-q u a t r e。

.
.
.

「 ✦ ᴛ ʀ ᴀ ᴘ ᴘ ᴇ ᴅ。 」

.
.
.

"Kali ini, apa yang dia lakukan?"

Guanlin menerawang, mengingat hal yang terakhir kali ia ingat mengenai Minhyun. Kalau tak salah, pria kecil itu meminta kertas, krayon, dan beberapa pernak pernik yang tentu saja tidak ada di rumah seorang Hyunbin. Dan hal tersebut tentu menyusahkan diri Guanlin, sebagai orang yang diberi tanggung jawab untuk mengawasi Minhyun.

"Saya rasa dia menggambar, tuan."

Hyunbin memutar tubuhnya, menatap Guanlin dengan raut keheranan. Menggambar? Hal yang terdengar mustahil di rumah kaku milik Hyunbin. "Dari mana ia mendapatkan perlengkapan menggambar?"

Guanlin membungkuk lebih dalam. "Saya yang membelikan perlengkapan itu, tuan."

Dengusan meluncur dari Hyunbin. Perlahan ia menjauh dari jendela besar yang menghias kamarnya, menghadap langsung pada kolam renang terbuka di bagian belakang rumahnya. Langkah per langkah, semakin menjauh dari kamarnya sendiri. Guanlin mengekor di belakang, mengikuti Hyunbin yang bergerak masuk ke dalam ruang kerjanya yang juga menjadi satu dengan perpustakaan.

"Panggil dia kemari."

"Baik, tuan."

Guanlin membungkuk sekali, lantas beranjak pergi menuju kamar Minhyun yang hanya berjarak beberapa langkah dari perpustakaan. Ketukan halus menyapa pintu, dibalas dengan suara panik dan tergesa dari dalam kamar meminta sang pengetuk untuk menunggu sejenak.

Guanlin melongok setelah Minhyun menyahut, mengizinkannya untuk masuk. Netranya menemukan Minhyun yang berdiri canggung di tengah kamarnya. Krayon dan pernak pernik tampak berhamburan di sekitar kakinya. Dua tangan Minhyun bersembunyi di balik punggung sempitnya. Guanlin menerka, Minhyun menyembunyikan secarik kertas yang telah dihias.

"Tuan memanggilmu."

Minhyun mengangguk terpatah. Maniknya menatap Guanlin, mengawasi yang lebih tua sementara ia berjalan merayap menuju sudut ruangan. Sekejap ia berbalik, melipat kertasnya, kemudian memasukkannya dengan cepat ke dalam saku celana pemberian Hyunbin. Minhyun segera berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Guanlin yang mengekor kembali di belakang.

Alis yang lebih tua bergerak naik ketika melihat kejanggalan dengan cara Minhyun melangkah menuju perpustakaan. Bocah sepuluh tahun itu tampak setengah menyeret kakinya yang terbalut kain kasa. Sesekali, ia berjinjit seakan ada paku yang menancap di kakinya.

"Apa kau baik-baik saja?," Guanlin menahan lengan Minhyun yang hendak meraih gagang pintu perpustakaan. Ia berjongkok, menyamakan pandangnya dengan Minhyun yang tampak gugup dan berkeringat. "Apa kakimu masih sakit?"

Minhyun terkekeh kecil. "Hanya sakit sedikit."

Guanlin menatap dalam manik Minhyun yang berlarian, tak mau menatap balik dirinya. Hela nafas meluncur, usapan ringan pada kepala Minhyun cukup mengejutkan bocah itu. Maniknya bertemu dengan Guanlin, merasa setengah ketakutan dan khawatir.

"Katakan pada hyung jika terjadi sesuatu," Guanlin menarik senyum tipis di wajah dinginnya. "Tuan sangat tempramen, jika kau takut berbicara dengannya, kau bisa berbicara terlebih dahulu dengan hyung, mengerti?"

Minhyun mengangguk gugup. Rasa terkejut terpancar dari manik bulatnya. Melihat Guanlin yang selalu bersikap serius dan dingin, sekarang justru berkebalikan 180°. Guanlin kemudian melepaskan cekalannya pada lengan Minhyun, mengizinkan bocah itu untuk masuk ke dalam perpustakaan. Sebelum Minhyun membuka pintu itu, ia menarik celana Guanlin yang telah berdiri, meminta yang lebih tua untuk menatapnya.

