-n e u f。
apa ini ga jelas bengad napadah
.
.
.
「 ✦ ᴛ ʀ ᴀ ᴘ ᴘ ᴇ ᴅ。 」
.
.
.
Minhyun tersentak dari tidurnya. Rasa berdenyut yang mengusik, kian mencubit tubuhnya, memaksanya untuk terjaga detik itu juga. Air mata mengalir turun, membasahi kedua pipinya yang terasa panas dan menyengat. Tak berani ia mengusap salah satu atau bahkan kedua pipinya untuk menenangkan rasa sakit disana, ia tak siap merasakan perih yang lebih menyakitkan dari saat ini.
Manik Minhyun bergulir, menatap jam dinding yang tergantung. Jarum pendek menunjuk pada angka 12, dengan jarum panjang di angka 4. Nyaris mendekati setengah satu malam, dan Minhyun tak merasakan kehadiran manusia yang seharusnya tertidur di sisinya, mengingat Hyunbin adalah pemilik kamar yang saat ini Minhyun singgahi. Entah, apakah tuannya pergi atau tak ingin tidur di satu tempat yang sama dengan Minhyun. Setidaknya ia bersyukur sang tuan tidak ada di sisinya, sebab terbangun dengan rasa sakit yang mencubit sudah cukup menyakiti dirinya; apalagi jika ada Hyunbin di sisinya.
Tubuh mungil itu bergerak, beringsut mendekat pada tepian dan turun dari kasur empuk Hyunbin. Kedua kakinya melangkah bergetar menuju pintu keluar dari ruangan itu. Dengan susah payah dan tubuh lemahnya, Minhyun berhasil membuka pintu kayu tebal itu tanpa suara. Kepalanya segera melongok, memastikan tak ada Hyunbin di lorong lantai dua.
Minhyun berjalan dengan cara setengah menyeret kaki berbalut gips dan bergerak secara pasti ke arah dapur di lantai satu. Rasa kantuk dan sakit menggelayuti dan nyaris membuat sang pemilik tubuh terpeleset, kalau saja Minhyun tak segera mencengkram pegangan tangga ketika ia turun dari lantai dua.
Sekali lagi, Minhyun melongok, memastikan tak ada Hyunbin di dapur. Yah, mungkin saja pria muda itu membutuhkan kopi atau sesuatu? Beruntungnya tidak. Minhyun mulai bertanya-tanya, apakah tuannya memang tengah bepergian saat ini?
Telapak tangan yang semula meraih gagang pintu kulkas, perlahan menjauh dengan ragu. Haruskah ia meminta izin pada Hyunbin untuk setidaknya meminum satu teguk susu kotak di dalam sana? Tapi, tak ada Hyunbin di dekatnya saat ini. Jangan heran mengapa Minhyun dapat mengetahui ada susu kotak di dalam sana, ia sering memperhatikan isi kulkas tuannya meski tak pernah mengambil sesuatu di dalam sana.
Minhyun tercenung, menyadari dirinya begitu lemah di hadapan Hyunbin. Bahkan untuk mengambil susu di dalam sana saja, ia tak berani! Tamparan Hyunbin adalah hal yang sangat menyakitkan nomor dua, setelah luka tembak di kakinya. Dan Minhyun mengerti, tuannya dapat berbuat lebih dari sekedar menamparnya ketika ia mencuri barang tuannya bahkan hanya untuk satu gelas susu. Ayolah, itu seakan sebuah permulaan dari mimpi buruk Minhyun.
Minhyun memberanikan diri untuk membuka kulkas. Manik yang tergenang air mata hanya dapat menatap kosong pada kotak susu cair besar di dalam sana. Satu lelehan lolos membasahi pipinya yang berdenyut keras.
Ia ingin.
Ia ingin, tapi ia tak bisa.
Minhyun menutup pintu kulkas perlahan, tampak setengah hati untuk melakukannya. Tak sanggup dirinya memandangi susu kotak lebih lama dari saat ini, teringat bahwa ia tak dapat melakukan bantahan apapun pada Hyunbin nantinya. Bahkan luka di pipinya belum sembuh, namun Hyunbin tentu saja dapat menamparnya tanpa peduli akan hal itu.
