkan dengan cermat. Pandangannya lurus, mengingat tiap kenangan pada tiap sudut yang dilintasi oleh ketiganya. Taman dengan ayunan yang telah berkarat dan siap jatuh, rumah-rumah gelap tanpa penghuni yang sebagian kacanya telah pecah entah kenapa. Hyunbin kini ingat, ia ingat segala hal yang pernah ia lakukan disini.

Laju mobil kian melambat dan berhenti total di depan dua buah gerbang hitam berkarat yang masih berdiri kokoh. Di baliknya, rumah bergaya tudor dengan semak merambat yang sudah tak terkontrol pertumbuhannya menjulang dengan kentara, tampak sangat mencolok di antara rumah-rumah bergaya cukup modern.

"Here we are-"

"Kim Jaehwan," Daniel memutus ucapan sang sahabat. Ia menoleh, menatap dalam Jaehwan yang menyandar di kursi belakang. "Aku harap kau tidak berpikiran untuk turun."

"Ayolah, aku juga bagian dari tim ini bukan?"

"Kau hanya akan merepotkan kami jika kau pingsan di dalam," jawab Hyunbin ketus. Ia tak menoleh, lebih memilih untuk mengecek tiga senapan yang akan ia bawa.

Jaehwan berdecih. "Aku tau, itu ungkapan kepedulian. Tapi sayangnya, aku tidak ingin dikasihani."

"Tiga puluh menit," desah Daniel yang muak membujuk sahabat keras kepalanya. "Tiga puluh menit, jika kami tidak berhasil membawa Minhyun keluar, kau boleh masuk."

"Kang Daniel!"

"C'mon, Hyunbin!," bentak Daniel, membalas lengkingan amarah Hyunbin di sisinya. "Kita tau betapa keras kepalanya Jaehwan! Percuma kita menguncinya, karena ia akan tetap turun!"

Hyunbin menyentak kepalanya ke belakang dengan kelopak mata terpejam. Raut wajahnya melukiskan pertimbangan yang mendalam. "Baik, tiga puluh menit," desah Hyunbin panjang. "Tidak kurang dari itu, Kim Jaehwan."

"Aku bisa mati bosan di dalam sini!"

"Tidak kurang dari itu," putus Hyunbin final, membungkam Jaehwan yang juga terlalu lelah untuk berdebat. "Jika kau mengacau, aku juga akan menghabisimu."

Hyunbin dan Daniel beranjak keluar. Sejenak, keduanya menghirup udara dalam-dalam, menyelami bau masam dan apak yang sudah menjadi satu dengan udara disana. Benar-benar tanpa kehidupan, kecuali berkas cahaya temaram di balik jendela besar rumah bergaya tudor itu, yang menjadi pertanda ada orang di dalam sana.

Lengkingan serak terdengar memecah keheningan janggal disana. Hyunbin dan Daniel menoleh terkejut. Bahkan Jaehwan yang berada di dalam mobil bisa mendengar teriakan menyakitkan itu. Itu adalah suara khas anak kecil yang nyaris di ujung kemampuan pita suaranya untuk berseru.

Itu suara Minhyun yang berteriak dan menangis di saat yang bersamaan.

Hyunbin meremat senapan di tangannya kuat-kuat. Telapaknya bergetar dengan buku-buku jari yang memutih. Gemertak gigi menjadi tanda betapa marahnya Hyunbin saat ini. Tanpa mengindahkan Daniel yang memanggil namanya, Hyunbin segera membuka pagar berkarat rumah Woojin, dan berlari masuk ke dalamnya. Daniel tentu segera menyusul di belakang dengan fokus yang terpecah, antara memperhatikan Hyunbin dan juga sekitarnya.

"Park Woojin!," jerit Hyunbin, memanggil sosok di dalam sana yang tersenyum miring mendengar namanya dipanggil, dan juga Minhyun yang menoleh di sela hentakan tubuh yang ia terima.

"I swear to God I'm gonna kill you!"

.
.
.

. · . ✦ ⋆ ˚ ♥️ ⋆ ˚ ° ♡ • ˚ ⋆ 🖤 ˚ ⋆ ✦ . · .
To be continue
. · . ✦ ⋆ ˚ ♥️ ⋆ ˚ ° ♡ • ˚ ⋆ 🖤 ˚ ⋆ ✦ . · .
.
.
.
.
.
.
.
.

a/n: enaq ya aku apdetin tiap hari. Makmurlah hidup kaleean semwa🙃

Ga apa lah ya. Kan aku definisi kegabutan yang haqueque, selagi bisa apdet, ya apdetin terooss

Attention! Pembaca diharap tidak bosan karena kalau bosan akan digiles oleh penulis cerita ini, sekalian dia giles si woojin.

Aku tu sayanq bengad sama kalian❤

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top