"S-sakit, kaki-," gumam Minhyun setengah takut. Suaramya terdengar bergetar samar.

"Mau kuberitau pada tuan?"

Minhyun menggeleng. Telapaknya menepuk dadanya sendiri, mengatakan secara non-verbal pada Guanlin bahwa ia yang akan memberitau Hyunbin. Senyum melengkung di wajah Minhyun, mengucap terima kasih tanpa suara pada Guanlin, kemudian melangkah masuk ke dalam perpustakaan, meninggalkan Guanlin.

"Apa yang kau bicarakan dengan Guanlin?"

Minhyun tersentak ketika dirinya sudah dihujani pertanyaan sebelum menutup pintu perpustakaan secara sempurna. Ia berdengung pelan, "hanya tentang makan malam."

Kepala Hyunbin yang semula menunduk, memperhatikan deret kalimat yang tertuang di kertas, berubah mendongak. Pandangan keduanya bertemu, menimbulkan rasa canggung bagi Minhyun. Bocah itu menunduk dan berjalan sepelan dan senormal mungkin menuju sofa dan duduk disana.

"Kenapa tuan memanggilku?"

"Tidak ada," balas Hyunbin seraya mengendikkan bahunya. "Baca buku jika kau merasa bosan," ucap Hyunbin sebelum kembali menatap kertas-kertas yang berserakan.

Setelahnya, hanya ada hening diantara dua insan dalam ruang kerja yang lebih tua. Sementara Minhyun asyik membaca buku tentang mitologi dewa dewi Yunani, Hyunbin justru tampak muak dengan kertas-kertas di atas mejanya. Sesekali ia kembali membaca deret kalimat disana, mengerang kesal, kemudian mengetuk ujung pena yang ia gunakan pada meja kerjanya.

"Bajingan-!"

Minhyun melepaskan atensinya dari buku. Maniknya menatap Hyunbin, memperhatikan amarah yang meluap dari pemilik tubuh jangkung itu. Umpatan-umpatan yang meluncur dari bilah bibir Hyunbin tampak tak mengejutkan bagi Minhyun.

"Aku hanya penyalur, sialan. Aku gudang informasi, bukannya menjual ganja seperti Daniel brengsek itu!," Hyunbin menggeram pada lembar kertas dihadapannya. Jemari panjangnya berpindah menuju surainya sendiri, kemudian merematnya kuat-kuat. Rasa pusing mendera semakin kuat, setelah membaca kegagalan transaksi senjata yang terjadi satu minggu lalu entah karena apa.

"Kau tidak boleh mengatakan bajingan, tuan."

Hyunbin melirik Minhyun yang menegakkan tubuhnya di sofa. Ia nyaris saja melupakan keberadaan Minhyun jika saja bocah itu tidak berbicara padanya, meski kenyataannya baru beberapa menit Minhyun melangkah masuk ke dalam perpustakaan.

"Bajingan terlalu kasar," Minhyun mendecak. Kepalanya menggeleng dramatis. "Sebaiknya kau ganti biadab, tuan."

Hyunbin mendengus, merasa konyol telah mendengar omong kosong Minhyun. "Kau tidak tau apapun, itu berarti kau sebaiknya duduk dan diam disana."

Minhyun mengabaikan ucapan Hyunbin. Bocah itu justru berjalan mendekat pada Hyunbin yang terduduk di kursi kerjanya dengan raut keheranan. Minhyun tak berbicara banyak, ia hanya memanjat dan duduk di pangkuan Hyunbin. Tangan kecilnya meraih lembar kertas yang menjadi pemicu emosi Hyunbin.

Cukup lama bocah itu terdiam, memperhatikan deret huruf dan angka disana, hingga ia menoleh pada Hyunbin dengan wajah muak. "Aku yakin kau salah disini, tuan," ungkapnya. Telunjuk mungil minhyun telah menunjuk satu bagian dari isi kertas Hyunbin.

"Ada barang yang luput, umn... AS50 Rifle Berkik? Ada 10 yang tak tercatat. Mulai dari pengiriman disini."

Hyunbin merampas kertas dalam genggaman Minhyun, kemudian membacanya dengan kelopak mata terbuka lebar.