"Apa yang kau lakukan?"
Minhyun tersentak dari lamunan dan isakannya. Ia segera menoleh tanpa sempat menghapus air mata, dan menemukan Hyunbin lengkap dengan kacamata menggantung di hidung bangirnya. Pria itu tampak kelelahan, mungkin karena pekerjaannya.
Kepala yang lebih muda segera menggeleng, mengabaikan sejenak rasa pedih dan panas di pipinya. Tubuhnya beringsut menjauh ketika Hyunbin berjalan mendekat padanya dan membuka pintu kulkas. Entah, mungkin refleks yang tercipta dari rasa takut dan sakit yang tertoreh di tubuhnya, sehingga tanpa perintah ia menjauh ketika Hyunbin mendekatinya?
"Kenapa tuan masih terjaga?"
"Beberapa pekerjaan," manik Hyunbin meneliti Minhyun dari balik kacamatanya, kemudian membuka salah satu pintu kulkas dalam diam.
Satu langkah pergi baru saja hendak Minhyun ambil, kalau saja Hyunbin tak memanggilnya, disusul satu bantingan barang pada meja granit hitam disana. Kotak susu dalam genggaman Hyunbin menarik atensi Minhyun.
"Cepat minum dan kembali ke kamar."
Tanda tanya besar jelas mencuat dari pandang Minhyun. Beberapa kali ia mengerjap, memahami perkataan Hyunbin yang tengah menuang susu pada gelas kecil dengan gagang di salah satu bagian.
"T-tidak. Tidak perlu-," Minhyun bercicit. Tatapan tajam Hyunbin seketika mencekik suara yang hendak keluar. Bantahan lain ia urungkan, menyadari ada semburat emosi di bola mata Hyunbin.
"Kuhitung sampai tiga. Drink it, or you'll regret your choice, Minhyun."
Minhyun segera menyambar gelas berisi susu cair di hadapan Hyunbin pada hitungan kedua, dan meneguk isinya secepat yang ia mampu. Sesekali, ia akan berhenti sejenak dan terbatuk menyakitkan karena kecerobohannya, dan melanjutkan kembali perintah Hyunbin hingga tak ada tetes lain di dalam gelasnya.
"Kenapa kau terbangun?"
Minhyun mengendikkan bahunya, berusaha bersikap tak acuh dengan Hyunbin di sela ketakutannya. Rasa sakit di pipinya semakin menyakitkan jika ditambah dengan rasa sakit hatinya. Hyunbin benar-benar memperlakukan ia seperti barang tak berguna yang dapat ia hancurkan kapan saja, dan Minhyun tak dapat memberontak akan hal itu.
"Apa pipimu masih sakit?"
"Bagaimana menurutmu, tuan?," balas Minhyun cepat dengan nada ketus. Kepalanya sempat berputar dan menggelap, seakan alarm bahaya baru saja dinyalakan, menandakan apa yang ia lakukan tak selaras dengan apa yang otaknya perintahkan. Minhyun segera melirik Hyunbin, memperhatikan reaksi yang lebih tua.
Hyunbin justru mengulurkan tangannya, mengusap semburat lebam di pipi Minhyun. Sebelum Minhyun menjauh, Hyunbin sudah menahan bahunya terlebih dulu, sehingga yang lebih muda tak dapat berbuat banyak selain membiarkan jemari Hyunbin menelusuri wajahnya. Sekilas, hanya sekilas, Minhyun dapat melihat tatapan Hyunbin melunak. Manik tajam itu menatap sudut bibir Minhyun yang sobek karena ulahnya. Sedetik kemudian, tatapan Hyunbin kembali menjadi keras dan terasa jauh.
"Kembalilah ke kamar."
"Kamarku?"
"Kamarku," Hyunbin menepuk puncak kepala Minhyun sekali. "Aku akan menyusul, sebentar lagi."
"Kenapa?," Minhyun bergumam samar. Ia bahkan tak menyadari telapaknya telah meremat kemeja yang masih melekat di tubuh Hyunbin. "Kenapa kau melakukan ini padaku, tuan?"