Benar, Minhyun benar.

Amarah meletup, memecahkan rasa kemanusiaan dalam diri Hyunbin. Segera ia meraih telepon genggam miliknya, menelepon bawahannya yang bertugas untuk pengiriman barang pada seminggu yang lalu.

Tuan?

❝Jangan harap untuk melihat diriku lagi, karena aku akan menghancurkan kedua mata sialan milikmu.❞

T-tuan? Apa yang-

❝Temukan dimana 10 laras panjang seminggu lalu, maka aku hanya akan menghancurkan salah satu matamu❞.

T-tuan muda, kumohon-

❝Diam kau bajingan!❞

Hyunbin menutup panggilan secara sepihak, rasa gelap berkubang di dasar hatinya. Hela nafas panjang terdengar lagi dari celah bibirnya. Ibu jarinya menekan pangkal hidungnya, mencoba meredakan rasa sakit yang menampar wajah dan kepalanya.

Sebuah telapak tangan kecil menyapa kening Hyunbin sekilas. Keduanya tersentak, saling terkejut. Sontak, Hyunbin mendongak, memperhatikan Minhyun yang telah menarik tangannya ragu.

"Tuan baik-baik saja?"

Hyunbin menatap Minhyun dalam, tampak hendak menyuarakan pemikiran di dalam otaknya. Bilah bibirnya berubah mengatup, pandangannya seketika menjadi dingin dan mengerikan.

"Menyingkirlah."

Minhyun bergidik, seketika merasa ketakutan dengan Hyunbin yang berubah. Bocah itu memilih diam dan turun dari pangkuan Hyunbin. Ia agaknya mengerti kondisi hati Hyunbin yang tak mau diganggu oleh siapapun.

"M-maaf-," cicit Minhyun di sisi kanan Hyunbin. Kepalanya menunduk, merasa menyesal dan lemah terhadap Hyunbin. Tatapan Hyunbin yang menciptakan rasa mencekik pada Minhyun perlahan memutus pernafasan sang bocah.

Kedua bahu Hyunbin mengendik sekali, menolak Minhyun. Pria itu kembali menatap kertas-kertasnya dengan amarah. Minhyun tak mengerti, apakah ini berarti ia harus pergi ataukah tetap berdiri di sisi Hyunbin.

"Mungkin sebaiknya pergi," gumam Minhyun dengan suara seringan kapas. Kedua kakinya bergerak, siap untuk melangkah, hingga Hyunbin memanggil dirinya dengan geraman.

"Apa aku menyuruhmu pergi?"

"T-tidak tuan-"

"Maka tetaplah disini."

Minhyun tak dapat berbuat banyak. Penolakan atas perintah Hyunbin tampaknya bukanlah ide yang baik, sehingga Minhyun memilih kembali menyamankan posisi berdirinya di sisi Hyunbin. Sesekali ia akan merubah tumpuannya, sekian menit di kanan dan sekian menit di kiri. Hal itu adalah upayanya untuk menghindari rasa sakit.

Semula Minhyun hanya memperkirakan tiga puluh menit adalah waktu terlama yang Hyunbin berikan padanya untuk tetap berdiri. Nyatanya, tidak. Satu jam berlalu sangat lama. Minhyun telah mengganti posisi berdirinya hingga tak terhitung banyaknya. Sengatan menyakitkan terasa akan melumpuhkan tumpuannya. Rasa pegal dan sakit atas luka tembak yang nyaris sembuh, mulai menjalar naik hinggak pinggangnya. Nafas Minhyun memendek. Diliriknya Hyunbin yang tak bisa diganggu saat ini.

"T-tuan-hh," Minhyun menyentuh lengan kursi kerja Hyunbin, berusaha mencari pegangan yang dapat menguatkan dirinya untuk terus berdiri. Tanpa menoleh, Hyunbin menepis tangan Minhyun yang berusaha menggapai dirinya.

"Stay still, Minhyun."

Minhyun menggeleng perlahan. Air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya, tanpa ada yang bermaksud untuk turun melintasi pipi kecilnya. Ia tampak berusah keras untuk menahan tangisnya, sebab Hyunbin sepertinya tak mau mendengar keluhan atas rasa sakit Minhyun.