Isak pelan lolos dari diri Minhyun. Tangisnya terdengar emosional, sebab memang begitulah adanya. Rasa lelah benar-benar menguras tenaganya; ia lelah berada di satu lingkungan yang sama Hyunbin, ia lelah bernaung di bawah atap manusia dominan itu. Segala hal yang berhubungan dengan Hyunbin benar-benar menguras darah dan emosinya bagaikan seekor lintah yang menempel erat.
"Kenapa kau tidak membunuhku saja?"
Hyunbin menghela nafasnya keras. Telapak besarnya mengusap kelopak matanya dramatis. "Sudahlah Minhyun, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat malam ini."
"Kenapa? Kenapa kau melakukan ini semua?," Minhyun memejamkan matanya, merasakan elusan lembut pada kedua pipinya. Tubuhnya merasakan hangat yang tersalur dari kedua telapak tangan Hyunbin. "Aku lelah-," tambahnya.
"Tidurlah."
Satu kecupan Hyunbin curi dari bibir Minhyun yang bergetar. Air mata mengalir kian deras dari manik Minhyun yang menatap kosong sosok di depannya. Pancaran kehancuran terlukis jelas di bola mata bocah sepuluh tahun itu.
"Good night, princess."
Hyunbin berbalik, meninggalkan Minhyun dalam kehampaan dan perasaan tak berharga yang kian menjadi-jadi.
.
.
.
* . · . ♥️ ˚ 🖤 . · . *
.
.
.
Minhyun menatap bosan layar televisi yang tergantung di dinding. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit, dan Minhyun tak bisa terpejam. Suara televisi tidak berhasil mengusik sepi di sekelilingnya. Ia sendiri tak dapat berbuat banyak, sebab ia tak mungkin berjalan kesana kemari atau keluar ruang rawat dan menjelajah rumah sakit.
Dua langkah yang saling bersahutan mendadak memenuhi lorong rumah sakit. Minhyun mendengarnya dengan jelas. Bagaimana sol sepatu kulit mereka bertabrakan dengan lantai, bagaimana mereka berbincang dengan suara rendah.
Minhyun mengendikkan bahunya tak acuh. Ia kembali menatap layar televisi, mengabaikan suara-suara di luar, hingga ia menyadari suara itu secara misterius berhenti. Minhyun menoleh, kemudian melebarkan kedua kelopak matanya. Dua bayangan sosok dewasa tampak berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Keduanya diam, begitu pula Minhyun yang membatu di ranjangnya dengan sorot mata ketakutan.
Nafas Minhyun memendek. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya, seakan ada satu bongkah batu yang menghimpit dirinya. Telapak Minhyun meremat piyama yang ia kenakan, kesakitan dengan detak jantungnya yang terasa menusuk. Ia tau, ia tau dengan jelas perasaan berbahaya seperti ini. Ia tumbuh dan besar di kawasan penuh bahaya, dan ia sadar, dua sosok di depan pintu ruang rawatnya adalah sosok yang berbahaya.
Minhyun memaksa dirinya untuk berdiri dan meraih kantung infusnya; ia bermaksud untuk sembunyi, kalau saja salah satu bayangan itu tidak pergi, jika didengar dari suara sol sepatunya yang menjauh dengan terburu. Minhyun membeku, menunggu sosok lain yang masih berdiri di depan pintu ruang rawatnya untuk pergi.
Satu suara berat berhasil melemahkan lutut Minhyun, memaksa tubuh itu untuk terjatuh di kasur dan menghentikan laju nafasnya sendiri. Kedua kelopaknya membuka, bergetar karena rasa tak percaya.
"Tidurlah. Anak kecil tidak baik tidur terlalu malam, bukan begitu, Hyunbin kecil?"
Sosok itu berjalan menjauh dengan santai. Sol sepatu dan langkah beratnya meninggalkan ruang rawat Minhyun, dan menghilang di tikungan.
Minhyun segera mematikan televisinya, dan bergelung di balik selimut dengan degup jantung yang berpacu cepat. Kepalanya berputar dalam poros, memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Tentang bagaimana dua sosok itu hadir, tentang bagaimana keduanya diam di depan ruang rawat Minhyun, tentang- tentang bagaimana mereka menyinggung nama Hyunbin.
Minhyun kembali terduduk ketika telinganya mendengar langkah lain menggema. Sama, langkah yang sama anehnya dengan dua sosok yang semula berdiri di depan ruang rawatnya. Langkah yang tegas, langkah yang kembali memacu kerja jantung Minhyun seiring dengan tiap langkah yang mendekat. Satu bayangan terpantul dari balik pintu ruang rawat.
Minhyun sudah lebih dulu menyambar kantung infusnya. Tanpa peduli dengan kaki yang di gips, Minhyun segera meluncur turun dari ranjang rumah sakit dan menyembunyikan diri di sisi ranjang, tepat ketika sang sosok membuka pintu ruang rawat.
Manik Minhyun bergetar. Apakah sosok ini adalah sosok yang sama dengan dua sosok sebelumnya? Apakah-
"Apa yang kau lakukan?"
Minhyun tersentak, melihat sosok Hyunbin yang telah berdiri dan menatapnya. Bukan, bukan dua sosok yang tadi mengunjungi dirinya. Keduanya berbahaya, sama bahayanya dengan Hyunbin. Itu kenapa Minhyun merasa ketakutan. Lidahnya nyaris kelu karena rasa lega yang mengguyur dirinya, mendapati bahwa Hyunbinlah yang mengunjunginya.
"T-tuan kemari-?"
"Kenapa kau belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur, terlalu sepi."
"Kau bisa menyalakan televisi ruang rawat ini, Minhyun."
Tidak, tentu saja Minhyun tidak akan melakukannya. Apa ia akan membunuh dirinya kembali? Siapa yang mengerti, jika saja dua sosok itu kembali datang, dan berbuat semakin berani?
"Bukan, bukan ramai yang itu, tuan. Aku- tidak suka sendiri. Dan aku tidak mau menarik perhatian seseorang karena aku belum tidur."
.
.
.
* . · . ♥️ ˚ 🖤 . · . *
.
.
.
"AH-!"
Minhyun tersentak dari tidurnya dengan nafas tercekik. Wajahnya dipenuhi peluh, memerah, dan tampak ketakutan. Bayangan tentang dua sosok misterius yang mengunjunginya di rumah sakit kembali mencuat dan menakuti dirinya; kedua sosok yang mungkin saja akan membunuh Minhyun nantinya.
"Hey- Minhyun, apa yang terjadi? Minhyun!"
Hyunbin yang semula baru melangkah keluar dari kamar mandi setelah kegiatan mandi paginya, segera berlari menghampiri Minhyun yang tampak kesulitan untuk bernafas. Ia berjongkok, menyamakan pandangnya dengan Minhyun yang memejamkan matanya erat.
Dua telapak kecil milik Minhyun mencengkram kerah piyamanya sendiri, kemudian menarik-nariknya kuat. Kepala Minhyun menggeleng, menyingkirkan suara-suara di sekitarnya; suara Hyunbin yang memanggilnya, suara berat sosok di rumah sakit yang menghantui dirinya. Suara nafas yang terputus dari dirinya terdengar begitu menyakitkan.
Hyunbin segera menarik Minhyun dalam dekapannya, merengkuh tubuh kecil yang bergetar itu dengan erat. Bisikan-bisikan memanggil nama sang pemilik tubuh memenuhi ruang. Minhyun melingkarkan tangannya pada punggung lebar Hyunbin dengan erat. Hal itu berlangsung cukup lama hingga nafas Minhyun kembali terdengar wajar dan tubuhnya tak lagi bergetar.
Hyunbin perlahan menjauhkan tubuhnya, dengan kedua tangan yang masih melingkar di punggung Minhyun. Maniknya menatap wajah Minhyun yang memerah dan ketakutan. Salah satu telapaknya bergerak, mengusap air mata di sudut kelopak Minhyun.
"Apa yang terjadi denganmu, Minhyun?"
Bibir Minhyun bergerak, mengeluarkan erangan yang abstrak. Bocah itu belum bisa untuk mengucapkan satu patah kata setelah terbangun dari mimpi buruknya. Untungnya, Hyunbin mengerti bahwa Minhyun belum sanggup untuk menanggapi dirinya.