Minhyun mendadak terhuyung dan jatuh di lantai dingin ruang kerja Hyunbin. Tubuhnya bergetar kesakitan. Kedua tangan mungilnya mulai menekan daerah luka tembaknya, mencoba untuk menyingkirkan rasa sakit disana. Minhyun sadar, Hyunbin menatapnya tajam. Itulah sebabnya kenapa ia tak mendongak, tak mencoba untuk meminta maaf pada Hyunbin, sebab semuanya akan berakhir sama saja; kemarahan Hyunbin tampaknya mulai memuncak kembali.

"Aku rasa aku baru saja memintamu untuk tetap berdiri, Minhyun?"

Hyunbin mendorong mundur kursi kerjanya, kemudian memutarnya hingga ujung kedua sepatunya menghadap Minhyun. Bibirnya melengkung remeh, mengejek ketidakberdayaan Minhyun di bawah sana.

"Kau harus menahan rasa sakitnya," Hyunbin mengelus surai Minhyun lalu merematnya kuat hingga Minhyun mendongak. Dua tangan Minhyun berpindah untuk menahan cengkraman Hyunbin yang menyakitkan. "Karena saat kau dewasa, kau akan sering mendapat luka seperti itu."

"T-tuan-," nafas Minhyun terdengar putus-putus. Wajahnya memerah dengan ganjil, menciptakan kerutan heran yang terrlukis jelas di dahi Hyunbin. "S-sakit-hh."

Kelopak mata Minhyun mulai menurun, nyaris menutup, kalau saja Hyunbin tidak mencengkram kedua bahunya dan mengguncang tubuhnya. Pupil Hyunbin melebar, tampak cukup panik ketika merasakan sengatan panas dari kulit Minhyun. Kursi kerja Hyunbin tersentak jatuh ketika pemiliknya menjauh tanpa peringatan.

"Jangan tutup matamu, Minhyun. Jangan berani untuk menutup matamu!," Hyunbin berdiri, menggendong tubuh lemah Minhyun yang tak disadari olehnya sedari tadi dan segera berlari ke kamar sang bocah. Salah satu tangannya bergerak cepat, menelepon Jaehwan.

Yo, tuan muda pemarah-

❝Cepat ke rumahku, Minhyun demam.❞

Ayolah, dia hanya demam. Beri saja obat penurun demam, kenapa kau harus bersikap panik sekali?

❝Jaehwan!❞

Hela nafas berhembus di seberang telepon. ❝Baik, aku datang, baik. Bersabarlah karena sekarang adalah jam padat, okay?

❝Aku tidak peduli!,❞ Hyunbin berteriak kalut. Sesekali ia menunduk, mengecek keadaan Minhyun yang tersenggal. ❝Tiga puluh menit atau aku akan menggantungmu, Jae.❞

Sialan-

Jaehwan memutus sambungan telepon terlebih dahulu. Tampaknya pria di seberang telepon sana mulai berkemas dengan panik, mendengar ancaman Hyunbin yang sialnya tidak pernah main-main. Hyunbin kembali memasukkan ponselnya dan mendobrak pintu kamar Minhyun yang tertutup. Tak peduli dengan krayon dan pernak pernik yang terinjak, ia tetap melanjutkan langkahnya menuju kasur.

Hyunbin membaringkan tubuh Minhyun dengan hati-hati. Ibu jarinya mengusap bulir keringat yang menghias kening sang bocah. Teriakan Hyunbin menggema, memanggil Guanlin yang tengah membersihkan ruang tengah.

"Hey, hey Minhyun, kau mendengarku?," gumam Hyunbin di sisi tubuh Minhyun.

Minhyun mengangguk terpatah dengan kelopak mata terpejam erat. Raut kesakitan tak disembunyikan, terbukti dari kerutan di dahi Minhyun dan erangan samar dari bibirnya. Telapak kecil Minhyun meremat jemari Hyunbin yang mengelus tangannya.

"Sakit sekali? Tunggulah sebentar, okay? Jaehwan tengah bergegas kemari," Hyunbin melirik kaki Minhyun yang terbalut kain kasa. Ia tampak terkejut, merasakan telapak tangannya bersentuhan dengan kaki Minhyun yang membengkak dan terasa sangat hangat.