Hyunbin mendaratkan satu ciuman di bibir Minhyun. Tidak ada nafsu disana; murni usaha Hyunbin untuk menenangkan Minhyun yang masih ketakutan. Ibu jarinya mengusap pipi Minhyun dengan lembut, tak mau menyakiti pipi yang membengkak itu.
"Apa ini karena perbuatanku?," tanya Hyunbin setelah memutus ciumannya pada Minhyun.
Minhyun menggeleng terpatah menanggapi Hyunbin.
"Mimpi buruk? Sangat buruk?"
Kali ini, Minhyun mengangguk.
"Baiklah," Hyunbin menjauh dari Minhyun yang masih membatu. Ia melepaskan kemeja yang sudah melekat di tubuhnya, kemudian menggantinya dengan kaus abu-abu polos yang ia ambil dari lemari pakaiannya. Ia berjalan menghampiri pesawat telepon yang juga ada di kamar itu, menekan satu tombol disana, dan menunggu hingga ada suara lain menyahut.
❝Guanlin, batalkan seluruh kegiatanku hari ini.❞
❝Baik tuan.❞
Hyunbin menutup telepon terlebih dahulu. Ia kembali mendekat pada Minhyun. Tanpa berbicara, Hyunbin memindahkan dua lengan Minhyun dan mengalungkan keduanya di lehernya. Dalam satu gerakan, tubuh Minhyun sudah berada dalam gendongan khas koala.
Keduanya diam. Minhyun dalam lamunannya, membiarkan Hyunbin berjalan keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju lantai satu. Guanlin yang telah berdiri di sisi meja makan, tampak terkejut melihat keduanya datang bersama ke meja makan. Terlebih, Minhyun yang berada dalam gendongan tuannya.
"Bawakan sarapan kami ke ruang tengah."
Hyunbin berbalik, kemudian berjalan lagi. Kali ini menuju ruang tengah. Ia menjatuhkan tubuhnya perlahan pada sofa, tak ingin mengusik Minhyun yang sudah semakin tenang. Guanlin menyusul dengan nampan berisi dua piring sarapan yang kemudian ia letakkan di sofa, di sisi Hyunbin yang masih memangku Minhyun.
"Sarapan Anda, tuan."
Hyunbin menepuk punggung Minhyun, mengusapnya pelan, meminta atensi yang lebih muda. "Your breakfast, Minhyun."
Hyunbin meraih garpu di salah satu piring, kemudian memutarnya di tumpukan creamy fettucinnie hingga membentuk satu bola kecil yang melilit garpu. Ia memundurkan wajahnya, menjauhkannya dari Minhyun, dan mendekatkan garpu berisi pasta tebal itu.
"Open you mouth, honey."
Sarapan keduanya berlalu dengan tenang. Tak ada keributan yang biasa mengisi, tak ada emosi yang biasanya meluap-luap. Hyunbin tampak santai menyuapi Minhyun yang terdiam dan tak banyak menolak. Bahkan lengan Minhyun semakin mengerat di balik leher Hyunbin, setiap kali ia merasa Hyunbin hendak menurunkan tubuhnya dari pangkuan.
Dan Guanlin tak dapat menahan keterkejutannya melihat ini semua.
.
.
.
. · . ✦ ⋆ ˚ ♥️ ⋆ ˚ ° ♡ • ˚ ⋆ 🖤 ˚ ⋆ ✦ . · .
To be continue
. · . ✦ ⋆ ˚ ♥️ ⋆ ˚ ° ♡ • ˚ ⋆ 🖤 ˚ ⋆ ✦ . · .
.
.
.
.
.
.
.
.
a/n: Jadi, siapakah mereka? Apakah ini tanda tanda akan terjadi trilogi dari Addicted, Trapped, dan -ed lainnya?
Gtw y, tngg j🌚
Hehe
Sebenernya aku masih bingung, siapa dua orang itu. Terus mendadak dapet ilham, terus BOOMMM💣💥 ada ledakan ide menghantam, syiet.
I'M SO EXCITED BUT I'M NOT SURE TOO, LIKE- OMG SHOULD I SHOULD I?!?!?!?!?!?!
Mari kita tunggu author labil ini guise.
XOXO,
Jinny Seo [JY]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top