Tanpa menunggu, Hyunbin tergesa melepas kain kasa Minhyun, tak peduli dengan rengekan dan tamparan kecil Minhyun pada lengan Hyunbin. Bocah itu merasa kesakitan setiap kali kain kasa yang dilepas menggesek kulitnya. Luka menyakitkan milik Minhyun mengetuk rasa terkejut di diri Hyunbin. Luka itu tampak mengerikan, jauh lebih parah dari keadaan seharusnya.

"Infeksi?," Hyunbin beralih menatap Minhyun. "Berapa lama kau menyembunyikan ini, Minhyun? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?"

Minhyun menggeleng dengan isakan khas anak kecilnya. "Aku t-takut," cicitnya, berusaha membela diri dari amarah Hyunbin yang tampak berkumpul kembali.

"Tuan?," Guanlin berjalan mendekat dan terhenyak. Keterkejutan tergambar ketika manik gelap Guanlin menemukan luka Minhyun yang tampak menyiksa. Nafasnya tercekat tanpa disadari oleh dirinya sendiri.

"Kau tau tentang ini?"

"Ya, Minhyun ba-"

BUGH!

Guanlin terhempas jatuh dengan lebam dan darah dari pipinya. Kelopak matanya terpejam, tampak menahan sakit atas pukulan yang Hyunbin layangkan tanpa peringatan. Terdengar jelas di telinga siapapun, bahwa pukulan itu telak mengenai sasaran dan sangat keras.

"Dan kau tidak mengatakannya padaku, tolol!"

Kepalan tangan Hyunbin menggantung. Baru saja ia hendak melayangkan pukulan lain pada wajah Guanlin, kalau saja Minhyun tidak memanggil Hyunbin dengan suaranya yang melemah.

"J-jangan- Guanlin h-hyung tidak salah," Minhyun terisak, merasa bersalah pada Guanlin yang hanya diam di tempatnya. "A-aku yang memintanya untuk d-diam."

"Bodoh!," Hyunbin menyentak bahu Minhyun, mengguncang tubuh yang lebih muda. "Kau taruh dimana otakmu!"

Hyunbin meraih teleponnya dan kembali menelepon Jaehwan. Beberapa nada sambung mengganggu semakin menipiskan rasa sabar Hyunbin. Sesekali ia memaki atas respon Jaehwan yang lambat.

Aku sudah dekat, bangs-

❝Putar arah, aku ke rumah sakit. Minhyun infeksi.❞

Tunggu, dia apa?!

Hyunbin mencengkram ponselnya geram. ❝Bisakah kau tidak banyak bertanya KARENA AKU BENAR-BENAR MARAH, got it you dumbass?!❞

Hyunbin menyentak Guanlin untuk segera berdiri, tak memperdulikan dengan tubuh terhuyung yang lebih muda. "Siapkan mobil, dan jangan membuatku semakin kacau."

Guanlin tergagap. Ia segera membungkuk dan melesat setengah berlari menuju garasi, meninggalkan Hyunbin yang kembali merengkuh tubuh Minhyun dan menggendongnya. Satu kecupan penenang mendarat pada kening berkeringat Minhyun.

"Kau akan baik-baik saja. Percaya padaku, Minhyun."

.
.
.

. · . ✦ ⋆ ˚ ♥️ ⋆ ˚ ° ♡ • ˚ ⋆ 🖤 ˚ ⋆ ✦ . · .
To be continue
. · . ✦ ⋆ ˚ ♥️ ⋆ ˚ ° ♡ • ˚ ⋆ 🖤 ˚ ⋆ ✦ . · .
.
.
.
.
.
.
.
.

a/n: Sebenernya aq udah nulis dari lama but chap yang aku tulis justru jauh dari chap yang harusnya dikerjain. Jadi aku nulis chap yang harusnya untuk di apdet di masa depanㅠㅠ

Maaf kalau mungkin terkesan memaksa, tapi diriku cuma minta kalian untuk tidak lupa menekan tombol bintang di bawah, karena dengan begitu aku merasa dihargai meski kalian tidak meninggalkan komentar sekalipun. Cukup sedih dengan kebijakan wattpad meniadakan private chapter sebenarnya, tapi yah, bagaimana lagi?

Maapkan diri q malah curhat guys♡ ai lop yu ol♡♡

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top